Rekonsiliasi tidak bisa dimulai dari sebuah ingkar. Ia harus diawali oleh pengakuan. Seorang tokoh rekonsiliasi dunia yang bernama lengkap Nelson Rolihlahla Mandela, bisa saja tidak memedulikan sebuah pengakuan. Dalam frasa truth and reconciliation, terma “kebenaran” diletakkan mendahului “rekonsiliasi” untuk menunjukkan yang satu merupakan syarat mutlak bagi yang lain.Terma kebenaran yang dimaksud tidak lain merupakan suatu terma yang berhubungan dengan karakteristik manusiawi yang bersifat humanis.
Kemarin, 5 desember 2013, pria kelahiran Mvezo (sebuah desa kecil di dekat sungai Mbhase) ini telah berpulang.Mandela telah menjadi salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia ini. Berjuang menjadi suatu gerakan yang disebut oleh kubu barat dengan sebutan gerakan kiri (Anti-apartheid). Apartheid ketika itu merupakan salah satu poros kebijakan dengan pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika selatan. Dalam berbagai risalah, penulis belum pernah menemukan alasan utama mengapa kebijakan apartheid ini bisa muncul. Tetapi, jika kita melihat dari sejarah, peradaban dimulai ketika suatu kata penghinaan itu tercipta. Kita dapat menganalogikan bahwa penghinaan akan membentuk manifestasi tindakan untuk membalas.
Dalam konteks Mandela, manifestasi tersebut tidak berlaku bagi prinsip beliau. Mandela meninggalkan kalimat yang cukup untuk menjelaskan hal tersebut, “To be free is not merely to cast off one's chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others”. Menjadi aktivis anti-aparheid, menjadikannya sebagai seorang dengan kapasitas besar. Terinspirasi oleh pimpinan revolusi kuba yaitu Fidel Castro dan Che Guavera, mempelajari semua taktik dari Manacham Begin, Mao Zedong, dan sebagainya, menjadikannya sebagai pemberontak yang handal kala itu. Tujuannya cukup jelas menekan rezim apartheid, rezim rasialis di Afrika Selatan.
Ironisnya, Pada saat itu, tahun 1960-an merupakan masa terkelam yang dihadapi dunia post-modernism. Seluruh pergolakan politik terjadi di mana-mana. Mulai dari Eropa, terutama Prancis dengan kehadiran revolusi yang dikumandangkan oleh para akademisi. Di Asia, sebut saja Indonesia dengan pergumulan politik demokrasi terpimpin Soekarno yang diduga memicu bertumbuhnya Partai Komunis di Indonesia. Langkah-langkah subversi pun digerakkan oleh para pemangku jabatan yang ingin merebut kekuasaan. Di Afrika, tepatnya Afrika Selatan, pergumulan juga terjadi yang mengakibatkan Mandela bersama temannya ditahan dan dituduh melakukan subversi. Beliau kemudian di Penjara selama 27 tahun. Tepat pukul 16.00 (11 Februari 1990), setelah F.W de Klerk (Presiden Afsel tahun 1990-an) melakukan negosiasi alot untuk membebaskan Mandela.
“Hari ini, mayoritas warga Afsel, hitam maupun putih, meyakini bahwa kebijakan apartheid tak lagi punya masa depan. Apartheid harus diakhiri,” ujar mandela ketika beliau bebas. Di titik inilah kita bisa melihat bahwa yang perjuangkan oleh mandela bukan masalah hitam atau putihnya kulit seorang manusia. Yang diperjuangkan adalah nilai-nilai humaniora atau kemanusiaan itu sendiri. Mandela sadar bahwa sebagai manusia, kebebasan adalah hak dari setiap individu. Tidak ada pembatasan dalam berperi-kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan yang universal-lah yang seharusnya menjadikan dunia ini memiliki landasan resistensi.
Kemanusiaan yang universal menjadi cita-cita Mandela. Beliau selalu memberi tindakan nyata untuk mewujudkannya. Mandela yang disiksa oleh wakil kepala penjara Jannie Roux, mengampuni perlakuannya dan bahkan mandela menunjuk Roux untuk menjadi Duta Besar Afsel di Austria. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah Mengapa beliau bisa memaafkan perlakuan yang diterimanya selama 27 tahun tersebut?
Mengambil pemikir prancis, Albert Camus, mengatakan bahwa hidup ini dilingkupi oleh kesempurnaan absurditas. Sejarah merupakan hal yang tidak bisa diterima begitu saja. Sejarah bisa dibuang jika memang tidak diperlukan untuk merekonstruksi suatu cerita. Bisa saja Mandela dapat setuju dengan pemikiran Camus. Dalam esai Le Mythe de Sisyphe(1942), perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Jelas bagi mandela, untuk berkata bahwa perjuangannya selama ini sudah mengisi hati-hati manusia, termasuk para sipir penjara yang telah menyiksanya dan sejarah yang menyiksanya tidak perlu untuk direkonstruksi atau dihukum.
Perjuangan dan sikapnya tersebut membawa Mandela meraih nobel perdamaian pada 1993 dan Presiden Afsel yang pertama kali dipilih secara demokratis pada tahun 1994. Presiden Soeharto menjuluki Mandela dengan sebutan ‘Pendekar Keadilan dan Pembela Kebenaran’. Terdengar agak paradoks dengan sikap Soeharto selama ini.
Kepergiaannya memberikan peninggalan kepada kita mengenai esensi-esensi dasar dari seorang manusia. Dia tidak berbicara mengenai baik atau buruknya, tetapi dia berbicara mengenai proses-proses yang selazimnya dijalani oleh manusia. Semua merasa kehilangan, baik yang kenal maupun tak mengenalnya. Mandela tidak seperti Soekarno yang berapi-api dalam berpidato. Dia tidak berusaha untuk menjadi agitator bagi orang-orang yang mendengarkannya. Tetapi, dia memberi pelajaran kemanusiaan yang lebih kepada sesama.
Setelah Mandela, apakah pelajaran kemanusiaan ini akan habis begitu saja? Tidak masih banyak di luar sana yang mengajarkan kita mengenai kemanusian. Selama sifat-sifat ketidak-manusiaan itu ada, maka kemanusiaan itu pasti tetap dapat diperjuangkan. Penulis ingat kata-kata Camus, “Utopia mengganti Tuhan dengan masa depan”. Apakah Mandela juga begitu, Utopia akan mengganti Mandela dengan masa depan? Tergantung bagaimana harapan kita itu sendiri.
Terima kasih, Madiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H