Mohon tunggu...
albertus goentoer
albertus goentoer Mohon Tunggu... -

Seorang anak manusia yang sedang berusaha untuk menjadi berguna bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negeri Sarang Penyamun

21 Januari 2011   11:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini cerita tentang sebuah negeri antah berantah. Negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tanahnya subur. Kekayaan alamnya melimpah. Hutan-hutannya menghijau.

Pada suatu masa, merebaklah virus aneh di negeri itu. Virus yang tidak terlihat bentuknya tetapi nyata akibatnya. Menyerang dan berkembang secara cepat terutama pada orang-orang yang sedang menjadi pemimpin, mempunyai jabatan, wewenang, dan kekuasaan. Sayang seribu sayang, akibat virus itu mereka berubah. Bukan menjadi baik tetapi justru malah menyebabkan menjamurnya aneka kejahatan. Hutan-hutan ditebangi, sawah-sawah diubah menjadi pabrik-pabrik. Pembangunan terus digalakkan demi majunya negeri meskipun harus mengorbankan rakyat. Mereka menjadi congkak dan sombong karena merasa paling berjasa. Mereka juga makin rakus menumpuk kekayaan. Sabet sana sabet sini dan terus memperbanyak korupsi, tanpa pernah sungkan… tanpa takut karena hukum sudah menggelepar tak berdaya di genggaman mereka.

Rakyat kebanyakan hanya bisa terperangah. Melongo. Mereka protes. Tapi apa daya, telinga orang-orang itu sudah sangat tuli. Mata mereka buta dan nurani juga sudah lama mati.

Namun, Tuhan tidak tidur. Ia mendatangkan berbagai bencana menimpa negeri. Banjir, tanah lonsor, tsunami, gunung meletus hingga gempa bumi. Sesaat semua seakan sadar akan hakikat sebuah negeri. Maka, mengalirlah berbagai bantuan. Sayang… bantuan kadang tidak sampai. Bantuan juga tega dikorupsi. Di sisi lain, orang-orang memberi bantuan karena mereka ingin nampang di tivi. Menjadi terkenal dan disebut dermawan. Seolah hanya merekalah yang paling peduli.

Suatu pagi pada hari, bulan dan tahun yang tidak dicatat, terjadilah kegemparan di rumah orang-orang yang sedang menjadi pemimpin, mempunyai jabatan, wewenang dan kekuasaan. Mereka terkesiap ketika berdiri di depan cermin saat terbangun di pagi hari. Tubuh mereka telah berubah menjadi tubuh seekor tikus dengan telinga lebar, bulu-bulu panjang dan mulut yang tak henti-hentinya mengeluarkan liur.

Sontak mereka menjerit. Tangis pun pecah. Namun semua tak lagi berarti. Sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya. Mereka akhirnya hanya bisa berlari. Terus berlari karena mereka tidak ingin dibinasakan. Tujuan mereka hanya satu; ke tempat-tempat yang kotor, gelap, dan penuh dengan bau busuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun