Mohon tunggu...
Agus Siswanto
Agus Siswanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba mengasah otak lewat coretan kecil || tinggal di Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah ||

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rani#2

27 Januari 2014   13:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rani #2

Cerita sebelumnya dalam Rani #1

“Astagfirullah.... yudha!Kamu bikin kaget kami, kenapa!” Rani memang sengaja ketus terhadap Yudha pemuda satu desa yang selalu menganggunya.

“ayo dong manis.... jangan pasang muka ketus gitu, tau gak aku tiap hari menunggu kamu di balik warung dekat tikungan desa... hanya untuk menemui kamu saat berangkat sekolah” yudha memang sangat mengagumi Rani, bahkan dia tidak kehilangan akal mencoba untuk membuka pintu hati Rani yang tergembok saat ini.

Yudha pemuda desa berusia 23 tahun yang sangat mengagumi kecantikan Rani, bahkan tak kuasauntuk mencumbui harum bunga yang meranum. Pemuda anak juragan padi yang terkenal kaya untuk ukuran warga di desa Rani. Tapi sayang, hidupnya hanya di gunakan untuk bersenang-senang dan kuliahnya juga sudah berantakan karena kemalasannya.

“Yudha tolong.... pinggirkan sepeda motor kamu, kami mau berangkat ke sekolah hari ini pengumuman ujian akhir” Rani mencoba bersabar padahal hatinya dongkol sudah setahun ini pemuda itu sering membuat hati rani kesal dengan tingkahnya yang aneh aneh.

“Sebentar Ran.... aku mau tanya.... Kenapa kau tidak membalas suratku, sudah seminggu aku menunggu ... ada pesan penting di surat itu” Yudha mencoba mencari tahu tentang surat yang tidak berbalas.

“Surat? Surat apa? Tidak ada surat darimu yud... sejak seminggu kemarin aku tidak menerima surat darimu sampai saat ini... aneh aneh saja kamu ini... “ Rani terheran heran dan tidak mengerti maksud dari pertanyaan yudha. Rani pun segera mengajak Lala untukpergi meninggalkan yudha yang tampak jengkel dan gundah.

“ Ran..... tunggu!!!”

Panggilan yudha tidak dihiraukan Rani, kedua sahabat itupun segera cepat cepat pergi dan sekejap saja berlalu memasuki desa sebelah.

Yudha masih menggerutu dan tak habis fikir kenapa surat yang di kirim ke Rani tidak sampai. Yudha menyuruh parjo yang merupakan kuli di ricemill milik Bapaknya untuk menyerahkan surat itu ke Rani. Parjo memang orang kepercayaan bapak Yudha yang sangat patuh.

“Breng##k.....! si parjo! Ternyata koe biang keladi ini tak poles tenan ndasmu jo!!” Yudha segera melesat pulang ke rumah di sertai angin pagi padang sawah yang menghijau. Teriknya cahaya mentari pagi yang menghangat menambah panasnya hati dan kepala Yudha menerima kenyataan ini. Gadis yang dia puja-puja belum bertekuk lutut di hadapannya, dengan cara apalagi dia mencoba membuka gembok hati Rani yang terkunci. Sepertinya Yudha bukan kunci ideal bagi hati Rani.

####

Teras SMA Negeri 1 dekat ruang pengumuman pukul 09.25

“ Aduh Ran...sudah tiga kali aku mondar mandir ke toilet tapi ini kok kepengen lagi... aduh... pimen yo aku kiye” Lala merasa gundah atas kecemasan dirinya menunggu pengumuman ujian akhir yang kurang sebentar lagi akan di umumkan. Lala orangnya disamping bawel juga panikan makanya pas dan cocok banget berteman dengan Rani terjadi keseimbangan sifat dan tingkah laku.

“Lala... kamu diam dulu kenapa seh? Sini duduk di sampingku saja... atau kamu mau baca buku saja, ini aku ada majalah Int#sar# terbitan terbaru” Rani mencoba membujuk Lala untuk sejenak bersabar dan berdiam diri.

“walah walah dasar kutu buku, orang lagi panik dan deg deg seerrr kaya mau kesetrum malah di suruh baca buku, emohlah aku! Hayooo ke kantin wae Ran,,,,,!” tangan Rani pun di ambilnya dan di seret menuju kantin sekolah. Rani hanya mengikuti kemauan sahabatnya saja tanpa berusaha menolak. Sungguh sifat dan tingkah laku Rani sangat baik kesahabatnya itu.

Belum selesai Rani dan Lala makan bakso di kantin sekolah tiba tiba terdengar sayup sayup pengumuman dari pengeras suara.

“ Ran... kamu denger gak? Ada pengumuman tuh... mungkin hasil ujian kita sudah di tempel kali ya? Ayoo Ran cepet kita lari kesana....”

“Lala.... bayar dulu!”

“akh... nanti aja.... sama bu jiwo juga, ntar kesini lagi.... bu Jiwo ntar kita kesini lagi ya bu.... mau lihat hasil dulu”Lala tersenyum senyum simpul ke bu Jiwo tanda minta kebaikan hati bu Jiwo.

“Siap mbake ayu..... sing penting gak lupa aja, ntar kalo lupa bakal tak suruh nyuci piring dua hari” Bu Jiwo hanya mengelakar seadanya saja karena memang tau persis siapa Rani dan Lala.

Kedua sahabat itu berlarian menuju sumber suara dan di lihatnya banyak siswa-siswa yag telah mengerumuni papan pengumuman yang berkaca. Tenyata pengumuman telah di pasang. Lega hati Rani dan Lala, keduanya dinyatakan lulus dengan hasil yang baik dan nilai Rani sedikit lebih baik di banding dengan Lala sahabatnya. Akhirnya ungkapan kesenangan, kelegaaan, tertuang dalam pesta corat coret pakaian yang menjadi ritual setiap tahun. Sorak sorai, riuh di barengi dengan ungkapan kegembiraan dan kesenangan berbaur.

####

Yudha segera mencari parjo di Ricemill Bapaknya yang letaknya di samping rumah persis, tanpa kesulitan mencari di temukannya parjo sedang menjemur padi di halaman ricemill.

“Parjooooooo ..... elek tenan kowe jo.... kenapa surat yang ku titipkan buat Rani tidak kau sampaikan? Asem tenan koyo kelekmu kui jooo jooo.... “ Yudha terlihat sangat geram bahkan hendak memaki maki parjo.

“sik sik sik mas.... sabar sabar... aku gak ngerti, surat apa, dan kapan mas yudha menyuruh saya menyampaikan surat ke Rani... aku gak ngeh eh mas...” parjo kelihatan bingung atas tuduhan dari Yudha.

“ Surat Jo... surat sampul biru yang aku titipkan seminggu yang lalu pas siang siang seperti ini, malahan sebungkus rokok dan uang 10ribu tak berikan kekamu! Ngeles wae kowe Jo! Tak tendang sikilmu mengko! “Yudha sepertinya sangat geram nafasnya mulai memburu tanda ketidak stabilan emosi di hatinya.

“Demi Tuhan Mas Yudha.... saya belum pernah menerima surat,rokok,dan uang dari mas Yudha seminggu lalu... Demi Tuhan.... biar saya jadi kaya saja nek aku ngapusi kaleh njenengan mas...”

“Lha terus... aku ngasih surat itu ke siapa? Kan Cuma kamu yang biasa aku suruh suruh joooo!”

“Demi Tuhan Mas.... sekali lagi Demi Tuhan... saya gak pernah menerima surat itu dari mas Yudha”

“ Bajindul kabeh ki.... yo wes lah!”

Yudha segera berlalu, kakinya mengosak osek padi jemuran parjo tanda kegeramannya, lalu Yudha beranjak kekamarnya di rebahkanlah tubuhnya ke kasur empuk . Matanya memandang ke lemari pakaian dan terlihatlah sampul biru yang terselip di atas lemari pakaiannya. Diambilnya sampul biru itu dan ternyata sampul surat beserta isinya yang mengungkapkan isi hati yudha ke Rani. Yudha pun menggeleng-geleng kepalanya sendiri.

“Tuhan...... ternyata surat ini belum sampai kemana mana. Kenapa aku begitu bodoh!. Ada apa dengan ingatan dan isi kepalaku selama ini Tuhan” baru kali ini Yudha menyebut nama Tuhan yang sangat jarang di ingatnya.

Yudha tak habis fikir tentang kejadian yang baru saja menimpanya. Kenapa dia begitu bodohnya menganggap surat yang kenyatannya belum terkirim seperti sudah terkirim. Kenapa dengan ingatannya selama ini. Ternyata kejadian ini titik awal perubahan jalan hidupnya. Yudha merenung sangat lama di kamarnya.

####

Sore itu Rani,Ibu,dan adik Rani sedang nonton TV bersama di ruang tengah kebetulan Bapak rani juga sedang leyeh leyeh sehabis pulang dari sawah.

“Mbak... kata ibu mbak rani mau sekolah jauh ya? NtarDika di rumah sama siapa mbak?” Dika adik Rani yangmasih duduk di kelas 4 SD sepertinya tidak rela mbaknya sekolah jauh di luar kota.

“Dek... mbak gak kemana mana kok... ini masih disini jagain adek mbak sing gendut dan imut kaya baby huey....”

“Ran... bukane sekolah guru harus keluar kota, kalau kamu ndak keluar kota apa bisa kamu sekolah guru ran”

“Bisa kok bu... sepertinya Rani mau melanjutkan kuliah di sini saja, dekat rumah biar bisa bantu ibu dagang dan jagain si baby hueyyy”

“Mbak Rani gak jadi keluar kota ya? Lha kata ibu ke adek kemarin apa?”

Bapak yang sebelumnya leyeh-leyeh tiba tiba terbangun dan duduk.

“Apa? Kowe arep kuliah nduk! Bapak gak setuju! Pokoke bapak gak setuju titik, anak wedok ndadak kuliah segala, juntrungannya nanti di dapur, nyuci dan di kamar” sambil berpindah tempat dan pergi keruang tamu.

Bapak Rani hanya lulusan SMP dan Ibu Rani lulusan SMA mereka berdua menikah bukan karena keinginan Ibu Rani, karena kekolotan Simbah Rani yang menjodohkan mereka berdua. Sifat bapak Rani yang keras kepala tak jarang membuat ibu Rani sering mengelus dada untuk menyabarkan hatinya.

Ibu,Rani dan adiknya dika langsung kaget dan bengong mendengar ungkapan bapak yang tidak setuju rani melanjutkan kuliah. Tidak seperti biasanya langsung mengeluarkan suara menggelegar bak geledek di siang terik.

Kenapa bapak tiba-tiba tidak setuju dengan keinginan Rani untuk melanjutkan ke sekolah tinggi, apa mungkin ibu hanya memutuskan sepihak tanpa sepengetahuan bapak? Rani tanpak kebingungan dan di liputi rasa kekhawatiran yang tinggi.

Mendengar ucapan Bapak, Rani terkejut dan bingung. Dika yang tidak terlalu paham masalah orang dewasa hanya asyik menonton kartun kesukaannya sambil sesekali memainkan mobil mainan. Rani memandang ibunya dengan tatapan penuh tanya. Mengapa tiba-tiba sikap bapak seperti itu, tidak seperti biasanya. Ibunya yang dari tadi memotong sayuran untuk di masak buat lauk makan malam mencoba mendamaikan hati Rani kembali.

“Bu......bapak kenapa?” rani mencoba bertanya dengan suara lirih, sementara bapak Rani sudah pindah tempat menuju ke ruang tamu.

“Tenang saja nduk... kamu ga usah khawatir, nanti bapak biar ibu yang selesaikan. Kamu diam saja ya... terpenting kamu harus rajin cari info buat usahamu melanjutkan sekolah nanti”

Rani pun mengangguk, tapi jauh di lubuk hatinya dia merasakan kebingungan kembali. Hatinya kembali diliputi sejuta pertanyaan. Kalau seandainya bapak tidak menyetujui untuk melanjutkan ke sekolah tinggi Rani hanya bisa pasrah.

Ibunya sementara hanya bisa diam, mencari waktu yang tepat untuk berdiskusi serius dengan bapak. Memang keputusan untuk merestui Rani melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi masih belum di bicarakan dengan bapak. Menunggu waktu yang tepat.

Bersambung....

Comal, 27 Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun