Meminjam kata-kata Maurice Blanchot, “Borjuis di akhir abad ke-19 adalah manusia dengan tujuan kecil, keji dan tak memadai.” Memahami apa yang dikatakan Maurice tampaknya relevan dengan sekarang. Narasi-narasi kapitalisme kontemporer telah masuk begitu erat sehingga membuat budaya konsumtif semakin memuncak. Pasar yang menjadi arena antara produsen dan distributor (dalam artian para pedagang) menjadi peranan aktif untuk menjajalkan keanekaragaman bentuk komoditi. Sementara, konsumen hanya menjadi aktor yang pasif (terkadang menjadi penonton) dan menjadi sasaran dari produk kapitalistik di dunia global.
Munculnya konsumen tentu bukan suatu sebab yang tunggal. Dia muncul dari situasi kebutuhan untuk memenuhi nafsu yang akhirnya dikenal dengan kata dasar ‘Konsumsi’. Terkadang menelisik proses kebutuhan seorang konsumen dapat memunculkan dari berbagai spekulasi. Salah satunya adalah sikap kecemasan. Kecemasan untuk selalu melengkapi diri agar tidak merusak tubuh ini. Seperti makanan, kenapa kita makan? Jawaban yang umum adalah agar diri kita tetap bugar. Pada titik ini akan ditemukan frasa bahwa manusia cemas bahwa dirinya akan tidak bugar apabila tidak makan. Ini salah satu contoh sederhana.
Sebagian besar perilaku manusia secara tidak langsung akan berhubungan dengan konsumsi. Dalam buku Lethal Consumption: Death-Denying Materialism (2004) karya Solomon, dkk, pada dasarnya manusia adalah seorang konsumen. Namun, kebutuhan manusia tidak selalu dihadapkan pada kelangsungan fisik semata (seperti makanan). Adanya faktor emosi untuk memainkan peran tersebut. Faktor emosi berperan aktif terhadap sikap intuitif kita. Di sini, kecemasan juga dikonseptualisasikan sebagai respon emosional yang muncul. Biasanya respon tersebut dipengaruhi bukan dari dalam diri individu, melainkan dari luar tubuh.
Kerangka di luar tubuh yang disebut dengan lingkup sosial menjadikan diri manusia bukan hanya konsumtif berdasarkan kebutuhan tetapi keinginan yang ‘manipulatif’. Yang dimaksud dengan keinginan manipulatif adalah manusia yang terjebak dalam respon sosial dalam lingkup masyarakat dan polanya dapat dibaca dengan tanda ‘pengikut tren’. Misalnya, konsumsi terhadap barang-barang yang sebenarnya kita tidak butuhkan tetapi karena hanya sekadar berkeinginan, maka kita membelinya. Konsumsi semacam ini dapat mengkomunikasikan makna simbolik tentang identitas, status, dan kelas. Seperti yang diutarakan Baudrillard di tahun 1972, bahwa yang merupakan dorongan konsumsi manusia bukan hanya kenikmatan melainkan keinginan untuk memamerkan ‘nilai tanda’. Nilai tanda dilihat sebagai suatu prestise sosial. Dan, para pemodal memanfaatkan ruang-ruang seperti ini untuk tetap memproduksi barang-barang agar individu tetap mengutamakan nilai prestise sosial sebagai ajang konsumerisme.
Ironinya, dan sekaligus yang memilukan adalah hal-hal tersebut tidak disadari oleh para pelaku konsumen seperti ini. Tidak sadar bahwa dirinya menjadi mangsa yang paling empuk di zaman kapitalis ini. Contoh kecilnya adalah produk teknologi. Kita semua setuju bahwa kita tidak bisa mengikuti sampai habis suatu kemajuan teknologi itu. Tetapi, produk teknologi sepertiSmartphone telah menciptakan nilai prestise dalam suatu lingkup sosial. Apakah kita bisa menebak sampai series ke berapa sebuah iPhone atau Samsung itu akan habis? Apakah hanya sampai iPhone 15 atau Galaxy Samsung S-15? Selama masyarakat dipermainkan dengan kecanggihan teknologinya yang dapat menunjukkan nilai identitas, status sosial dan status, maka para pemodal tetap akan menciptakannya untuk memenuhi nafsu kita. Dalam hal ini, produk teknologi merupakan pengejawantahan dari nilai prestise sosial. Contoh lain dapat dilihat dari pemakaian baju yang bermerek ataupun tas yang berlogo ternama. Ini sama saja. Kapitalisme seakan menegakkannya pada dominasi sosial untuk menjejalkan tanda-tanda simbolik seperti itu. Kemudian, kepentingan kapitalis ekonomi dengan sengaja mempersembahkan benda-benda konsumsi melalui ‘pengalaman’-nya untuk memicu kognisi dan emosi konsumen.
Masyarakat Konsumtif Beserta Cacingnya
Apa yang terjadi pada konsumen kontemporer adalah mereka diarahkan untuk selalu haus akan barang-barang baru yang bersifat kontinu agar menimbulkan rasa kecemasan. Kecemasan dan reaksi emosi lain sering terjadi sebagai respon terhadap rangsangan situasi atau lingkungan. Emosi-emosi seperti ini akan memacu individu untuk melakukan berbagai cara untuk mengatasinya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ke-chaos-an dalam tatanan sosial.
Kekacauan yang terjadi adalah manusia lebih diarahkan untuk bersikap individualistis dan materialistis. Dominasi terhadap diri secara individu terus dibangun oleh nilai-nilai kapitalistik. Manusia sekarang juga dibawa ke angan-angan yang lebih tinggi lagi, yaitu mengenai kemapanan pribadi. Misalnya, mengenai kepemilikan benda yang dikenainya. Jadi, individu diarahkan untuk mengalihkan fokusnya ke suatu penampilan. Akhirnya para cacing-cacing kapitalistik berusaha membuat diri kita menjadi suatu pasar yang empuk. Apabila hal ini terjadi secara masif dan secara pengkalkulasian, maka seseorang akan lebih dihargai dari apa yang dikenakannya daripada apa yang dilakukannya. Secara tidak langsung, ‘doktrin’ seperti ini malah menjadi warisan atau suatu kewajaran yang diterima begitu saja dan tanpa sadar.
Yang terjadi sebenarnya adalah transformasi dari realitas menuju imaji-imaji yang luar biasa secara konsisten. Bagaimana para produsen atau pemilik modal berusaha memberikan imaji untuk mengelabui apa yang berada di luar kebiasaan kita. Dan, tentu saja ini dapat menarik perhatian konsumen empuk untuk mengonsumsinya. Dalam buku Anxiety & Uncertainty in Modern Society(2001) karya Patty dan Liederke, menyebutkan bahwa budaya materialistis mendorong rasa kekosongan karena orang yang merasa kosong akan menjadi konsumen yang besar. Jika konsumen semakin merasa hampa, lanjutnya, maka semakin besar kemungkinannya untuk berpaling ke produk untuk mengisi kekosongan itu untuk selanjutnya membuat mereka merasa ‘penuh’. Di titik ini juga, maka lahan kekosongan itu akan diisi dengan apa yang disebut kalangan marxian sebagai “nilai tukar”
Tukar dalam konteks ini, berbicara mengenai transaksi yang awalnya berupa wujud benda yang ditransformasi menjadi nominal. Dan, akhirnya bagi sang subjek nilai nominal tersebut dihargai dengan apa yang disebut dengan ‘nilai guna’ barang. Misalnya sebuah kayu hanyalah kayu, tetapi kayu yang diolah menjadi meja ataupun kursi, maka kayu akan mempunyai sifat ‘transenden’. Daging ayam hanyalah daging ayam, tetapi KF*, A&*, ataupun produk-produk olahan makanan jadi lainnya membuat daging ayam menjadi hal yang diutamakan. Jadi, bahan baku yang awalnya bersifat singular menjadi sifat ‘transenden’. Perilaku konsumtif yang gemar melahap apapun hanya dibutakan oleh kemegahan, identitas, status tanpa guna melihat apa yang ia butuhkan sebenarnya. Ini merupakan salah satu resiko yang harus dilihat dalam dunia majemuk sekarang ini. Pembajakan identitas hanya membuat manusia menjadi tidak percaya diri dengan apa yang dimilikinya. Contoh sederhananya adalah mengenai operasi plastik, cat rambut, alis palsu, dan segala yang memermak diri kita, semua tidak lebih dari manifestasi yang diciptakan untuk memanipulasi pikiran dan mental kita.
Daniel Bell pernah menyebutkan dua penemuan yang paling menakutkan setelah ditemukannya mesiu adalah Iklan dan kartu kredit. Kita lihat di zaman sekarang ini, iklan dan kartu kredit merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi manusia untuk berperilaku lebih konsumtif. Iklan menggunakan polanya untuk mengubah pemikiran kita yang awalnya ‘keinginan’ menjadi sebuah ‘kebutuhan’. Melalui iklan juga, kita dibius secara perlahan menjadi lapar akan produk-produk yang ditampilkannya. Sederhananya adalah iklan menghipnotis kita. Bahkan saat ini, ada ribuan perusahaan advertising yang telah menciptakan citra diri yang tidak realistis dan perasaan rendah diri konsumen, yang pada akhirnya mereka menawarkan berbagai produk agar dapat mencapai idealisasi baru. Media telah berkolaborasi dengan kehendak ekonomi kapital untuk menciptakan ruang-ruang ‘pengisian’ untuk para konsumennya. Hal yang sederhana yang bisa dicontohkan adalah coba lihat barang-barang di sekitar Anda. Dari mulai meja makana, lemari es, suplemen, hp dan apapun yang berada di sekitar, Anda beli atas ‘Saran’ dari iklan yang dilihat setiap hari di televisi atau media apapun. Bukankah begitu?
Kartu kredit juga merupakan faktor penting dalam membangun sikap konsumtif. Ketika para Bankir dan para kapiten kapital bersatu untuk menciptakan sistem ini, sebenarnya mereka hanya ingin membawa kita ke dunia imaji-imaji yang mereka bangun. Melalui kartu kredit, segalanya bisa kita jajal. Segalanya dapat ditukar dengan kartu yang hampir sama dengan ukuran 4R. Imaji yang dibangun tidak tanggung-tanggung. Mereka seakan memberi janji bahwa kita dapat membeli barang A, meskipun pada faktualnya kita belum memiliki nominal atau transaksi nilai tukar sebesar harga barang A tersebut. Dramatisasi ini membuat para konsumen untuk memilih menikmati produk tersebut terlebih dahulu, baru memikirkan proses pembayarannya. Dan, pada tahap ini jika sang subjek penimat produk tersebut, tidak segera memikirkan proses pembayaranya, maka akan terjadi apa yang dinamakan dengan Hutang. Inilah yang saat ini sering terjadi di kalangan masyarakat ‘kekinian’ sekarang ini. Saya lebih tertarik menganggap bahwa kartu kredit adalah salah produk kapital yang paling bengis. Mengapa? karena menipu daya pikiran kita akan kehadiran uang yang berlimpah. Padahal kenyataannya, uang tersebut belum tentu ada (belum tentu bisa didapatkan). Dan, yang paling ironis adalah kartu kredit telah menjadi sebuah status ataupun identitas dalam gaya hidup masyarakat sekarang ini.
Joel Rocamora, seorang marxis dari Filipina berkata, “Kemampuan kapitalisme tetap tak tertandingi dalam menghidupi pertumbuhan ekonomi, ia tetap menciptakan korban.” Tetapi di sini, saya akan mengutip cuplikan Adorno yang berujar, “Manusia selalu ingin bebas menjadi korban, dan salah satu caranya adalah dengan mengorbankan diri.” Perihal ini, kapitalisme tetap akan menjadi tantangan sampai sekarang, oleh sebab itu, sebagai korban, kita-lah yang harus berkorban untuk melakukan tindakan progresif dalam menurunkan pengaruh kapitalis. Mereka yang memilih untuk terjatuh dalam posisi konsumtif akan menjadi cikal bakal masyarakat dengan gaya borjuasi. Bagi kaum-kaum borjuasi, retorika revolusi memang tak akan menarik bagi mereka. Mereka lebih nyaman dalam posisi tersebut.
Bersamaan dengan situasi sekarang ini, Daniel Bell berbicara mengenai pergeseran dari ‘karakter’ yang didasarkan pada kewajiban moral menjadi pribadi yang lebih didasarkan pada pengagungan diri dan pembedaan diri dari orang lain atas dasar gaya hidup dan kepemilikan benda-benda. Berlimpahnya barang-barang konsumsi memungkinkan masyarakat memilih untuk mengejar kesejahteraan psikologis melalui konsumerisme barang. Identitas mereka semakin dibentuk oleh benda-benda konsumtif. Mungkin diperlukan tingkatan tertentu untuk menjaga kesejahteraan tersebut, tetapi ini juga bukan merupakan solusi dan hanya akan kembali terjebak dalam pertahanan simbolis yang bersifat sementara. Lantas, Apakah dalam Dunia Ketiga ini, kita dapat melawan kapitalisme yang mutakhir ini?
Sebagai penutup, saya akan mengutip pengungkapan yang bagus dari seorang sastrawan Amerika, Lionel Trilling, “Kita menciptakan uang dan menggunakannya. Tetapi, kita tidak bisa memahami hukum-hukum dan memahaminya. Ia punya hidup sendiri.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H