Kebudayaan tradisional tidak pernah dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ada unsur-unsur ajaran agama Islam yang bertahan dalam budaya tradisional sampai saat ini. Banyak pelaksanaan kegiatan ritual budaya yang terlibat dengan ajaran Islam dan agama yang tidak pernah lepas dari budaya. Salah satu ritual yang bernuansa religi adalah tradisi suroan dalam bahasa jawa atau dalam Kalender Islam Perayaan Tahun Baru Islam 10 Muharram. Suro adalah nama bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab asyura, yang berarti sepuluh, yaitu tanggal 10 bulan Muharram. Dari sudut pandang orang Jawa, menyambut bulan suro sudah berlangsung selama berabad-abad.
Tradisi Suroan dalam Bahasa Jawa
Di banyak daerah di Jawa, masyarakat memiliki tradisi berbeda untuk merayakan tradisi suroan dalam bahasa jawa. Misalnya, di Solo mereka merayakan 1 suro dengan festival seperti karnaval atau kirab, atau dengan karnaval dengan satu hewan yang dianggap suci, yaitu kebo (kerbau) bule. Kebo bule dianggap keramat karena merupakan pusaka milik keraton. Nama Kebo bule ini adalah Kiai Selamet. Dalam Babad Solo Raden Mas said, nenek moyang Kebo bule adalah peliharaan kesayangan Paku Buwono II, semenjak istananya masih di Kartasura. Sedangkan Yogyakarta merayakan malam Satu Suro dengan arak-arakan keris dan benda pusaka. Prosesi ini dilakukan pada malam hari untuk mencapai kedamaian dan keamanan batin. Selama karnaval, peserta melakukan ritual diam atau mengunci mulut, artinya mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun selama ritual. Tapa Bisu adalah semacam introspeksi terhadap apa yang telah dilakukan sepanjang tahun dan juga sebagai persiapan untuk tahun yang baru keesokan harinya. Pada malam 1 suro, seringkali diisi dengan ritual pembacaan doa dari seluruh umat yang hadir pada perayaan tersebut. Tujuannya adalah untuk menerima berkah hidup dan menangkal datangnya masalah.
Baca juga :Â Keutamaan 10 Muharram dan Peristiwa Bersejarah Yang Terjadi
Tradisi Suroan Yang Menyeleweng dari Syari'at Islam
Setiap kali menyambut bulan Muharram, umat Islam di seluruh dunia memahami makna bulan tersebut. Bulan ini, umat Islam menyelenggarakan berbagai kegiatan Islam yang bermanfaat untuk merayakan tahun baru Hijriah. Dampaknya juga terjadi di Indonesia, dengan diadakannya berbagai seminar selama dekade ini untuk menyambut abad kebangkitan. Namun kita sering melihat keganjilan dalam tradisi suroan dalam bahasa jawa. Banyak kepercayaan bersifat dongeng, mitos dan irasional. Misalnya, pada Malam 1 suro, orang berkumpul di tempat-tempat yang dianggap keramat dan suci. Ada yang datang ke kuburan bakar dupa, minta harta, minta rejeki, minta laris dagangannya, minta cepat naik karir, minta jodoh. Ada pula yang ke laut dengan membuang makanan atau kepala korban (kerbau), yang dianggap sedekah laut. Begitu pula banyak anak muda yang datang ke Seduda (nama tempat rekreasi di wilayah Nganjuk), misalnya setiap tanggal 15 Muharram. Mereka percaya bahwa siapapun yang mandi pada hari itu akan awet muda dan berumur panjang. Selain itu, tradisi mencuci keris sering dilakukan pada bulan yang sama.
Makna Tahun Baru Hijriah
Apa sebenarnya makna tahun baru Hijriah yang penuh rahmat dan kemuliaan? Kita sering menggunakan Tahun Baru Hijriah atau Muharram sebagai momentum untuk menempatkan diri kita sebagai lakon dalam sejarah kemanusiaan. Setiap mengingat bulan Muharram, kita menjadi optimis karena saat itu Islam pernah membawa panji peradaban dunia. Pertanyaannya, bisakah Islam bangkit kembali, seperti yang ditulis para ilmuan barat bahwa Islam jaya saat itu?
Yang terpenting dari belajar sejarah di atas adalah bahwa kebangkitan atau kejayaan bukanlah tentang periode, musim atau momen tertentu yang pernah mengalami kejayaan, melainkan tentang apa yang bisa kita lakukan untuk meneruskan nilai-nilai sejarah tersebut. Allah akan mengubah takdir kita, peradaban kita, jika kita mau mengubah peradaban kita sendiri tanpa terikat momen dan periode tertentu.
Di bulan Muharram, Allah membuka rahmat-Nya seluas-luasnya, sehingga manusia dihimbau untuk berlomba-lomba meraih rahmat tersebut. Namun sayangnya, kebanyakan orang tidak memahami konsep tersebut. Nyatanya, mereka banyak melakukan penyimpangan di bulan ini. Mereka juga tidak bisa menangkap kata-kata bijak dari nenek moyang kita. Ungkapan mandi pada 1 suro itu saja juga disalahpahami.
 Lalu apa arti mandi dalam redaksi ini?
Mandi berarti membersihkan dan mensucikan kotoran atau najis. Ini berarti pertanda bahwa pada Malam 1 Suro, orang harus membersihkan diri dari segala dosa dan perbuatan munkar dengan memohon maghfirah kepada Tuhan Yang Maha Pengampun. Maka mulailah hidup baru dengan langkah yang lebih positif dan juga dengan semangat yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H