[caption caption="Gambar: mldspot"][/caption]Manusia pada hakekatnya hidup berkelompok dan tidak akan lepas dari interaksi sosial, itu dikarenakan manusia ingin memenuhi kebutuhannya yang sesuai dengan apa yang mereka sukai dan inginkan. Manusia cenderung hidup berkelompok dan sesuai kebebasannya, sehingga interaksi satu dengan yang lain akan mudah diterima sehingga dalam mencapai tujuannya akan lebih mudah.
Interaksi tersebut memiliki kendala, yaitu jarak dan waktu. Tetapi dengan adanya kemajuan teknologi, interaksi yang seharusnya dilakukan secara tatap muka sekarang sudah lebih mudah dengan adanya media sosial. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) seperti diberitakan Viva.co.id, telah merilis pengguna internet pada 2014. Ada penetrasi pengguna internet sebesar 34,9 persen. Artinya pengguna internet mencapai 88,1 juta orang dari keseluruhan warga Indonesia.
Berdasarkan data yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah seluruh warga Indonesia tahun 2014 adalah 252 juta jiwa. Menurut ketua umum APJII Semuel Abrijani Pengerapan di kantornya, pada hari Kamis, 26 Maret 2015 mengatakan “ tercatat ada 87,4 persen nitizen menggunakan internet untuk jejaring sosial. Kemudian disusul oleh mencari info atau browsing 68,7 persen, dan instant messaging 59,9 persen.
Media sosial yang menjadi pembahasan saya adalah Instagram, dimana media sosial tersebut seperti diberitakan Tempo sudah mencapai 300 juta pengguna per bulannya. Instagram adalah tempat dimana kita dapat sharing dengan mengungah foto, mengenai suatu aktifitas bahkan sampai gaya atau style yang kita buat. Disanalah kita dapat menjalin serta memberi tanggapan pula terhadap orang lain melalui media sosial ini, tidak hanya itu disisi lain kita juga dapat berinteraksi dengan orang yang berasal dari daerah lain. Tetapi Instagram memliki banyak respon yang berbeda-beda karena setiap individu memiliki pemahaman yang diterima berbeda antar satu dengan yang lain. Seperti dijelaskan Herbert Blumer, pemikir interasionisme simbolik (dalam West dan Turner, 2008: 99) manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka.
Tak jarang juga terkadang para pengguna Instagram dapat saling membantu satu dengan yang lain, sebagai contoh, misalnya, Suatu hari terjadi kebakaran hebat, lalu Budi mengabadikan momen itu dengan memfoto dan mengunggahnya di Instagram serta memberi keterangan tempat dan waktu yang jelas bahwa si Budi turut berpartisipasi untuk memadamkan si Jago Merah. Kemudian, Andi melihat foto yang di share oleh Budi, sontak dengan sangat kaget si Andi langsung bergegas menuju ke TKP. Akhirnya, disanalah Budi dan Andi bertemu dan ikut berpartisipasi memadamkan si Jago Merah. Lalu Agus melihat foto tersebut di akun Instagramnya hanya menggambarkan situasi kebakaran dan tidak membuat Agus berpikir dia harus ikut campur karena mungkin itu hanya untuk memperlihatkan seni mengambil gambar atau foto dan Agus tidak mengenal Andi atau Budi sehingga keterikatan diantaranya tidak ada.
Dari perumpamaan contoh diatas dapat dikatakan bahwa media sosial –Instagram membentuk hubungan antarmanusia berdasarkan foto, tetapi reaksi yang di timbulkan berbeda-beda tergantung pemahaman setiap individu. Interaksi simbolik didasarkan pada ide- ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri, dan hubungannya dengan masyarakat. Karena ide ini dapat diinterpretasikan secara luas (West dan Turner, 2008: 98).
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H