Pagi masih dingin. Mentari di ufuk timur terlihat malu-malu memancarkan sinarnya. Namun suasana di terminal itu sudah ramai. Beberapa orang hilir mudik, sibuk dengan urusan masing-masing. Di pojokan, dekat sebuah loket penjualan ticket bus jurusan Semarang – Yogyakarta, seorang gadis kecil asyik dengan kesibukannya. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengambil berbagai penganan dari sebuah wadah plastik dan menatanya di atas meja kayu yang sudah dihampari selembar kain. Satu demi satu, hingga akhirnya meja itu penuh dengan penganan berbagai jenis.
Wulan, demikian gadis kecil itu biasa disapa. Sudah hampir 5 bulan ini ia berada di tempat itu. Membantu budenya berjualan. Memang, upah yang diterimanya tidak seberapa. Namun ia cukup gembira karena dengan uang itu, ia bisa membantu ibunya, mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sudah hampir setahun ini ibunya tidak lagi bekerja sebagai buruh cuci karena hasil pekerjaannya dinilai kurang bersih oleh para konsumen. Ibunya kini hanya mengurusi ketiga adiknya yang masih kecil-kecil di rumah. Sedangkan ayahnya hanyalah buruh kasar di pelabuhan. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang tidak seberapa besar.
Kebutuhan hidup yang semakin banyak dan kehidupan yang makin sulit memaksa Wulan untuk tidak melanjutkan sekolahnya yang baru kelas 1 SMP. Ia tidak ingin menambah beban pikiran ibunya apalagi ketiga adiknya masih butuh perhatian dan dana yang lebih. Karena itu, ia memutuskan untuk menerima tawaran budenya, membantu berjualan di terminal.
Dan pagi pun terus merambat naik. Siang yang panas memaksa orang yang berlalu lalang menghentikan sejenak langkahnya. Beberapa di antara mereka mampir ke tempat Wulan. Sekedar minum, membeli rokok dan menghisapnya, juga untuk melepas lelah, ngobrol, sambil mengunyah penganan yang tersedia.
Wulan baru saja selesai melayani pembeli yang terakhir ketika matanya melihat seorang nenek tua berjalan tertatih-tatih. Nenek itu menuju ke arahnya.
”Nenek mau kemana?” sapa Wulan ramah, sesaat setelah nenek itu duduk di depannya.
Nenek itu diam. Wajahnya tampak kebingungan. Tangannya yang keriput berulangkali meremas-remas saputangan yang dibawanya. ”Ne... ne... nek habis kecopetan, Cu,” ujarnya terbata-bata. ”Semua uang nenek diambil... padahal uang itu akan nenek pergunakan untuk menengok anak nenek yang sedang sakit,” sambungnya.
Wulan terhenyak. Sesaat dipandanginya nenek itu dengan perasaan iba. Dan sejurus kemudian, ia sudah membuatkan segelas teh hangat. ”Nenek minum dulu ya... biar perasaan nenek jadi tenang,” katanya, menghibur.
”Tapi, Cu... nenek sudah tidak punya uang lagi untuk membayarnya?” jawab sang nenek.
”Ini untuk nenek... jadi tidak perlu dibayar,” balas Wulan.