INTENSITAS obrolan seputar persoalan politik oleh para elit parpol kian meningkat menjelang pesta demokrasi yang akan di gelar pada tahun 2019. Mulai dari obrolan tentang fenomena perang tagar "2019 Ganti Presiden versus Jokowi Sibuk Kerja", beberapa nama yang masuk dalam bursa bakal calon presiden dan wakil presiden, sejumlah politisi yang hijrah ke partai lain, wacana negara bubar hingga pelbagai persoalan lain seputar politik yang dapat kita saksikan dalam berbagai program televisi.
Padahal, sejujurnya publik tetap adem ayem dalam menanggapi pelbagai isu yang ditiup oleh para elit parpol ke media. Tengok reaksi seluruh rakyat, meski tiap hari televisi nasional mewartakan jalan menuju Senayan dan Istana Merdeka, namun rakyat tetap tenang. Hanya sedikit pergerakan yang dimotori relawan, selebihnya mengamati dalam diam, seperti kata Karim Suryadi sang Pakar Komunikasi Politik.
Lebih parahnya lagi, kegenitan politisi yang merasa dirinya pantas maju dalam persaingan politik disambut massa rakyat yang diam dalam ketidaktahuan asal-usul sang politisi. Memang benar kata Karim Suryadi (2017) baliho mereka yang digadang-gadang sebagai calon yang bertebaran di setiap sudut kota tidak membangkitkan antisiasme publik.
Baliho gagal menjadi media yang mempersuasi publik karena kemunculannya hanya menegaskan hasrat elit berkuasa, namun tidak menangkap apa kehendak massa. Hubungan yang berjarak antara calon pemilih dan politisi yang akan berkompetisi dalam politik pada tahun depan menjadi penyebab munculnya sikap dingin publik terhadap pemilu. Kondisi ini diperparah oleh beragam persoalan yang merontokan performa pemerintahan dan imej tentang politik itu sendiri.
Elit parpol jangan menyalahkan rakyat yang memilih tetap hening di tengah hingar-bingar pewartaan tentang politik di media. Rakyat sudah melek politik, mereka tidak buta dan tuli terhadap pelbagai persoalan yang sempat luput dari perhatian politisi. Sesungguhnya, rakyat merindukan sosok pemimpin yang bertindak cepat, dekat dan merakyat. Rakyat sudah muak dengan pemimpin yang pandai menata kata namun gagal menata kota.
Bangkitkan Kegairahan Publik
Makin sulit menemukan rakyat yang antusias membicarakan pemilu dan politik secara keseluruhan. Rata-rata publik masih menganggap satu-satunya penanda yang mudah terbaca akan tibanya pemilu adalah bertebarannya baliho permohonan doa dan dukungan.
Demi membangkitkan kegairahan publik terhadap kontestasi politik, maka seorang politisi hendaknya menempuh beberapa langkah bijak. Kesatu, seorang politisi mesti membangun jaringan komunikasi yang langsung menyentuh calon pemilih. Jaringan ini bisa personal maupun organisasial, bisa alami ataupun artifisial.
Karim Suryadi (2017) menempatkan kalimat bagus bahwa "untuk menghidupkan jaringan semacam ini seorang kandidat harus memiliki deposit politik yang memungkinkannya diterima di tengah-tengah massa. Hal ini menegaskan bahwa kemunculan calon yang mencuat dari lapangan jauh lebih mudah dalam pemasarannya ketimbang calon dropping dari atas".
Banyak tokoh yang hidup di negara yang demokrasinya sudah mapan mengivestasikan maksud politiknya ke dalam organisasi sosial. Mereka secara sukarela mengumpulkan uang, mengorganisir, kelompok-kelompok sosial yang memiliki kepedulian yang sama, dan menggerakan rakyat untuk bersama-sama menangani masalah mereka sendiri.
Banyak tokoh dan aktor ternama memulai aktivitas sosial mereka sebelum terjun ke kancah politik. Keterlibatan di dalam organisasi sosial mereka lakukan jauh-jauh hari sebelum mereka memutuskan untuk terjun ke dalam dunia politik. Tengok misalnya Barack Obama yang menghimpun kekuatan dan dukungannya lewat organisasi yang bertujuan membuka lapangan kerja bagi tuna wisma, atau Hillary Clinton yang memulai debutnya melalui layanan bantuan hukum bagi masyarakat kurang berutung.