Mohon tunggu...
Khus Indra
Khus Indra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Sastra dan Seni |\r\nPengagum pemikiran Friedrich Nietzsche | Pengkritik ulung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

‘Sejarah Baru’ di Crimea, Keras Kepalanya Rusia & Peluang Perang Dunia III

19 Maret 2014   17:35 Diperbarui: 4 April 2017   17:44 7128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395199997385367025

[caption id="attachment_316170" align="aligncenter" width="512" caption="Krisis Ukraina (sumber foto: bbc.co.uk)"]
[/caption]

Setelah berkutat cukup lama, Rusia tidak menundukkan kepalanya dalam urusan merebut wilayah Crimea dari Ukraina. Perkembangan terbaru adalah Rusia memilih untuk ‘terintimidasi’ oleh pihak manapun. Ukraina dan Rusia memasuki babak baru dalam hubungan diplomatik. Baru-baru ini, Ukraina telah menarik kembali duta besarnya di Moskwa. Dalam suatu hubungan diplomatik, penarikan duta besar berada satu tingkat di bawah status pemutusan hubungan kerja sama.

Pada mulanya, krisis ini bermula terkait aneksasi Semenanjung Crimea oleh Rusia. Awalnya,  Ketika  Presiden dukungan Rusia di Ukraina, yaitu Viktor Yanukovych digulingkan oleh rakyat Ukraina karena memilih merapat ke Rusia daripada ke Uni Eropa dalam resolusi kiev. Kemelut antara barat dan Rusia ini merupakan paling buruk sejak Perang dingin berakhir 20 tahun yang lalu dengan runtuhnya Uni Soviet. Sejak saat itu, Rusia langsung mengirimkan 30.000 serdadu di Wilayah Crimea. Alasan Rusia terlalu klise terkait pengiriman angkatan militernya, yaitu ingin melindungi warga Crimea. Wilayah Crimea merupakan salah satu wilayah Ukraina yang dihuni oleh etnis Rusia terbanyak.

Jika melihat balik ke sejarah, Sejak abad ke-18 Crimea memang menjadi bagian dari Rusia. Tetapi sampai pada tahun 1954, Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev menyerahkannya ke Ukraina. Pada saat itu, Ukraina masih berada dalam kungkungan Uni Soviet sampai pada tahun 1991, Ukraina secara resmi memerdekakan dari kungkungan kekuasaan Uni Soviet dan itu ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet. Secara kultural, maka Crimea pun sejak saat itu menjadi bagian dari wilayah Ukraina.

Distorsi Sejarah

Rusia mencoba menciptakan sejarah baru dengan segala kemungkinan yang ada. Salah satunya adalah dengan menggelar referendum untuk menentukan nasib dari Crimea. Hasil referendum adalah bahwa 95,5% penduduk Crimea memilih ‘pulang’ ke pelukan Rusia. Referendum ini dikecam dunia internasional tidak terkecuali PBB. Dunia tidak mau mengakui hasil referendum tersebut dan tetap mengecam Rusia dan menyebut bahwa Rusia telah mensponsori referendum tersebut dan menginvasi wilayah semenanjung Crimea.

Secara sepihak, kemarin, Presiden Putin telah resmi mengakui Crimea menjadi negara Republik. Putin pun telah menyetujui draf perjanjian yang memasukkan Crimea sebagai bagian dari Federasi Rusia. Ini merupakan sejarah baru.

Rusia berusaha mendistorsikan sejarah yang ada. Memang sejarah terkadang tak diperlukan, sejarah hanya diperlukan apabila kita ingin merekontruksi suatu kejadian. Rekontruksi yang dibuat pun berupa melakukan doktrinasi secara besar-besaran. Hal ini terlihat dari mayoritas penduduk Crimea yakni etnis Rusia melihat aneksasi sebagai koreksi atas kesalahan historis. Dalam hal ini, penduduk Crimea menilai adanya kesalahan sejarah yang telah dilakukan pemimpin Uni Soviet terdahulu. Dan mereka melihat aneksasi yang dilakukan oleh Rusia merupakan pembenaran atas sejarah tersebut. Inilah yang dikatakan sebagai pemutarbalikkan fakta maupun sejarah yang dilakukan oleh Rusia dalam artian kecil bahwa sedang terjadi pendistorsian sejarah.

Sampai saat ini, belum ada negara manapun yang mendukung langkah Rusia di Semenanjung Rusia. Dunia tidak mengakui Crimea melalui hasil referendum tersebut. Hal ini akan membuat negara dalam negara. Negara Ukraina dengan Negara Republik Crimea.

‘Kerasnya’ Rusia

Bukan rahasia umum lagi, jika Rusia selalu menentang kebijakan AS. Hal ini didasari bagaimana ketika Perang Dingin antara Blok Barat (ala kapitalisme liberalis) berseteru dengan Blok Timur yang diwakilkan oleh Uni Soviet (Ala Komunisme). Sejarah telah membekas bagi kedua belah pihak. Memang bukan hal yang mudah untuk menyatukan kedua negara dalam suatu keputusan. Memang seiring dengan berakhirnya perang dingin dua dekade lalu, perseteruan kedua pihak agaknya mulai melunak. Sampai pada saat Yanukovych digulingkan, Rusia memasuki Fase “Keras Kepalnya”.

Tidak tanggung-tanggung sekitar 30.000 pasukan militernya dikirim ke Crimea untuk mempertahankan legitimasi, perdamaian dan hukum di sana. Rusia berdalih bahwa etnis Rusia di Crimea mengalami traumatik dan ancaman teror sejak jatuhnya pemerintahan Viktor Yanukovych. Sejak saat itu, PM Ukraina Arseniy Yatseniuk, mengatakan bahwa Rusia telah menyatakan perang dengan Ukraina dengan mengirimkan pasukannya di Wilayah Ukraina. Pihak Ukraina menilai bahwa masuknya Rusia ke wilayah Crimea bukan semata-mata untuk melindungi warga etnis rusia di Crimea, melainkan membuat kekacauan, memancing kepanikan dan menghentikan perekonomian Ukraina sejak Presiden dukungan Rusia, V. Yanukovych digulingkan. Begitu kata pejabat presiden Oleksandr Turchynov.

Kerasnya Rusia itu ditandai oleh peringatan-peringatan dari pihak PBB, NATO, dan dunia untuk menarik pasukannya dari Crimea tidak dikunjung dilakukan oleh Rusia. Malahan Rusia menambah pasukan militernya di Semenanjung tersebut. Hal ini menyebabkan pasukan militer Ukraina yang berjaga-jaga menjadi terpojok atas kehadiran pasukan Rusia. Hal ini membuat tentara Ukraina dilema yaitu mengakui kekuasaan Rusia atau meninggalkan Crimea. Secara militer, Ukraina memang bukan tandingan Rusia. Jika diukur dengan pasukan, peralatan alat tempur dan senjata, Rusia berada jauh diatas Ukraina.

Berbagai sanksi telah disiapkan oleh pihak-pihak yang terlibat seperti Uni Eropa dan AS akan membekukan visa dan aset sejumlah tokoh Rusia dan Ukraina yang terlibat dalam aneksasi Crimea. Selain itu, Rusia juga terancam akan didepak dari kelompok negara G-8.

Hal yang ditakutkan adalah sentimen-sentimen yang terjadi tersebut membuat khawatir bahwa Rusia sedang membangkitkan kembali Uni Soviet. AS melalui presidennya yaitu Obama telah melakukan negosiasi alot dengan Presiden Rusia meminta untuk tidak melakukan intervensi atas krisis yang dihadapi oleh Ukraina. Hal ini pun tidak ditanggap oleh Rusia. Kerasnya Rusia memang sudah kelewat batas. Berbagai cara dilakukan oleh dunia untuk melunakkan Rusia dalam aneksasi Crimea tak kunjung berhasil. Rusia tetap ngotot merebut wilayah Crimea. Rencana resolusi dari DK PBB pun digagalkan oleh Rusia melalui penggunaan hak vetonya. Berbagai sentimen politik ini akan melahirkan kegagalan diplomatik yang berujung dengan sebuah perang baru. Atau dapat dikatakan akan memunculkan Perang Dunia III.

Peluang Perang Dunia III

Rusia memilih untuk terisolasi dari Uni Eropa dan AS. Rusia tetap bersikap kukuh untuk melakukan aneksasi Crimea. Perundingan dan pertemuan alot pun dilakukan untuk membahas hal tersebut. Tetapi, semua pertemuan tersebut berujung pada sebuah krisis baru yakni jalan buntu suatu negosiasi. Ketika hal itu terjadi, maka yang berbicara bukan politik atau sentimen kebijakan, melainkan angkatan bersenjata (militer).

NATO telah menyusun strategi-strategi militernya. AS menggelar latihan militer di darat dengan Polandia dan di laut bersama Bulgaria dan Romania. Sementara Rusia bahkan menggelar latihan besar-besaran di wilayah barat Rusia yang berbatasan dengan Ukraina. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedua belah pihak baik Barat maupun Rusia telah siap jika solusi militer menjadi langkah terakhir dari bagian krisis ini. Jika ini terjadi, perang dunia ke-III yang sudah lama tertidur akan dibangunkan kembali.

Peluang ini memiliki nilai 50 : 50, jika kita lihat dari posisi Rusia yang sangat ngotot akan keputusannya. Langkah Rusia memilih untuk terisolasi bisa jadi memang menjadi bagian dari strategi untuk membangunkan kembali sentimen perang dunia. Dengan terisolasinya rusia, otonomi rusia dalam bertindak apapun tanpa kompromi membuka peluang lebar. Dengan kekuatan armada militernya yang kuat atau berada setara dengan AS, bukan mustahil jika kekacauan besar di dunia ini akan terjadi.

Kita tidak ingin melihat sentimen blok barat dan timur itu kembali terjadi lagi. Keegoisan dari semua ini hanya akan berdampak kerugian besar pada warga sipil yang tidak tahu menahu akan krisis ini. Manusia diciptakan untuk berkuasa, tetapi untuk melindungi satu sama lain. Sebagai penduduk dunia, kita hanya dapat berdoa bahwa krisis ini dapat berakhir tanpa menciderai dan melukai pihak manapun.

Dunia dapat bercermin melalui lirik lagu Imagine dari John Lennon:

Imagine there's no countries
It isn't hard to do

Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

Atau sebait puisi dari filsuf jerman, Friedrich Nietzsche yang berjudul “Kerasnya Aku”:

Harus kulewati ratusan tangga
Mesti mendaki dan kudengar seruan kalian:
“Kau Keras! Adakah kami batu?”
Harus kulewati ratusan tangga
Dan jadi tangga tiada yang rela

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun