Mohon tunggu...
Godefridus Palus
Godefridus Palus Mohon Tunggu... -

Aku warga negara Indonesia, yang mencintai dan bangga terhadap negaraku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Misi Gereja Indonesia: Memulihkan Martabat Kaum Miskin

6 Mei 2012   14:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 1564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Gereja Indonesia dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam misi Allah. Prioritas sasaran misi Gereja Indonesia pertama-tama adalah kaum miskin dan yang disingkirkan dalam masyarakat. Pilihan tersebut selaras dengan misi Allah yang berbicara kepada dan untuk kaum miskin dan yang disingkirkan di dunia. Misi Gereja harus memulihkan martabat kaum miskin, yang mengalami ketidakadilan sosial.

Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2010 adalah 31 juta orang atau 13, 3 persen dari jumlah penduduk. Sebanyak 19,9 juta berada di pedesaan dan 11,1 juta berada di perkotaan. Berarti hampir 2/3 (dua-per-tiga) penduduk miskin ada di pedesaan. Silahkan lihat tabel. Jika kita bandingkan dengan Negara-negara tetangga, penurunan angka kemiskinan di Indonesia tergolong relatif sangat lambat. Data yang bersumber dari World Bank, East Asia & Pacifik Update, November 2007 menunjukkan bahwa persentasi penduduk miskin (dengan acuan garis kemiskinan pengeluaran sehari/orang US$ 1) di Indonesia pada tahun 1990 lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan China. Namun, dewasa ini penduduk miskin di kedua Negara tersebut sudah lebih rendah daripada di Indonesia.

Data statistik di atas bukan hanya sekedar angka, tetapi kisah tragis mengenai keadaan kemiskinan 31 juta penduduk Indonesia.[1]Seperti yang terlihat pada data, sejak tahun 1996 jumlah penduduk miskin di Indonesia terus menurun, tetapi penurunannya sangat lambat. Jumlah 31 juta penduduk Indonesia bukanlah jumlah yang sedikit. Dapat dipastikan bahwa data di atas tidak merepresentasikan kenyataan sesungguhnya. Masih ada sekian penduduk miskin Indonesia yang tidak terdata.

Bank Dunia menjabarkan arti kemiskinan pada dua level: level negara dan dunia (global).[2] Pada level Negara metode umum yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah tingkat pendapatan dan konsumsi. Seseorang disebut miskin jika pendapatan atau barang-barang yang dikonsumsinya berada di bawah level minimum kebutuhan akan kebutuhan-kebutuhan dasar. Masing-masing Negara (dan dari waktu ke waktu) memiliki kriteria khas tentang kebutuhan minimum tersebut. Pada level dunia (global), Bank Dunia menetapkan ukuran yang sama, yaitu bahwa seseorang disebut miskin jika pendapatannya $1.25 - $2 perhari. Ukuranini tentu dikenakan hanya kepada angkatan kerja dan pendapatan itu dipakai hanya oleh angkatan kerja tersebut. Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya pendapatan $1.25 - $2 perhari itu sama sekali tidak cukup bagi seorang ayah atau ibu, yang harus menanggung biaya hidup anggota keluarganya.

Badan Pusat Stastik mengartikan kaum miskin sebagai orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal: kebutuhan untuk mengonsumsi makanan dalam takaran 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non-makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Konkretnya secara ekonomis kaum miskin itu berpenghasilan US $ 0,55 perhari untuk penduduk perkotaan dan US $ 0,4 untuk penduduk pedesaan.[3] Ciri-ciri kaum miskin diberikan pula oleh BKKBN. Pertama, kaum miskin tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya; kedua, seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari; ketiga, seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk dipakai di rumah, bekerja atau sekolah, dan bepergian; keempat, bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah; kelima, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan dan pendidikan.[4] Selain yang disebutkan oleh BKKBN, Dinas Kesehatan menambahkan ciri-ciri kaum miskin, yaknitingkat akses ke pelayanan kesehatan pemerintah rendah,[5] ada anggota keluarga yang putus sekolah, frekuensi mengonsumsi makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan hubungan kerja.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Sejahtera (PMKS) menggolongkan Keluarga pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Keluarga pra-Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sedangkan Keluarga Sejahtera I adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial-psikologis, seperti pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga dan lingkungan.[6]

Definisi-definisi di atas tidak memiliki perbedaan yang berarti. Kita dapat menyimpulkan bahwa kaum miskin adalah orang-orang yang belum bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan akan keagamaan, pendidikan, kesehatan, transportasi, hiburan, interaksi dalam keluarga dan lingkungan.

Ada dua pandangan tentang alasan orang atau Negara menjadi miskin.[7] Pertama, padangan yang beranggapan bahwa masalah kemiskinan adalah masalah orang-orang atau Negara yang miskin itu sendiri. Kemiskinan disebabkan karena yang bersangkutan itu malas, kurang punya kemauan untuk berprestasi, atau terperangkap kedalam sistem nilai budaya yang tidak menghargai kekayaan materil. Karena itu, kemiskinan dapat diatasi dengan mendorong orang miskin atau Negara miskin tersebut untuk bekerja keras, berprestasi, meningkatkan prestasinya, mengubah nilai budayanya, dsb.. Kedua, pandangan yang beranggapan bahwa sistem kapitalismelah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Artinya ada proses luar diri orang atau Negara miskin tersebut yang membuatnya tidak berdaya. Lalu, apa pilihan Gereja dalam misinya dalam konteks kemiskinan seperti itu?

Gereja memiliki dua mandat yang diterimanya dari Allah.[8] Mandat yang satu adalah mandat rohani, dan yang lainnya mandat sosial. Mandat rohani mengacu pada pengutusan untuk memberikan kabar baik keselamatan melalui Yesus Kristus. Sedangkan mandat sosial mengacu pada panggilan terhadap Gereja untuk berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam masyarakat manusia, termasuk demi kesejahteraan manusia dan keadilan. Itu berarti dalam mencari keselamatan Gereja perlu menghindari dualisme. Dualisme yang dimaksud adalah pemisahan tugas-tugas yang fana dari karya pengudusan. Gereja perlu menjadi ilham bagi keadilan sosial dalam bangsa Indonesia sebagai bentuk kesaksian kemuridan akan Yesus Kristus. Identitas Gereja berarti menerima dan hidup di dalam solidaritas, iman, harapan, dan kasih. Identitas itu adalah makna yang diberikan Sabda Allah dan perjumpaan Gereja dengan Sabda Allah tersebut terhadap perkembangan historis umat manusia dalam perjalanannya menuju persekutuan yang utuh.

Berkaitan dengan perjuangan akan keadilan Bapa Konsili Vatikan II mengatakan bahwa Allah yang menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan teladan-Nya, menciptakan “bumi dan segala isinya untuk dimanfaatkan oleh semua orang dan segala bangsa, dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga menciptakan kebaikan yang menjangkau semua orang dalam cara yang lebih adil”,[9]dan memberikan kuasa untuk mentrasformasikan dan menyempurnakan dunia di dalam solidaritas.[10] Dia adalah Allah yang sama, yang ketika waktunya sudah genap, mengutus anak-Nya sebagai manusia, agar Ia dapat datang untuk membebaskan semua orang ... dari perbudakan yang telah diakibatkan oleh dosa atas mereka (Yoh 8:32-35). Pernyataan Bapa Konsili dan pengajaran Kitab Suci tersebut menjadi asal dari perjuangan Gereja demi keadilan. Semua orang pada dasarnya memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan kekayaan alam dan hasil bumi yang dianugerahkan Allah. Pemanfaatan itu bukan untuk kebaikan diri sendiri atau sekelompok orang atau bangsa tertentu tetapi untuk kebaikan bersama seluruh umat manusia. Pengutusan Yesus oleh Bapa-Nya ke dunia untuk membebaskan manusia dari situasi perbudakan menandakan bahwa Allah sama sekali tidak mentoleransi perbudakan dan situasi semacamnya.

Sudah disinggungdi atas bahwa kemiskian terjadi terutama oleh struktur-struktur yang tidak adil. Akibatnya sumber-sumber modal berada di tangan segelintir kelompok di dalam dan di antara bangsa-bangsa tertentu saja. Maka, salah satu tugas utama Gereja ketika mengungkapkan solidaritasnya dengan kaum miskin adalah menentang struktur-struktur ini pada segala tingkatan. Ingat bahwa “struktur-struktur yang tidak adil seringkali merupakan konsekuensi dari tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang keliru atau salah arah.[11]Oleh karena itu, Gereja perlu menguji secara kritis tujuan-tujuan ekonomi dan sosial, pola-pola kepemilikan sumber-sumber dan proses-proses pengambilan keputusan di situasi lokal dan nasional (dan bahkan internasional). Gereja mesti menjadi yang terdepan dalam menolak semua pola yang menindas kaum miskin. Gereja mesti pula melihat keterkaitan antara pembangunan dan hidup bermakna. Mengapa? Hidup bermakna tampaknya menghilang dalam masyakarat makmur ketika corak hidup konsumerisme menjadi prinisip hidup mereka. Peringatan tentang menipisnya sumber-sumber daya alam dan bahaya kesenjangan teknologi, ketegangan antara aspirasi-aspirasi ekonomi dan politik mau tidak mau menuntut Gereja untuk menemukan kerkaitan pembangunan dalam hubungannya dengan hidup yang bermakna itu.[12]

Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan para korban penindasan. Ia memulihkan korban ketidakadilan atau penindasan pada kepenuhan kemanusiaan mereka. Yesus melakukan itu dengan membebaskan korban penindasan dari kuasa dosa dan mendamaikan mereka dengan Allah dan dengan sesama. Ia menolak kesenjangan antarmanusia, yang diciptakan oleh manusia sendiri. Ia memperjuangkan keadilan untuk semua.

Gereja Indonesia, sebagai Tubuh Kristus, perlu sadar akan peranannya dalam realitas masa kini. Gereja bukan hanya tidak boleh tetap bermasa bodoh terhadap kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi, tetapi juga dengan tidak mengenal gentar memberitakan Injil Yesus Kristus. Gereja mesti mengakui bahwa Allah berbicara dalam dan melalui kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi manusia kita. Oleh karena itu, misi Gereja Indonesia adalah merealisasikan kepenuhan diri pribadi manusia, terutama kaum miskin. Dan Gereja hendaknya berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan mencegah penghisapan, akumulasi kekayaan pada segilintir orang, diskriminasi, dan segala bentuk penindasan lainnya.



Daftar Pustaka

Dokumen:

Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja dari Rerum Novarum sampai dengan Centecimus Anus, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.

Buku-buku:

Banawiratma, J.B. (ed.), Iman, Ekonomi, dan Ekologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Bevans, B. Stephen dan Schroeder, Roger P., Terus Berubah, Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, Maumere: Penerbit Ledalero, 2006.

Bosch, J. David, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1997.

Nolan, Albert, Yesus Bukan Orang Kristen?, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Song, C.S., Theology from the Womb of Asia, New York: Orbis Books, Maryknoll, 1986.

Thomas, Norman E., Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1998.

Sumber Internet:

http://mitrahukum.org/konten.php?nama=Opini&op=detail_opini&id=7, diakses pada 8 Maret 2011

http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,contentMDK:20153855~menuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:336992,00.html, diakses pada 3 April 2011

http://www.bbc.co.uk/indonesian/programmes/story/2009/01/poverty1.shtml, diakses pada 3 April 2011

http://www.yipd.or.id/berita_agenda/index.php?act=detail&p_id=3431&p_cat=, diakses pada 4 Mei 2011

http://www.yaniba.org/index.php?option=com_content&task=view&id=4&Itemid=60, diakses pada 14 Mei 2011.

[1] Bdk. C. S. Song, Theology from the Womb of Asia, (New York: Orbis Books, Maryknoll, 1986), hlm. 78.

[2]http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,contentMDK:20153855~menuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:336992,00.html, diakses pada 3 April 2011.

[3]http://www.bbc.co.uk/indonesian/programmes/story/2009/01/poverty1.shtml, diakses pada 3 April 2011.

[4]http://www.yipd.or.id/berita_agenda/index.php?act=detail&p_id=3431&p_cat=, diakses pada 4 Mei 2011.

[5] Pengandaiannya adalah biaya pelayanan kesehatan milik pemerintah jauh lebih murah daripada swasta.

[6]http://www.yaniba.org/index.php?option=com_content&task=view&id=4&Itemid=60, diakses pada 14 Mei 2011.

[7]Arief Budiman, “Kemiskinan, Pemiskinan, dan Peran Agam: Sebuah Peta Pemikiran”, dalam J.B. Banawiratma, Iman, Ekonomi, dan Ekologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 32-33.

[8] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 618.

[9] Bdk. Gaudium et Spes, art. 69.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun