Anak kecil yang tinggal di daerah kumuh dekat stadion Maracana (Foto: Midia Ninja, Aljazeera.com)
Pada partai pembuka piala dunia 2014 Brazil melawan Kroasia (13/06), sebanyak 60.000 penonton yang memadati Stadion Corinthias dibuat kaget ketika pemain bertahan brazil, marcelo, melakukan gol bunuh diri pada menit awal. Tetapi, sejak saat itu permainan brazil mulai bangkit dan tentunya mereka yang bertindak sebagai tuan rumah tidak ingin dipermalukan dihadapan publik sendiri. Sebelas komposisi pemain itu sepanjang menit pertanding menggedor pertahanan kroasia. Hingga menit ke-29, Neymar menyimbangkan skor melalui sepakan kaki kirinya dari luar kotak penalti. Brazil terus melalukan serangan dengan memborbardir pertahanan kroasia hingga menit akhir. Dan, euforia penonton pun terlepas seketika akibat kemenangan 3-1 oleh Brazil.
Segenap penduduk brazil seperti tersihir dengan kemenangan perdana tersebut. Tetapi tidak untuk Juan Jose Rodriguez (59) yang memiliki pandangan berbeda. Kepada Aljazeera, ia mengungkapkan bahwa dia tidak ingin brazil menang dan tidak ingin juga brazil menjuarai piala dunia tersebut. “Saya tidak ingin mereka menang, saya tidak ingin penduduk lupa terhadap apa yang telah dilakukan pemerintah,” ujarnya pada aljazeera.com.
Di tengah euforia menyambut perhelatan akbar sepak bola tersebut, sebagian penduduk Brazil menyatakan sikat protes dan berunjukrasa untuk menghentikan ajang tersebut. Alasan mereka (Baca: Demonstran) sangat sederhana, yaitu memrotes sikap pemerintah brazil yang tega mengeluarkan dana begitu besar untuk perhelatan tersebut, padahal negera tersebut masih dilanda kemiskinan yang besar. Wajar saja dana yang dikucurkan pemerintah untuk menyelanggarakan pesta tersebut adalah 11 Milyar USD. Angka ini tentunya bukan jumlah yang sedikit bahkan nominal sebesar ini hampir 4x lipat dari penyelanggaraan piala dunia 2010 di Afrika Selatan.
Pemerintah brazil bersikeras bahwa mereka angka mendapatkan pendapatan yang lebih fantastis dari pesta tersebut. Seharusnya, mereka dapat belajar dari tuan rumah Afrika selatan, yang mengeluarkan dana 3 Milyar USD dan sementara pendapatan yang dihasilkan hanya sebesar 400 juta USD. Ini adalah sebuah perjudian besar bagi brazil. Perjudian di mana pemerintah lebih mementingkan wajah brazil di mata dunia daripada meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ini memang ironi.
Tingkat kemiskinan Brazil menurut data World Bank sekitar 15,9% dengan jumlah penduduk 198 juta. Angkat ini juga lebih besar dari Indonesia yang sekitar 12%. Seorang penduduk Favela (Favela adalah daerah kumuh di Brazil), Marli (61) mengatakan, “Kami tidak akan merayakan Piala Dunia yang hanya datang untuk menyakiti kehidupan orang miskin.” Marli adalah salah satu yang digusur dari pemukimannya akibat perhelatan piala dunia tersebut. Pemerintah tidak mengijinkan adanya daerah perumahan kumuh di sekitar pergelaran Piala Dunia.
Indeks Tingkat Kemiskinan Di Brazil (Sumber: Worldbank.com)
Sebenarnya, sebelum perhelatan ini dimulai pada kamis malam kemarin, terdapat beberapa narasi yang mengkhawatirkan, yaitu mengenai infrastruktur yang belum selesai, stadion mewah, pengaturan pertandingan, penggusuran dan protes besar-besaran. Meskipun brazil yang secara naturalnya sangat lekat dengan sepak bola, narasi-narasi seperti ini tetap menghantui negara tersebut. Alhasil, banyak dari masyarakat brazil mengkritik keras atas sikap “paksa” atau gairah pemerintah untuk tetap menjadi tuan rumah. Hal ini terbukti dari pemerintah brazil yang telah gagal memenuhi harapan sendiri, di mana sejumlah besar proyek infrastruktur tetap belum selesai pada saat peluit pembukaan ditiupkan. Belum lagi permasalahan status stadion yang belum jelas kelanjutan setelah piala dunia 2014 nanti. Seperti yang terjadi dalam piala dunia 2014, kebanyakan stadion di Afsel setelah pergelaran tersebut merana.
Dengan situasi euforia dan ironis, lantas muncul pertanyaan besar yang muncul disalah satu dinding mural di Sao Paolo yang menuliskan, “Untuk siapa Piala Dunia 2014 ini?” Sebagian besar pengamat mengatakan bahwa hanya FIFA, media, dan Sponsor-lah yang akan mendapatkan keuntungan dari piala dunia 2014 ini. Dalam hal ini, FIFA memiliki aturan sendiri terhadap perhelatan yang digelar di Brazil ini. Oleh sebab itu, sebagian orang menganggap ini adalah pertarungan antara FIFA vs Kedaulatan Brazil. Di mana sebagian peraturan Undang-Undang Brazil diubah dan diberlakukan sesuai dengan kesepakatan pihak FIFA terkait penyelenggaraan Piala Dunia. Seperti yang dilaporkan CBC News, FIFA sendiri telah terperosok dalam tuduhan persekongkolan tender dan penyuapan di kota-kota yang menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Penduduk Brazil pesimis bahwa dengan pagelaran yang menghabiskan dana triliunan itu tidak akan membawa manfaat apa-apa untuk mereka. Yang kaya akan semakin kaya, sementara yang miskin hanya bertengger dalam posisinya saja. Wajar saja pada awal bulan juni lalu, muncul sebuah tagar #NaoVaiTerCopa yang berarti Tidak akan ada piala dunia. Namun sebagian orang mempercayai bahwa Piala Dunia tidak akan dihentikan. Tetapi, yang perlu diamati adalah bagaimana warga brazil mengingatkan pemerintah untuk tidak menyia-nyiakan anggara begitu besar itu. Para pemrotes yakin bahwa Piala Dunia 2014 ini telah diracuni ikatan politik dan telah dieksploitasi secara komersial dan kapitalisme secara laten.
Kita tahu bahwa pada bulan oktober mendatang akan diadakan pemilihan presiden Brazil. Dalam hal ini, Presiden Dilma Rousseff berusaha meraup suaranya kembali agar terpilih nantinya, di mana dia akan bersaing dengan Aecio Neves dari Partai Demokrasi Sosial dan Eduardo Cempos dari Partai Sosialis Brazil. Hal ini telah diingatkan oleh ilmuwan politik Brazil, Carlos Eduardo Da Silva lins, yang mengatakan bahwa apa yang terjadi di luar stadion dalam arti di luar hal teknis Piala Dunia akan sangat berdampak. Dia juga mengatakan bahwa apabila ada sesuatu yang salah, maka hal ini akan dimanfaatka oleh oposisinya untuk mengisi pos-pos di pemerintahan.
Kita tidak tahu siapa yang menguntungkan dalam hal ini, apakah FIFA atau Presiden atau rakyatnya dalam terselenggaranya pesta ini. Yang jelas Piala Dunia ini telah menyatukan berbagai ras, agama, suku dan jenis masyarakat dunia ke dalam satu perhelatan. Dan, warga brazil yang masih miskin dengan kesenjangan sosial yang melebar, maka mereka adalah milik dunia. Karena Piala dunia adalah untuk warga dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H