Mohon tunggu...
Khus Indra
Khus Indra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Sastra dan Seni |\r\nPengagum pemikiran Friedrich Nietzsche | Pengkritik ulung

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mereka yang Berperang dengan 'Janji'

7 April 2014   19:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Janji dan Janji (Sumber: Star Tribune)

[caption id="" align="aligncenter" width="478" caption="Janji dan Janji (Sumber: Star Tribune)"] [/caption]

Kurang dari 50 jam lagi, pemilu yang dirindukan segera datang menghampiri, yaitu tepatnya pemilu legislatif. Sebanyak 19.700 kursi akan diperebutkan oleh 200 ribu lebih calon legislatif (caleg). Berarti jika dihitung perbandingannya, maka masing-masing caleg memilki peluang sebesar 10% (setiap 10 orang akan terpilih 1 dengan perbandingan 1 : 10) untuk menduduki kursi tersebut. Tentu saja ini adalah kemungkinan yang kecil. Tidak heran bila para caleg bekerja keras (termasuk yang curang) untuk mengumpulkan suara dengan berbagai cara, medium dan strategi.

Yang jelas, dari cara-cara pengumpulan suara tersebut hanya satu yang pasti mereka lakukan, yaitu memberi janji. Ya, hanya dengan janji mereka dapat memainkan peran bahasa dan kata-kata untuk membujuk rakyat untuk memilih mereka. Dalam hal ini, janji yang disampaikan oleh para caleg merupakan sebuah kontrak sosial yang terjalin antara satu caleg dengan yang dijanjikannya (baca: rakyat). Kontrak sosial yang dimaksud adalah sebuah ikatan mengenai pembahasan yang diprioritaskan untuk diselesaikan, misalnya mengenai janji untuk memberikan pendidikan gratis, menurunkan harga sembako, dan lainnya.

Yang harus diperhatikan, janji mempertemukan dua hal yaitu subjek (pembuat janji dan penerima janji) dan waktu. Kedua hal ini memiliki implikasi yang kuat. Bagi caleg, memberi janji adalah sebuah misi yang harus dituntaskan dalam periode tertentu. Sedangkan bagi rakyat, janji adalah sebuah pengharapan yang diberikan untuk menjadi lebih baik. Di sini kita dapat melihat implikasinya, yaitu misi harus diselesaikan dengan jangka waktu tertentu untuk mewujudkan sebuah pengharapan bagi rakyat. Namun, kita harus belajar dari pengalaman, tidak semua caleg yang dapat menyelesaikan misi tersebut. Pelajaran dari pemilu 1999, 2004 dan 2009 telah banyak membuktikan bahwa janji hanyalah janji.

Bagi mereka yang tidak menuntaskan janji, hanya dapat berkelit lidah dengan dalih bahwa, “Semua harus bersabar.” Tetapi, bagi rakyat, sabar ada batasnya dan sama seperti janji yang ada batas waktunya. Ketika tidak terwujud maka itu hanya menjadi omong kosong belaka. Pertanyaannya, bagaimana mengetahui caleg yang akan memenuhi janjinya? Ini memang sulit. Analoginya adalah apakah ada yang bisa menjamin seorang pria yang notabene sudah memiliki pacar, kemudian tidak akan selingkuh? Peluangnya adalah 50 : 50.

Sebuah janji juga akan membawa peluang 50 : 50, yaitu adanya peluang untuk memenuhi janji tersebut ataupun sebuah pengingkaran. Lantas, bagaimana melihat peluang rakyat untuk dapat melihat caleg yang berpotensi dan bersungguh-sungguh? Hanya dengan rekam jejaknya, komitmen dan kesungguhan caleg tersebut yang dapat kita pegang, meskipun ini tidak menjamin. Hal ini dikarenakan ketiga faktor tersebut sukar untuk diprediksi. Seperti air laut, kita tidak tahu seberapa dalam atau dangkalnya air tersebut.

Ciri Janji

Kemarin, 6 april 2014, Kita merayakan apa yang dinamakan dengah lahirnya Manusia Indonesia. Ini bukan peringatan yang penting-penting amat. Tetapi perlu direnungkan kembali apa yang dilahirkan oleh Mochtar Lubis mengenai Manusia Indonesia, tepatnya 6 april 1977 dalam ceramah di TIM. Meskipun ceramahnya sudah berumur 37 tahun, tetapi apa yang dibicarakan dan konsep mengenai ciri-ciri Manusia Indonesia masih relevan dengan sekarang. Dan, bahkan ciri-ciri itu juga akan menampar kita sekaligus membuat kita merenungi, “Apakah aku seperti yang dibicarakan oleh si wartawan senior pendiri Harian Indonesia Raya?”

Jika kita menelisik ke-6 ciri yang ditampilkan olehnya, maka yang Janji yang diumbar oleh para caleg sekarang nantinya bisa beririsan dengan ciri yang kesatu, yaitu Munafik atau Hipokrit. Saya rasa Mochtar Lubis menempatkan ciri Munafik di posisi ciri pertama bukan tanpa sebab. Melihat kondisi bangsa pada saat itu, di mana ketika politik uang, intervensi asing terhadap pemberangusan SDA, oligarki yang terjadi dan pembodohan intelektual bisa saja menjadi pilihan mocthar untuk menaruh Munafik pada catatan ciri manusia Indonesia di urutan pertama.

Hal ini juga dapat dilihat dari teks yang dibacakannya yang berbunyi:

“Kita semua mengutuk korupsi, tetapi kita terus saja melakukan korupsi dan dari hari ke hari korupsi bertambah besar. Sikap manusia Indonesia yang munafik seperti ini yang memungkinkan korupsi hebat berlangsung terus menerus ...... Di samping ini, kita juga mengatakan, bahwa hukum di negeri kita berlaku sama terhadap semua orang. Prakteknya, kita lihat pencuri kecil masuk penjara, tetapi pencuri besar bebas atau masuk penjara sebentar saja.”[1]

Memang setiap pilihan ada resiko. Begitu juga dengan memilih para caleg ini, di mana setiap pilihan kita juga memiliki resiko. Jika kita membalik frasa ini dengan bertanya apakah caleg yang terpilih memiliki resiko juga? Ya, tentu saja. Resiko apabila yang terpilih tidak dapat menanggung apa yang dijanjikannya untuk rakyat. Tetap ada proporsi yang harus dibagi untuk masing-masing pihak.

Sebuah kata janji tidak mengharuskan untuk mempunyai sifat disampaikan secara langsung dengan kalimat, “Saya berjanji, bla..bla.. bla...” Janji sudah terbentuk apabila si pelaku pemberi janji memberikan pengharapan mengenai apa yang akan dilaksanakan dan kepeda subjek pendengar telah tersampaikan sebuah pengharapan. Maka di titik itu juga, janji sudah terbentuk Meskipun memiliki ruang otonomi untuk dipenuhi atau tidaknya bagi si pelaku.

Jika para caleg masih menggunakan ataupun mengumbar janji, maka mereka akan terjebak dalam situasi komoditas, di mana janji dijadikan bahan baku komoditas untuk memproduksi kata-kata yang kemudian digunakan untuk mendapatkan suara. Apabila sudah seperti ini maka berlakulah kata-kata pepatah bahwa janji adalah hutang dan hutang harus dibayar. Apakah para caleg siap untuk ditagih janjinya? Yang jelas, dalam tingkatan religius, janji bersifat mengikat antara dosa dan pahala. Mereka (baca: Caleg), tentu paham akan hal ini.

[1] Lubis, Mochtar. 2013. Manusia Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. (Hal 19)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun