Barangsiapa mau menjadi guru, biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain; dan biarkan dia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata. Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri dengan mengoreksi perbuatan-perbuatannya sendiri lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan daripada mereka yang hanya mengajar orang lain dan mengoreksi perbuatan-perbuatan orang.
Kata-kata super dari Kahlil Gibran di atas sengaja saya kutip sebagai bahan refleksi bagi oknum guru yang sudah terlajur mematahkan hati anak didiknya lewat kata-kata. Bagaimana mungkin sampai hati ada guru yang sudah terdidik namun masih memproduksi kata-kata yang tak mendidik. Deretan kasus penghinaan oleh oknum guru terhadap anak didik di Tanah Air memberi bukti nyata pada kita bahwa masih ada oknum guru memiliki lidah tak yang terdidik.
Dilansir dari laman tribunnews.com, seorang guru SMA berinisial FR dengan begitu teganya menghina anak didiknya berinisial JO selama bertahun-tahun. Lantaran JO banyak bertanya di kelas tentang Aljabar yang merupakan salah satu pelajaran yang paling sulit ia pahami.
Lebih lanjut, kasus penghinaan pada tahun 2017 yang dilakukan oleh seorang guru terhadap anak didiknya pada salah satu SMP di Kabupaten Lembata, NTT sehingga membuat anak didiknya nyaris mengakhiri hidupnya dengan menenggak obat pembasmi rumput. Ia nekad melakukan itu karena malu atas hinaan gurunya saat pelajaran Bahasa Indonesia.
Kasus penghinaan pada tahun 2016 seperti yang terjadi di salah satu SMP di Kota Banjar. Seorang oknum guru berinisial AS, beberapa waktu lalu diduga telah menghina dan melecehkan empat orang anak didiknya hanya karena tidak mengikuti mata pelajarannya. Oknum guru tersebut diduga telah melontarkan kata-kata kasar terhadap empat orang anak didiknya.
Lebih parahnya lagi, pada November 2017 silam seorang guru di SMP di Kabupaten Selayar menghina bahkan menampar anak didiknya. Persoalan ini pun berlanjut ke meja hijau karena orangtuanya tidak terima dengan tindakan guru tersebut. Orangtuanya bersikukuh tidak mau memaafkan perlakuan sang guru dan menolak berdamai.
Sungguh sangat disayangkan, guru seharusnya memotivasi dan membangun setiap anak didik melalui kata-kata yang mendidik malah berubah memproduksi kata-kata yang merendahkan harkat dan martabat anak didiknya. Guru yang seharusnya berkontribusi positif untuk menjaga kesehatan moral anak didik malah turut membawa mereka pada keterpurukan moral lewat cercaan dan hinaan.
Sudah pasti anak didik yang mengalami kejadian tak sedap ini dicekam oleh kepedihan yang mendalam bahkan menjadi duka yang bisu bila kejadian yang menimpanya tak mencuat ke permukaan untuk mendapat penangan serius dari pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Memulai dan Terbiasa
Jika seorang guru mulai mengucapkan kata-kata yang tak mendidik, maka sudah pasti ia akan terbiasa mengucapkannya. Sebuah tanda pendidikan cilaka, tercermin pada kata-kata guru yang tak lagi mendidik. Sekolah akan menjadi wahana yang menyeramkan bagi anak didik, jika mereka kerap kali mendengar hinaan dan cercaan dari guru.