Indonesia meraih banyak penghargaan dari berbagai ajang prestasi. Dari mulai kompetisi dalam bidang pendidikan, teknologi serta ekonomi dan tentu saja masih banyak yang lainnya. Penghargaan ini pun beragam, ada yang dimenangkan secara individu maupun tim atau kelompok. Tetapi, baru-baru ini, ada yang terlihat aneh dengan penghargaan yang "akan" disabet oleh Indonesia. Penghargaan yang disebutkan tersebut, diberikan dari The Appeal of Conscience Foundation (TACF)Â kepada Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas penghargaan World Statesman di Newyork, AS.
Aneh, karena yang patut dipertanyakan adalah, apakah pantas? Penghargaan World Statesman diberikan kepada pemimpin-pemimpin dunia yang berhasil mengembangkan toleransi, perdamaian dan resolusi konflik. Jika dilihat lebih jauh lagi, standar apakah yang ditetapkan oleh TAFC dalam hal memberikan penghargaan tersebut. Jika memang indikatornya adalah toleransi, perdamaian dan resolusi konflik, tentu saja hal ini masih belum cukup pantas untuk diberikan kepada SBY. Bukan tidak pantas, tapi masih belum.
Di Indonesia, isu-isu intolerir dan konflik masih sering terdengar sampai sekarang ini, meskipun reformasi telah beranjak menuju remaja yaitu 15 tahun. Diskriminasi atas nama agama masih saja kerap muncul. Konflik-konflik masih terus bergejolak, terutama didaerah Papua dan wiliyah Timur. Dan, yang paling ironis adalah ketika konflik sentimen atau diskriminasi atas agama muncul ke permukaan, Negara seakan kehilangan peran. Negara yang seharusya melindungi rakyatnya, benar-benar tidak tampak batang hidungnya ketika konflik agama muncul. Contohnya yang paling nyata adalah Nasib para pengungsi Syiah. Pada 26 agustus 2012, massa menyerang kelompok syiah di Sampang. Selain menyerang, mereka juga membakar tempat ibadah mereka dan 46 rumah yang diduga kelompok syiah dibakar tanpa rasa kemanusiaan. Akibat dari penyerangan tersebut, 1 tewas, 10 luka parah, dan sekitar 600 jiwa mengungsi di GOR Sampang. (Sumber : Harian Kompas, 20 Mei 2013)
Sampai sekarang nasib dari pengungsi tersebut, masih saja tidak jelas dan kasus tersebut juga masih menggantung hingga kini. Para pengungsi menolak Relokasi yang telah diberikan. Tetapi dalam tuturan seorang warga Syiah yang mengungsi di GOR Sampang, "Jika kami mengikuti relokasi, maka api yang dibakar itu akan semakin jadi." Dalam tuturan pada Harian Kompas (17 mei 2013), para pengungsi meminta ganti rugi dan mereka tetap ingin tinggal di Desa Karanggayam, Sampang, karena disana merupakan tanah leluhur keluarga mereka.
Bukan hanya satu kasus saja, banyak pelanggaran terhadap kaum minoritas yang sampai sekarang masih digantung nasibnya. Banyak kasus pelanggaran HAM yang masih tidak jelas dan sengaja tidak diselesaikan sampai sekarang ini. Banyak konflik yang masih belum reda. Seperti yang dilaporkan oleh The Wahid Institute, selama 2012 ada sebanyak 274 kasus terhadap kaum minoritas (Kebebasan beragama). Jumlah ini meningkat 2,5 x lipat dari tahun 2009 sebanyak 121 kasus (sumber: Harian kompas, 20 mei 2013). Dari sekian kasus-kasus yang ada, Negara kehilangan peran dan Presiden pun hanya bisa gigit jari ketika konflik-konflik tersebut masih bermunculan.
Kita tahu apa saja yang dilakukan SBY selama ini terhadap kasus-kasus tersebut. Beliau hanya bisa bertindak dengan perintah yang normatif, tanpa memberikan arahan ketegasan dalam tindak lanjutnya.
Kontradiktif, satu kata itu yang dapat menggambarkan bagaimana jadinya apabila Pak Presiden mendapatkan penghargaan World Statesman. Jika memang Pak Sby menerimanya, SBY perlu bercermin terlebih dahulu dalam keputusannya. Hal ini disebabkan, SBY secara tidak langsung menghina kebebasan dari kaum minoritas yang ada di Indonesia dengan Penghargaan tersebut. Bagaimana tidak, SBY selama ini tidak secara progresif dalam menyelesaikan konflik sentimen tersebut, tiba-tiba diberikan penghargaan atas TAFC untuk kategori Pemimpin yang berhasil dalam bidang kemanusiaan seperti toleransi dan resolusi konflik.
Kita seharusnya memperhatikan bagaimana nasib kaum minoritas yang sedang mencari keadilan. Bukan malah sebaliknya, marayakan euforia atas penghargaan yang akan diberikan dunia Internasional kepada pemimpin kita. Â Kita lihat bagaimana para penganut Ahmadiyah dan Syiah berjuang untuk mendapatkan hak hidup di Indonesia sesuai pasal 28 di UUD. Mereka bersusah payah untuk berjuang mendapatkan hidup yang layak. Saya lebih suka mengutip kata dari Goenawan Mohamad didalam salah satu esainya yang menagatakan, "Tidak ada yang kebenaran absolut dalam suatu kehidupan keberagaman."
Apakah kita harus merayakan euforia Penghargaan ini, diatas penderitaan kaum minoritas yang sedang mencari keadilan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H