Mohon tunggu...
Imron Maulana
Imron Maulana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa yang gemar menarikan jari ~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dentangan Waktu yang Terhenti

25 April 2013   07:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:38 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dentangan waktu terus membisingkan dunia. Detik ini adalah kesempatan untuk mendapatkan detikberikutnya. Semua berlalu dengan cepat bahkan kematian. Ia berdiri tegak dalam isak tangis mayanya. Ribuan memory bersama dirinya tak akan pernah terlupakan oleh Andreas Concetta. Rangkaian bunga menutupi sebongkah batu marmer yang memampangkan nama adiknya. Allene Concetta.

Kesedihan mendalam itu terhentikan oleh suara langkah dari seorang pria di kejauhan. Dengan jaket panjangnya yang hitam dan mata coklatnya, menerobos kedamaian hati Andreas. Andreas lantas melihatnya berjalan mendekati dirinya. Dalam berhadapan satu sama lain, pria itu memulai pembicaraan terlebih dahulu.

“Siang, Andreas. Saya Iskandar Usman. Pengacara pribadi ayah anda. Mungkin anda baru tahu. Mengingat memori lama itu memang menyakitkan. Tapi setidaknya bisakah anda membantu saya untuk menjelaskan ini semua? Kita bisa mencari tempat lain.”

“Tentu.” Jawab Andreas singkat. Mereka lalu pergi dari tempat pemakaman Allene. Meninggalkan kekelaman keadaan.

Di sebuah taman dengan pemandangan hijau yang cukup menyenangkan mereka duduk di kursi taman dengan memegang cup kopi yang masih panas. Mereka pun berbincang yang lagi-lagi Iskandarlah yang memulainya setelah lama mereka membungkamkan mulut. “Aku tak bermaksud untuk melukai hatimu dengan memori kelam yang lalu. Tapi dengan ini kematian adikmu tak akan sia-sia setidaknya kau memberikan penjelasan kepadaku.”

Andreas menghela nafasnya. Ia pun berkata “Apa yang harus saya ceritakan?”

“Allene Concetta dan kehidupannya 8 tahun yang lalu.” Tatapan tajam pria tua itu melekat jauh ke dalam pikiran Andreas yang membuatnya sangat percaya padanya.

Andreas meneguk kopi itu berkali-kali. Ia pun menyandarkan diri. Ia berpikir panjang. Dan mulai membuka mulutnya. “Allene menderita skizofrenia.”

“Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Rasa penasaran Iskandar menguat jauh.

“Semua berawal ketika orang tua kami akan mengambil raport kelas Allene. Mereka ada di luar kota. Dan sekolah Allene ingin orang tuanya yang mengambilnya. Jadi mereka balik ke Jakarta pada hari pengambilan raport itu. Namun dalam perjalanan karena mengebut kecelakaanpun tak terhindarkan. Allene orang pertama yang mengetahui dan ia sangat kaget atas kejadian itu. Ia tak mau makan dan sekolahnya buruk. Saya sebagai kakakpun bingung menghadapinya. Karena saya terbelit oleh pekerjaan kuliah yang menumpuk. Ia-pun mulai menunjukkan gejala-gejala seperti frustasi. Aku tak mengerti itu. Ia yang senjak kejadian itu di titipkan di rumah bibi terasa mulutnya terkunci oleh gembok besar yang membungkam dirinya selama setahun penuh itu. Dalam tekanan itu ia mulai tak bisa membedakan mana yang benar dan yang baik.”

Andreas meneguk kembali kopi hangatnya itu. Tetapi Iskandar menyelanya “Berapa lama hal itu terjadi?”

Andreas terlihat sedih tetapi ia melanjutkannya. “Sekitar 3 bulan. Lalu sebelumnya Allene memiliki seorang kekasih. Doni. Mereka berkenalan di bandara ketika kami baru pindah dari Kanada. Saya awalnya sangat percaya kepada Doni. Karena ia telah menjadi pacar Allene selama kurang lebih 2 tahun itu. Walaupun Allen berusia 17 tahun dirinya dan Doni telah merencanakan pernikahan mereka. Itu cukup mengagumkan akan keseriusan mereka. Tetapi tidak sampai saya menemukan buku harian Allene yang tertimbun dibawah buku pelajaran Allene.”

“Buku harian? Hei kau sebelumnya tidak bilang pada pihak kepolisian kalu ia memiliki buku harian. Entah ini karanganmu atau ini benar-benar ada. Bisa ku melihatnya? Buku harian itu.” Kaget Iskandar membuatnya mendesak Andreas untuk menunjukkan buku harian Allene.

Andreas hanya tersenyum. Ia pun berkata “Telah ku kubur bersama jasadnya.”

“Ok. Baiklah tetapi jika begitu saya ingin kau menjelaskan secara rinci tentang isi buku tersebut.” Iskandar mengeluarkan memo kecilnya dan pulpen tinta hitamnya dan siap untuk mencatat dan mendengar.

“Allene. Gadis yang malang. Mungkin ini memang salahku karena aku jarang mengunjunginya. Tugas keparat!. Aku cukup marah untuk hal ini. Tetapi seharusnya aku tak mempercayai semua orang yang bisa ku percayai. Termasuk anda pak tua.” Andreas melirik Iskandar dan melanjutkannya. “Waktu itu Doni mengajak jalan Allene keluar. Tapi itu sudah kebiasaan mereka ketika minggu pagi. Mereka bisanya Hunting Photo. Tetapi kali ini berbeda. Ia mengajak Allen ke rumah temannya karena ada pesta ulang tahun. Di sana mereka benar memang bersenang-senang. Tetapi hal buruk terjadi. Ketika itu Allene di tarik tangannya untuk masuk ke sebuah kamar. Tentu saja itu kamar milik si tuan rumah. Beberapa teman laki-laki Doni pun ikut masuk. Dan..” Perkataan doni terputus.

“Pemerkosaan.” Tegas Iskandar.

Andreas hanya bisa mengadahkan kepalanya ke langit biru yang sedikit berawan gulam. “Ya. Begitulah keadaannya. Aku menunggu di rumah bibi karena aku melihat handphone-ku ada miscall dari Allene. Di sana aku hanya bisa duduk di ruang tamu menunggu Allene pulang. Ketika sedang terdiam sepi datanglah sebuah mobil hitam yang aku tahu itu milik Doni. Ku lihat Doni menggendong Allene yang kukira tengah tertidur. Lalu aku mengambil alih semuanya. Hingga sampai di dalam, aku langsung membawa Allen ke kamarnya. Dan menyelimutinya dengan baik. Namun ketika ku beranjak berdiri Allene memegang erat tanganku ini. Lantas aku bertanya ‘ada apa?’ namun ia hanya terdiam. Dan akhirnya aku menunggu ia sampai tidur dan keluar dari ruangan itu.”

Iskandar terlihat memainkan pulpennya. Pikirannya melayang jauh. Ia pun bertanya “Kenapa  kau bilang Allene mengidap skizofrenia?”

“Itulah penyebab utamanya. Pemerkosaan oleh 15 orang secara bergilir, dan tekanan karena orang tua yang sangat ia sayangi menghilang dalam hari pentingnya. Hatiku pun masih tertekan dengan hal seperti itu. Saya memang tinggal di kota untuk kuliah. Tetapi tidak dengan Ayah, Ibu, dan Allene. Tetapi apa yang didapatkan disini? Bisa di bilang saya bisa bertahan dari perbuatan kejam ibu kota ini. Namun tidak untuk Allene. Ia terbiasa dengan pedesaan yang semua orangpun dapat kami percayai. Bahkan gelandangan sekalipun.” Andreas meneguk lagi kopinya yang kian mendingin itu dan melanjutkannya.

“Senjak hari itu Allene menjadi benar-benar tak bisa berjalan. Di pagi hari itu biasanya dia kan membuat teh hangat tetapi tidak untuk kali ini. Ia hanya tertidur di tempat tidur. Dan ketika saya masuk ia pun berteriak histeris seperti melihat hantu. Tentu saja saya kaget sekali akan hal itu. Saya pun membicarakannya dengan bibi. Tetapi apa boleh buat kami tak bisa melakukan apapun. Saya pikir Allene akan sembuah di kemudian harinya. Ternyata tidak. Ia malah semakin parah. Ia memojok dalam kamarnya, rambutnya berantakan, selalu berteriak, dan delusi-delusinya mulai bertebaran dalam dunia khayalnya.”

“Apa yang kau lakukan setelah itu?” Andreas merogoh jaketnya dan mengambil permen karet dan memakannya.

Andreas hanya memasang wajah lemasnya terhadap takdir. Ketidak berdayaannya menghadapi semua hal yang telah menimpa adik tersayangnya itu. Namun penyesalan saja tidaklah cukup menjadi kunci utamanya kelegaan diri. Ia beruasaha melanjutkan semua hal yang ia ingat. “Saya membawanya ke rumah sakit jiwa.”

Iskandar lagi-lagi terkaget-kaget atas apa yang Andreas nyatakan. “Lalu apa hasilnya?”

“Skizofrenia. Tekanan yang kuat itu membuatnya menderita. Dan kami hanya bisa mengunjunginya dua kali seminggu. Allene di tempatkan di ruangan putih dengan kesedehanaan tempatny. Disana aku melihat Allene sedang menggambar. Tetapi ketika aku masuk dan membelai rambut coklat ikal nan panjang itu kulihat gambar seorang wanita dengan tali tambang melilit lehernya dan terkulai lemas di lantai. Itu cukup mencengangkan. Tetapi ia mengatakan sesuatu setelah sekian 6 bulan ia tak berbicara benar dengan otaknya. ‘ka aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin menjadi seorang psikiater tetapi aku malah menderita skizofrenia. Kehidupan itu sulit dan rumit. Bagai tali yang terlilit di leher wanita itu’ begitulah ia berbicara. saya hanya bisa memegang erat tangan Allene. Dan tak bisa berkata satu patah katapun.”

Iskandar menutup memonya. “Aku rasa aku tahu apa yang terjadi selanjutnya.” Ia pun menoleh dengan serius ke wajah musam Andreas yang mulai mengkerut sedih. Ia pun mengembalikan memo dan bolpoin hitamnya ke dalam balik jaketnya.

Andreas hanya mengangkat bahunya dan berkata “Apa itu cukup?”

Iskandar mengangguk menandakan isyarat bahwa dirinya telah menerima cukup banyak informasi dari Andreas. Ia pun berdiri dan memberikan penghormatan bermaksud untuk pergi dari hadapan Andreas. “Baiklah aku rasa cukup sampai disini. Selebihnya kami telah mengetahuinya. Inilah informasi penting.”

“Baiklah.”

Iskandar melangkah menjauhi Andreas yang masih terduduk meneguk kopinya yang kini benar-benar menjadi dingin. Iskandar merogoh kantongnya dan mengeluarkan handphone-nya dan berkata “Segrap ia sekarang. Ia di tangan kita.”

Iskandar menghentikan langkahnya dan menundukkan kepalanya. Bermunculanlah orang-orang berjas hitam dengan pantofel mengkilat yang bagus berjalan mengelilingi Andreas. Tentu saja Andreas kelabakan. Ia berdiri dari tempatnya. Kabur sepertinya hal mustahil yang di pikirkannya. Iskandar membalikkan badannya dan masuk kedalam lingkarang hitam dengan Andreas di tengahnya. “Kau di tahan. Atas tuntutan karena telah melakukan penbunuhan berencana kepada orang tuamu sendiri dan menyuruh adik temanmu Doni untuk melakukan tindak kejahatan serta menyembunyikan Allene dan bilang kepada dunia bahwa Allene telah tiada.” Iskandar mengeluarkan Borgol besinya namun Andreas  berusaha untuk kabur. Tatkala tubuh munafik membelenggu dirinya dan semua kesalahannya harus di tembus mati.

“Tunggu! Itu tak benar akulah orang yang paling merasa kehilangan adikku. Aku tidak melakukan itu!” Bantah Andreas keras.

Iskandar menarik nafas panjang. “Apa alasannya kau melakukan hal ini? Tidakkah kau mengerti tentang adikmu?”

Andreas hanya menunduk terdiam. Ia menggeram keras. Lalu mereda dan menghadap tegas ke Iskandar. Seraya berkata “Aku ingin Allene terus berketergantungan dengan ku. Bukan orang tuaku. Aku sangat menyayangi adikku. Jadi kuhancurkan hidupnya dan dia akan selamanya hidup di sampingku.”

Iskandar memasukkan tangannya ke kantong jaketnya. Ia membalikkan badan membelakangi Andreas. Ia berkata “Kau tak bisa mengubah jalan takdirmu. Bahkan dentangan waktu.” Iskandar pun mengenakan topi coklatnya dan berjalan menjauhi Andreas menuju mobilnya.

Andreas yang sontak kaget karena sebelumnya ia mengurung Allene dan ia berhasil kabur. “Dimana dia sekarang?! Hei pak tua! Jawab pertanyaanku! Dimana Allene?!”

Andreas di bawa masuk kedalam mobil polisi oleh orang-orang kepolisian dalam keramaian taman kota itu burung gereja kecil-pun ikut menjadi saksi dari seorang pembohong besar dalam perkotaan. Iskandar yang membawa mobil juga tentu saja dengan arah yang berbeda. Dalam perjalanan ia terlihat senang dan tersenyum manis. Walaupun kebisingan jalanan ibu kota tersebut dirinya tetap merasa bahwa kemerdekaan telah meliputi dirinya dan orang yang ia tujukan.

Iskandar tiba di sebuah rumah sederhana. Dengan taman kecil yang cukup indah karena di hias sebaik mungkin oleh pemiliknya. Ia mengetuk pintu. Dan bunyi pintu bergeserpun membuatnya tampak lebih ceria sebelumnya. Di lihatnya wanita dengan mata coklat yang tengah menggendong anak dan seorang laki-laki tegap. Ia pun berkata “Selamat sore.”

“Ingin masuk pak tua?” Sapa wanita yang menggondong anak perempuannya itu.

Iskandar hanya menggelengkan kepalanya. Ia membuka topinya. Dan berkata “Kasus telah selesai. Kuharap kehidupan kalian tentram abadi selamanya. Dan sebaiknya saya pulang terlebih dahulu. Sampai jumpa, Allene.”

Iskandar mengenakan kembali Topi coklatnya itu. Dan masuk ke mobil dan pergi dari kehidupannya itu. Di dalam sibuknya lalu lintas ia mengeluarkan memo dan menulis sesuatu di memonya. ‘Hari ini cukup aneh setelah Allen dinyatakan meninggal, kini ia telah memiliki seorang anak perempuan bernama Calleste. Dan tak kusangka suaminya adalah Doni. Sunggu kehidupan itu rumit. Dan sangat berharga tiap detiknya. Andai saja waktu terhenti dan aku bisa mengulang kejadian lalu dan.. sudahlah inilah takdir.’

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun