Mohon tunggu...
albertus goentoer
albertus goentoer Mohon Tunggu... -

Seorang anak manusia yang sedang berusaha untuk menjadi berguna bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Malaikat Itu Bernama Wulan

18 Januari 2011   11:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:26 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi masih dingin. Mentari di ufuk timur terlihat malu-malu memancarkan sinarnya. Namun suasana di terminal itu sudah ramai. Beberapa orang hilir mudik, sibuk dengan urusan masing-masing. Di pojokan, dekat sebuah loket penjualan ticket bus jurusan Semarang – Yogyakarta, seorang gadis kecil asyik dengan kesibukannya. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengambil berbagai penganan dari sebuah wadah plastik dan menatanya di atas meja kayu yang sudah dihampari selembar kain. Satu demi satu, hingga akhirnya meja itu penuh dengan penganan berbagai jenis.

Wulan, demikian gadis kecil itu biasa disapa. Sudah hampir 5 bulan ini ia berada di tempat itu. Membantu budenya berjualan. Memang, upah yang diterimanya tidak seberapa. Namun ia cukup gembira karena dengan uang itu, ia bisa membantu ibunya, mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sudah hampir setahun ini ibunya tidak lagi bekerja sebagai buruh cuci karena hasil pekerjaannya dinilai kurang bersih oleh para konsumen. Ibunya kini hanya mengurusi ketiga adiknya yang masih kecil-kecil di rumah. Sedangkan ayahnya hanyalah buruh kasar di pelabuhan. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang tidak seberapa besar.

Kebutuhan hidup yang semakin banyak dan kehidupan yang makin sulit memaksa Wulan untuk tidak melanjutkan sekolahnya yang baru kelas 1 SMP. Ia tidak ingin menambah beban pikiran ibunya apalagi ketiga adiknya masih butuh perhatian dan dana yang lebih. Karena itu, ia memutuskan untuk menerima tawaran budenya, membantu berjualan di terminal.

Dan pagi pun terus merambat naik. Siang yang panas memaksa orang yang berlalu lalang menghentikan sejenak langkahnya. Beberapa di antara mereka mampir ke tempat Wulan. Sekedar minum, membeli rokok dan menghisapnya, juga untuk melepas lelah, ngobrol, sambil mengunyah penganan yang tersedia.

Wulan baru saja selesai melayani pembeli yang terakhir ketika matanya melihat seorang nenek tua berjalan tertatih-tatih. Nenek itu menuju ke arahnya.

”Nenek mau kemana?” sapa Wulan ramah, sesaat setelah nenek itu duduk di depannya.

Nenek itu diam. Wajahnya tampak kebingungan. Tangannya yang keriput berulangkali meremas-remas saputangan yang dibawanya. ”Ne... ne... nek habis kecopetan, Cu,” ujarnya terbata-bata. ”Semua uang nenek diambil... padahal uang itu akan nenek pergunakan untuk menengok anak nenek yang sedang sakit,” sambungnya.

Wulan terhenyak. Sesaat dipandanginya nenek itu dengan perasaan iba. Dan sejurus kemudian, ia sudah membuatkan segelas teh hangat. ”Nenek minum dulu ya... biar perasaan nenek jadi tenang,” katanya, menghibur.

”Tapi, Cu... nenek sudah tidak punya uang lagi untuk membayarnya?” jawab sang nenek.

”Ini untuk nenek... jadi tidak perlu dibayar,” balas Wulan.

Segera nenek itu menyeruput teh hangat yang sudah dibuat Wulan. Perasaannya sedikit lega.

”Sebenarnya, dimana rumah anak nenek?” tanya Wulan sambil menggeser duduknya.

”Rumahnya memang tidak begitu jauh dari sini. Tapi tanpa uang itu, nenek tidak bisa pergi ke sana dan membeli oleh-oleh untuk cucu nenek,” terang nenek itu.

Wulan terdiam. Ia sedang memikirkan sesuatu. ”Apakah aku harus menolong nenek ini?” tiba-tiba sebuah tanya muncul di hatinya. ”Harus!” jawab sisi hatinya yang lain. ”Tapi jika aku menolongnya, pasti aku tidak memiliki cukup uang untuk kubawa pulang?”.”Ibumu di rumah pasti bisa mengerti... malah ia akan bangga kepadamu.” Akhirnya setelah bergulat dengan pemikirannya, Wulan segera beringsut. Dibukanya sebuah kotak kecil yang terletak di bawah meja dan diambilnya beberapa lembar uang.

”Ini untuk nenek,” kata Wulan sambil memberikan beberapa lembar uang itu kepada sang nenek. ”Aku harap nenek tidak menolaknya,” tambahnya menegaskan.

Nenek itu tidak bisa berkata-kata. Wajahnya berbinar karena gembira. ”Tuhan, terima kasih karena Engkau sudah mempertemukan aku dengan seorang malaikat.” katanya dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun