Manusia terlampau menyedihkan bila dirinya harus berada dalam kondisi yang tidak diakui sebagai ‘Sesama Manusia’. Manusia terlalu rumit untuk ditelaah dan dipahami secara benar. Dia tidak hanya muncul sebagai tokoh ataupun fisik. Dia memiliki intuisi, akal dan pikiran. Mungkin, dia tidak butuh untuk ditelaah, tetapi dia perlu diakui keberadaannya. Dan, itu akan menempatkan posisi manusia dalam diri eksistensialismenya. Tetapi, di sini kita tidak akan bahas mengenai filsafat eksistensialisme ataupun nihilisme, begitu juga paham-paham yang lain.
[caption id="attachment_321074" align="aligncenter" width="282" caption="(Source: Gabriel Levicky)"][/caption]
Apa yang dimaksud dengan ‘yang disisakan’ adalah apa yang menjadi bahan buangan yang tidak diharapkan untuk dipungut ataupun diberi jatah untuk suatu posisi. Ia hanya didiamkan. Tidak diakui meskipun dia bergerak. ‘Yang disisakan’ berarti mengalami suatu sikap diskriminasi akibat dari ketidakterpilihnya suatu subjek/objek. Begitu juga dengan sikap syiah dan yang minoritas di Indonesia.
Mereka seakan menjadi seperti ‘Yang disisakan’. Dalam artian, sengaja untuk dibiarkan dan didiamkan agar tidak bergerak ke arah yang lebih progresif (kemajuan). Contoh kecilnya dan yang paling amat dikecewakan adalah dalam kampanye pemilu legislatif kemarin. Apakah ada caleg-caleg yang berani berkampanye di perkumpulan Syiah di Sampang? Jangankan datang dan melihat, dalam laporan media disebutkan bahwa tak seorang pun yang berani berkampanye untuk memberikan janji kepada mereka (Red: pengungsi syiah) agar kembali ke kampung halaman mereka, yaitu Sampang. Apakah pluralisme tidak menarik minat para caleg untuk menjadikan keberagaman sebagai bahan pertimbangan mereka dalam janji yang disampaikannya? Sebenarnya, saya berharap dalam kampanye kemarin, ada caleg yang berani menjanjikan pluralisme untuk kaum syiah dan minoritas yang masih terabaikan akibat ideologi pemikiran yang berbeda.
Lantas, Apa yang tersisa?
Setelah pileg kemarin berakhir, setidaknya menurut hasil hitung cepat dari berbagai survei menempatkan PDIP (1), Golkar (2), dan Gerindra(3) menempati 3 besar klasemen sementara Liga Partai Politik 2014. Lantas, apa yang dirasakan oleh warga syiah dan minoritas lainnya terhadap kemenangan tersebut? Hambar. Mengapa? Sebelum pemilu dilakukan, dalam laporan Tempo (08/4) Salah satu pengungsi syiah, Anwar (38) mengatakan mereka tak tahu akan mencoblos siapa. Sebab, tak ada calon legislatif yang pernah datang memperkenalkan diri ke kompleks rumah susun Puspa Agro di Jemundo, tempat mereka kini tinggal setelah diusir dari Sampang. “Kami tidak tahu apa-apa kalau ada pemilu,” ujarnya.
Pemilu yang diartikan sebagai ajang transisi perubahan demokrasi ke arah yang lebih baik, terkesan biasa saja bagi mereka. Yang tersisa tetap hanyalah harapan kosong. Saya rasa mereka (red: pengungsi syiah) juga menginginkan ada seseorang yang dapat menolong mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tidak lagi menjadi seorang ‘pengungsi’. Tapi, apa daya jikalau mereka yang diberi harapan berusaha menutup telinga dan tidak membuka matanya untuk kelompok yang terdiskriminasi secara struktural ini. Lantas, apa yang diharapkan untuk pemilihan presiden juli nanti? Adakah Jokowi, Prabowo atau ARB yang berani untuk menyelamatkan yang ‘terdiskriminasi’ ini untuk keluar dari zona tersebut?
Negeri ini terlampau naif untuk mencantumkan kebebasan beragama dalam undang-undang. Kenyataannya, mereka yang berbeda dan yang dituduh ‘sesat’ tetap menjadi korban dari yang merasa dirinya atau kelompoknya benar. Untuk apa kita memaksakan ideologi kita, pada akhirnya kita tahu bahwa ideologi yang berbeda merupakan bagian dari hidup ini. Untuk apa memaksakan kemauan seseorang, jika dia hidup dilingkupi oleh kebebasan secara individu, dan berhak atas apa yang dinamakan dengan ‘Pilihannya’. Untuk apa kita menyuarakan keberagaman, apabila yang beragam harus dipaksa seragam? Ketika kebebasan dikekang dan tidak diharapkan, maka ‘yang disisakan’ hanya tersisa 2 pilihan, yaitu (1) dipaksa agar tidak menjadi yang tersisa atau (2) memilih diasingkan.
Pemimpin Pluralis
Saya rasa, Gus Dur telah menjadi pahlawan bagi minoritas, terutama bagi umat Tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa yang hanya 4-5% dari penduduk Indonesia akhirnya dapat merasakan Tahun Baru Imlek berkat jasa Gus Dur. Akhirnya, beliau dikenal sebagai pahlawan pluralisme.
Pemimpin yang dapat membangun keharmonisan dan menciptakan akar keberagaman yang fundamental memang jarang ditemui sekarang ini. Kepentingan golongan dan saling menguasai serta yang menjadi paling benar, masih sering ditemui. Pelanggaran HAM di bidang Agama masih sering terjadi. Kekuatan superior mayoritas menjadi salah satu penyebabnya.