Entah berapa jumlah orang tua dan keluarga yang berdebar-debar di saat seperti ini. mungkin banyak sekali. Buanyak! Saat mendekati lebaran, saat bulan baik mendekati akhir. Sedih ditinggalkan Ramadhan? Saya lebih yakin bukan.
Lebaran! Idul Fitri-lah yang membuat jantung umat yang merayakan maupun yang tidak merayakan berdebar-debar lebih kencang, seperti genderang yang mau perang pada injury time. Â Lebih tepatnya terjadi pada golongan keluarga pas-pasan. Pas tanggal sebelum pertengahan, pas duitnya habis. Pas lebaran, pas nggak punya duit. Pas nggak punya duit, pas banyak kebutuhan. Pas mendekati lebaran, pas kepala puyeng. Nah, itulah. Serba pas!
Anak, berapapun umurnya sebelum layak disebut dewasa, mayoritas ingin seperti anak-anak yang lain dalam merayakan lebaran. Baju baru, celana baru, daleman baru. Pada jaman sekarang, mungkin bisa saja kita menyalahkan media maupun produsen yang secara kurang ajar dalam menjadikan hari-hari khusus sebagai komoditi. Puasa, lebaran, natal, bahkan tujuh belasan. Dan asyiknya lagi, mayoritas manusia didesain dengan canggihnya untuk mengikuti arus ataupun tren. Allahu Akbar! Segala puji bagi Allah ang menciptakan manusia dan segala tetek bengeknya. Untuk kalimat yang di akhir itu, entah mengapa saya belum menemukan asal usulnya, hehehe.
Bila ada anomaly pada desain manusia dalam menyikapi hal tersebut, tentulah perlu ditelusur lebih lanjut mengapa bisa seperti itu. Maksud saya, anak yang tidak menginginkan sama sekali baju lebaran baru dari lubuk hati yang paling dalam. Bukan tidak mau tapi dalam hatinya ingin. Mungkin orang tuanya yang luar biasa dalam memberikan petatah-petitih dan tauladan. Mungkin lingkungan yang memang mengondisikan dirinya untuk tidak memikirkan baju baru untuk lebaran karena dia berada di pedalaman Zimbabwe. Atau mungkin memang Allah menciptakannya sebagai insan yang luar biasa. Allahu Akbar! segala puji bagi Pencipta Yang Maha Luar Biasa.
Saya hanya ingin kita membayangkan bersama-sama, perasaan seorang anak yang berlebaran bersama-sama dengan teman-temannya atau saudara-saudaranya yang berbaju baru, sedangkan dirinya tidak diberikan kenikmatan itu. Jangan hanya melihat dari raut muka atau matanya, namun cobalah ikut merasakan apa yang dirasakannya. Sedang di lain sisi, orang tuanya memang tidak mampu untuk memberikan baju baru padanya karena suatu hal. Bukan karena tidak berusaha.
Jangan kemudian bilang, itu salah orang tuanya yang nggak becus mendidik atau itu salah orang tuanya Karena kurang banting tulang meras otak atau itu salah iklannya atau itu salah program KB pemerintah yang tidak berhasil atau atau-yang-lain. Contoh saja, bagaimana mungkin punya orang tua pengamen atau pemulung sempat menyisihkan uang untuk anggaran baju lebaran untuk anaknya? Paling tidak, mayoritas seperti itu.
Nah, tolong jangan terlalu banyak berteori dan jangan terlalu banyak berargumentasi tentang hal ini. Bayangkan saja bila anda pada posisi anak itu atau orang tuanya.
Dan ijinkan saya untuk melanjutkan pertarungan saya dengan segelas es dan kepulan asap tembakau yang notabene pemasok pajak di Indonesia raya tercinta.
Tabik Tuan, tabik Nona, tabik Nyonya. semoga selalu ceria hari-hari anda. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H