Mohon tunggu...
Khus Indra
Khus Indra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Sastra dan Seni |\r\nPengagum pemikiran Friedrich Nietzsche | Pengkritik ulung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pergulatan Kuda Tradisional dengan Kuda Mesin di Kota Bandung

11 Juli 2013   18:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:41 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung, kota yang termasuk dalam 5 besar dengan jumlah penduduk terbanyak dengan jumlah sekitar 3,3 juta jiwa. (Sumber http://www.soreangonline.com/). Dengan peningkatan setiap tahun yang dialami, membuat kota ini semakin runyam. Sama seperti jakarta, kota ini juga banyak didatangi oleh orang pendatang baik dari dalam pulau jawa sendiri ataupun luar pulau. Wajah kota kembang pun mulai berubah seiring dengan pergerakan zaman. Berubah menjadi tidak karuan dengan mobilisasi penduduk yang tidak terkontrol dan akhirnya berdampak sistemik kepada permasalahan infrastrukutur dan tata kota itu sendiri. Terutama, dari segi transportasi.

Setiap harinya pandangan kota ini tidak luput dari banyak kendaraan yang mewarnai dan menghiasi tanah aspal di bandung. Suara-suara dengungan kendaran seakan menggambarkan riuhnya jalanan di kota bandung. Memang tidak dapat dipungkiri lagi, di zaman sekarang transportasi merupakan salah satu aspek sosial yang membantu manusia dalam beraktivitas. Ruang tata kota bandung pun seakan berubah menjadi banjir transportas yang tumpah ruah tanpa terkendali. Berbagai moda transportasi ada di bandung, dari mulai motor, mobil, bus, angkot, ojek, dan transportasi tradisional lainnya. Akibatnya, bandung yang dulunya terkenal sejuk dan dingin, sekarang tidak lagi seperti itu.

Pergulatan zaman modern ini pun seiring bergerak dengan tergerusnya salah satu aspek budaya tradisional dalam konteks transportasi di kota Bandung. Salah satunya adalah transportasi tradisional, yaitu Delman. Semakin hari, nasib moda transportasi ini semakin miris. Hal itu pun dirasakan oleh Pak Dede (42) yang dijumpai kemarin siang di salah satu terminal delman Cimindi, Bandung. "Ya mas, susah mau bersaing sekarang, orang-orang mulai berpindah dan kita yang delman ini, mau gimana mas hanya nasib lah. itu kan tergantung dari masing-masing orang" ujarnya.

Beliau menuturkan bahwa pendapatnya turun drastis sekitar 50% sejak tahun 2002. Sejak tahun 2000-an volume kendaraan semakin bertambah tak terkendali, termasuk munculnya transportasi-transportasi baru seperti angkot, ojek, bus, dan lain-lain. Dan hal ini, menyebabkan transportasi seperti delman ini semakin berkurang populasinya.

Setiap harinya beliau melayani rute cimindi - gunung batu saja dan beliau sudah menjalani profesi sebagai delman ini sudah 30 tahun. "Wah, saya sudah sejak lulus SD langsung ke Delman, mas. Namanya juga orangtua gak mampu, ya mau gimana lagi," ujarnya. "Kalau pas waktu dulu, wah masih banyak delman mas. Sekarang, teman-teman saya sudah pada beralih ke angkot dan ojek. Susah lah sekarang mau cari duit dengan Delman."

Muatan delman beliau biasanya hanya pergi ke tempat-tempat yang dekat saja dengan biaya termurah Rp. 1.500,- sampai Rp. 3.000,-. Pak dede mengaku bahwa dirinya hanya bisa mengumpulkan Rp.70rb per hari. "Setiap hari saya hanya mendapatkan sekitar Rp. 60-70 rb per hari, mas" ujar pria yang memiliki 3 anak ini. Beliau juga harus membayar setoran setiap hari Rp. 10 rb/ hari, biaya keamanan Rp. 1 rb/ per hari dan juga untuk makanan kudanya sekitar Rp. 25 rb per hari. Jika dihitung, pak dede hanya mendapatkan Rp 34 rb / hari untuk membiayai hidup dan keluarganya. Cukup sulit.

Ketika ditanya mengapa beliau tidak mau beralih profesi, beliau dengan tegarnya menjawab,"Saya tidak mau mas, saya ingin mempertahankan transportasi tradisional ini. Lagian, ini sudah turun temurun. Ibarat saya sudah menemukan jalannya lha." Memang, jika berjalan-jalan di kota bandung, sudah tidak banyak lagi kendaraan transportasi tradisional ini. Mereka (baca: delman) kalah dengan pergerakan zaman yang semakin bergerak ke arah pergerakan yang cepat dan instan. Sekarang ini, banyak jalanan yang memiliki rambu dilarang lewat bagi delman seperti pengakuan pak dede,"Sekarang, sudah ada tanda pelarangan masuk bagi delman di beberapa tempat di bandung ini. Jadi ya, kita terpaksa gak bisa ke sana lagi."

Ketika ditanya mengenai kenaikan tarif akibat BBM naik baru-baru ini saja, "Yah, gak mungkin dinaikan mas. Nanti malah tambah tenggelam delman ini kalau dinaikan. Jadi sebenarnya, kita hanya melihat perhatian dan kesadaran dari penumpang saja," ujarnya dengan wajah pasrah. Dan, ketika ditanya harapannya terhadap transportasi ini, beliau menjawab,

"Harapan saya, jangan sampai delman ini tenggelam dan menghilang mas dari kota bandung ini. Karena, meskipun transportasi ini ketinggalan zaman, bukan berarti tradisi harus ditinggalin juga. Jadi saya harap pemerintah dapat melihat dan memberi perhatianlah terhadap transportasi tradisional terutama delman ini."

Sungguh sulit, bagi delman sekarang ini untuk bertarung dengan kuda mesin di zaman modern ini. Semua seakan tergerus begitu saja. Kesulitan yang didera pak dede pun seharusnya dapat menjadi perhatian bagi pemerintah setempat untuk mencari solusi untuk transportasi ini. Kalau tidak, maka bisa saja transportasi tradisional ini lama kelamaan akan menghilang dari Kota Kembang ini.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun