Mohon tunggu...
Gustaf Mamangkey
Gustaf Mamangkey Mohon Tunggu... Dosen -

Seorang dosen. Penyuka laut dan fotografi. Iseng benar meneliti kerang-kerangan dan mutiara. Punya anak sepasang dari isteri satu.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tantangan Budidaya Mutiara Indonesia

17 Mei 2017   17:19 Diperbarui: 18 Mei 2017   14:37 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa Prodi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi sementara melakukan penelitian produksi mutiara


Sejak booming mutiara dimulai di awal abad yang lalu, Jepang mendominasi produksi mutiara global. Dimotori Mikimoto sang pemegang paten produksi mutiara budidaya, pasar mutiara merambah Eropah dan Amerika yang terkenal angkuh dengan emas dan berliannya. Pasarpun berkembang merambah belahan dunia lain termasuk Asia. Walau dekat, Asia masuk belakangan mengingat kondisi ekonominya yang belum bangkit di masa revolusi.

Pangsa pasar mutiara memang tak jauh dari kalangan bangsawan. Walau sempat juga merambah para dukun yang menggunakan mutiara sebagai bahan obat di abad mula-mula, namun toh tak melampaui posisi mutiara sebagai benda perhiasan di era selanjutnya. Kalangan bangsawanlah yang mengangkat nilai mutiara bersanding dengan bahan perhiasan kelas atas lainnya bahkan melebihinya.

Selain sebagai perhiasan, nilai lebih mutiara adalah sebagai lambang kesetiaan dan kelembutan. Bahkan mutiara sempat berjaya di abad pertengahan sebelum ditemukannya gugusan deposit berlian di Brasil pada abad ke 17. Walaupun demikian, toh mutiara bangkit lagi di awal abad 20 setelah metode budidayanya ditemukan.

Namun pangsa pasarpun akhirnya bergeser. Dunia pencinta perhiasan memaklumkan diri bahwa penguasa kerajaan bukanlah satu-satunya yang bisa mengklaim sebagai pengguna mutlak perhiasan mutiara. Kesetiaan bukan hanya ada di kalangan bangsawan saja. Kesetiaan ada di setiap nurani yang mengagungkannya! Dan, mutiara adalah lambangnya. Mungkin itulah yang memicu Mikimoto membawanya keluar Jepang. Keluar dari kurungan para nobleman.

Namun dibalik glamour-nya ternyata mutiara banyak menyimpan rahasia budidayanya. Mengapa bisnis budidaya mutiara terlihat kurang sexy di kalangan masyarakat kecil Indonesia? Mengapa produksi mutiara sepertinya hanya buat pemodal besar sehingga mengaminkan pemeo:”‘hasil besar hanya untuk pemodal besar?” Dan mengapa bank Indonesia sepertinya irit mengucurkan kredit untuk usaha ini?

Resiko budidaya tinggi

Pebisnis biasanya main aman. Hanya sedikit yang keluar dari lingkaran ‘aman’. Walaupun potensial, mutiara dianggap memiliki resiko usaha yang tinggi. Di samping tidak menentunya kondisi laut sebagai salah satu masalah utama bagi pebudidaya di laut, budidaya mutiara juga memiliki resiko tak balik modal tinggi mulai dari masalah durasi usaha dan kesalahan penyisipan inti mutiara sampai pada pemanenannya. Dengan demikian usaha ini sering dijauhi the non risk-takers.

Masalah khusus spesifik budidaya mutiara bisa dikategorikan dalam masalah budidaya, pemasarandan kebijakan. Masalah budidayamencakup: pertama, masalah yang diakibatkan kesalahan pada proses operasi yang bisa mengakibatkan kematian kerang massal dan rendahnya jumlah kerang yang menghasilkan mutiara. Kedua adalah lamanya masa panen (sampai 2 tahun) yang mengakibatkan ongkos operasi yang tinggi tanpa pemasukan. Hal ini berlaku khusus untuk spesies yang umum dibudidayakan di Indonesia, Pinctada maxima.

Masalah pemasaranmutiara diwarnai dengan aksi kartel mutiara dunia yang memonopoli pembelian (dan sekaligus) mengontrol harga mutiara. Kondisi ini susah ditembus oleh rakyat kecil. Permainan tingkat tinggi ini telah dikondisikan sedemikian rupa sejak Jepang dijadikan dari pusat teknologi dan pemasaran mutiara. Walaupun kiblat pasar mutiara saat ini bergeser ke China namun tetap saja aksi monopoli tak tertepis. Hanya perusahaan besar atau mereka yang bernaung di bawah bendera perusahaan besar saja yang memiliki akses penjualan dengan harga ‘layak’.

Sedangkan masalah kebijakanadalah seperti kebijakan negara Jepang yang disebut Diamond Policy yang di antaranya mengakibatkan mahalnya operator penyisip inti mutiara karena dimonopoli orang Jepang. Kebijakan ini memang secara legal telah berakhir di era 1980-an namun pada prakteknya masih dijalankan banyak perusahaan budidaya mutiara negara ini, di dalam maupun di luar Jepang. Bila sang operator penyisip tak memiliki kemampuan yang memadai, kerugian akibat kesalahan penyisipan tak bisa dihindari. Sayang sekali, kerugian ini tak bisa segera diperbaiki mengingat waktu tunggu hasil yang lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun