Seminggu sudah, sejak jumat (14/03) pekan lalu, Jokowi menerima mandat dari partai pengusungnya untuk maju menjadi Calon Presiden dalam Bursa Capres 2014 nanti. Euforia atas pencapresan jokowi juga bukan hanya di lingkup partai berlambang banteng tersebut. Sesaat setelah itu, slogan JKW4P (Jokowi For President) menjadi pembicaraan hangat di berbagai media nasional. Bahkan tagar slogan tersebut menjadi trending topic di jejaring sosial yang berlambang burung biru. Hal ini seakan menandakan bahwa sosok inilah yang ditunggu-tunggu oleh seantero negeri ini.
[caption id="attachment_316590" align="aligncenter" width="272" caption="JKW4P menjadi Trending Topic (Sumber: diamondtaxi.blogspot.com)"][/caption] Seketika itu, serangan politik yang ditujukan baik kepadanya maupun partainya datang bertubi-tubi. Partai-partai yang lain seakan ketakutan untuk menghadapi partai merah tersebut. Hal ini bisa diibaratkan seperti sebuah perusahaan yang sudah hampir gulung tikar. Berbagai biaya kampanye telah dikeluarkan untuk mendulang suara partainya. Tiba-tiba, sosok Jokowi muncul dan masuk dalam bursa capres tersebut. Masuknya jokowi seakan membuat partai-partai yang lain hanya menjadi kuda hitam dalam bertarung di pemilihan presiden tersebut. Meskipun Pilpres belum dimulai, tetapi berbagai spekulasi mengenai kemenangannya sudah bisa dikalkulasikan dengan hasil-hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Berdasarkan hasil survei tersebut, dari puluhan (bahkan ratusan) survei , hampir setiap kali Jokowi berada di puncak klasemen dalam Liga Calon Presiden RI.
Tetapi, Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana beliau dapat memenangi hampir setiap laga yang dilakoninya? Apakahnya hanya dengan strategi blusukan, orang Indonesia sudah terlena akan pamornya? Apakah hanya reputasi dalam membangun kota Solo yang membuatnya demikian? Atau Jakarta? Atau fenomena jokowi? Atau dengan gayanya sangat merakyat? Atau efek media yang sering memberitakannya?Atau berbagai kemungkinan bahkan seribu kemungkinan dapat mendukung itu semua. Kita tidak tahu pasti apa yang membuat pilihan orang Indonesia tertuju kepada beliau. Yang jelas banyak sekali faktor-faktor yang mendorong hal tersebut.
Bisa jadi ini bukan hanya dialami oleh penulis saja. Apakah kita sebelumnya pernah bertanya kepada diri sendiri bahwa, Apakah benar Jokowi yang dicari? Pernahkah kita menganalisanya dengan berbagai pertimbangan dan tidak melihat jokowi hanya dengan kaca mata kuda. Berapa persen dari penduduk Indonesia yang tahu sepak terjang karier politiknya?
Sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa, tulisan ini tidak bermaksud menyindir jokowi atau partainya. Penulis hanya ingin berbagi pandangan bahwa dalam memilih pemimpin itu kita jangan hanya terbawa oleh kepopuleran di media dan jangan juga sampai tahu setengah-setengah saja. Apakah kita mau membeli kucing dalam karung lagi?
Butuh Pemimpin Seperti Apa?
[caption id="attachment_316593" align="aligncenter" width="407" caption="Help! Get Me A Leader (Sumber: zeroconsultant.com)"]
Tentunya kita semua pernah menginginkan untuk membeli suatu barang. Kita dapat mengambil contoh yaitu membeli sebuah handphone. Dalam membeli handphone, kita pasti akan memilih yang sesuai dengan kebutuhan kita. Contohnya, kita butuh handphone yang memiliki kamera bagus, suara jernih, body tahan banting, underwater, aplikasi banyak dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tentunya adalah kriteria yang kita jadikan sebagai patokan dalam memilih suatu produk handphone. Sama seperti memilih presiden, kita harus memiliki kriteria calon pemimpin yang kita butuhkan.
Pemimpin tidak lahir dari lingkungan politik ataupun apapun. Pemimpin lahir dari sebuah pergolakan yang digerakan oleh intuisi dalam diri seseorang. Dalam pergolakan tersebut, ada yang bergerak ke arah negatif maupun positif. Siapa bilang semua pemimpin itu positif, lihat bagaimana hitler, dan pemimpin-pemimpin yang haus akan kekuasaan dengan leluasa membinasakan sesama manusia. Secara naluriah, kita dilahirkan dengan nafsu berkuasa, yaitu minimal berkuasa atas diri kita. Dan itulah yang dinamakan dengan Ego (Dalam bahasa Yunani yang berarti Diri). Pemimpin itu adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Oleh sebab itu sikap altruisme akan muncul seketika apabila seorang pemimpin merasa sudah tidak ada kepentingan apapun selain melayani dan menyejahterakan hidup orang banyak.
Memang sulit untuk mencari kapasitas pemimpin dengan sikap altruisme seperti yang diajarkan dalam ruang lingkup religiositas. Biasanya gagasan seperti ini menjadi topik utama dalam psikologi evolusioner. Tetapi, apakah hanya syarat altruisme ini saja yang menjadi landasan kita? Bisa dikatakan bahwa altruisme adalah salah satunya.
Apakah kapasitas Jokowi mempunyai sisi altruisme ini? Tergantung bagaimana kita memandang altruisme itu sendiri. Kembali ke pembicaraan, kebutuhan pemimpin. Jika berbicara mengenai hal ini, kebutuhan memiliki tingkat kepuasan tersendiri. Sama seperti pemimpin yang kita harapkan, kita memiliki kepuasan tersendiri terhadapnya. Dan yang harus kita ketahui adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas. Oleh sebab itu, dalam mencari pemimpin, bangsa Indonesia juga tidak akan pernah puas. Mari kita bayangkan apabila jokowi terpilih, apakah kita akan puas dengan produk yang kita pilih? Seberapa puas kita memilihnya?
Tetapi, kita tidak perlu pesimis dengan cara seperti itu, dalam setiap ketidakpuasan tentu ada harapan untuk selalu menjadi lebih baik. Sama seperti Jakarta, apakah pemilih jokowi sewaktu 2012 merasa puas setelah memilihnya? Tentu saja ada yang tidak puas, dan ada juga yang sudah puas. Tetapi, disamping ketidakpuasan tersebut tersembunyi akan harapan jakarta yang lebih baik. Jika kita sudah merasa puas, apakah kita akan memiliki hasrat untuk bergerak lebih maju lagi?
Dalam konteks kepemimpinan, kita tidak akan pernah puas dengan kinerja seseorang. Terlebih memimpin bangsa yang masih berkembang ini. Kepemimpinan bersifat kontinuitas. Tidak secara faktual berhenti begitu saja.
Melihat kondisi Indonesia saat ini, banyak kriteria-kriteria yang masing-masing dari kita memilikinya. Seperti jujur, wibawa, handal bernegosiasi, merakyat, melindungi minoritas dan berbagai penafsirannya. Tetapi yang jelas, memimpin Indonesia harus sudah terkepas dari segala kepentingan dan urusan politik terhadap partai maupun kolega-kolegannya. Yang dijalankan memang benar-benar memihak kepada rakyat dengan amanah yang diberikan.
Sampai saat ini, penulis dapat menyebut bahwa arah reformasi yang kita bangun sejak 1998 hanya berjalan ditempat dan mengalami stagnan. Kita hanya menggulingkan era Orde Baru, tetapi selanjutnya kita tidak tahu lagi cara untuk mengurus negeri ini. Negeri ini seakan menjadi 5 pulau yang terbengkalai dan secara perlahan dihanyutkan oleh pilar-pilar kapitalisme modern. Kita belum bertanya kepada diri kita sendiri, bahwa siapa yang akan mengurus bangsa ini?
Hal Yang Tidak Bisa Dihindari
Untuk maju sebagai Calon Presiden, tentunya kendaraan politik menjadi salah satu syarat wajib bagi yang ingin menduduki kursi RI 1 di negeri ini. Hal inilah yang tidak bisa dihindari. Meskipun di atas tadi, disebutkan bahwa Presiden harus bersih dari kepentingan apapun, termasuk politik.
[caption id="" align="aligncenter" width="370" caption="Political (Sumber: Townhall.com)"]
Berbicara politik, saya tertarik untuk mengambil istilah yang digunakan oleh Sindhunata dalam Opini Kompasnya (18/03, “Awas, Politik Genderuwo). Sindhunata mengungkapkan dengan khazanah filsafat politik, bahwa otoritas diletakan bukan pada Die Politik, tetapi dalam Das Politische. Die Politik lebih digambarkan sebagai politik praktis sehari-hari atau yang dapat saya sebut sebagai pragmatisme politik. Sedangkan, Das Politische yaitu politik yang bersifat fundamental (sampai ke dasar-dasarnya. Kondisi sekarang ini, banyak pemimpin yang terjebak dalam kurungan Die Politik. Apakah jokowi atau pemimpin yang lain dapat menciptakan suatu sistem politik yang berotoritaskan Das Polistiche?
Menciptakan politik dengan fundamental yang kuat bukanlah hal yang mudah. Menurut hemat penulis, itu akan menciptakan suatu revolusi politik. Dimana dalam membuat hal yang lebih fundamental, tentu politik tradisional akan dibongkar dan sperpat atau alat politik yang baru akan dirancang kembali atau lebih tepatnya membuat suatu struktur yang lebih kuat. Tetapi, apakah mungkin kita dapat mengubah wajah politik itu, untuk menancapkan fundamental yang baru?
Langkah membangun Das Politische, alagkah baiknya menjadi tujuan dalam salah satu kinerja presiden nanti. Birokrat kita telah bobrok dengan membeli demokrasi secara materiil. Die Politik selalu menjadi langkah ampuh dalam setiap kebijakan. Padahal itulah yang menjadi rangkaian bom waktu yang membuat lingkup negara ini menjadi stagnan.
Die Politik telah menjadi virus bagi kemajuan Indonesia. Stagnanisasi harus dapat digerakkan lagi dengan memilih pemimpin nasional yang dapat membangun kebutuhan akan Das Politstiche tersebut. Melalui kebebasan berbicara penulis, jokowi memang dapat menciptakan situasi politik seperti Das Polistiche. Tetapi, beliau masih harus dipasangkan dengan seseorang yang dapat bertindak lebih tegas untuk menghapus pragmatisme dalam otoritas Die Politik. Seperti duet mautnya di jakarta, yaitu Ahok.
***
Menuju pileg dan pilpres, mari menjadi pemilih yang cerdas. Bukan hanya cerdas dengan tingkatannya hanya sebatas permukaan, tetapi selazimnya dapat memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan dari bangsa ini. Jangan memilih pemimpin dengan kaca mata kuda dan melihat segalanya lurus tanpa ada suatu skeptisme terhadapnya. Skeptisme justru menjadi baik, karena memiliki tingkat pengharapan yang jauh lebih baik dalam membangun suatu negara. Dengan sikap skeptis, kita akan selalu mencari tahu seluk beluk dari pemimpin dan apa yang diperlukan dari negeri ini. Semua tergantung kita, apakah kita akan membeli kucing dalam karung lagi? Apakah Jokowi yang kita cari? Jika iya, jangan ragu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H