Mohon tunggu...
Godefridus Palus
Godefridus Palus Mohon Tunggu... -

Aku warga negara Indonesia, yang mencintai dan bangga terhadap negaraku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wajah: Otoritas Imperatif

4 Mei 2012   04:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:45 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam pandangan iman kristiani Yesus Kristus sekaligus menampakkan wajah Bapa yang murah hati dan makna sejati kemanusiaan manusia. “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kol 1;15). Dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan. Dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur.” Gaudium et Spes, 22.

Apakah Wajah itu?

“Wajah” adalah terminologi milik Emmanuel Levinas (1906-1995). Wajah yang dimaksudkan Levinas bukan realitas empiris, melainkan wajah telanjang, wajah begitu saja, wajah tidak punya konteks. Pada “Wajah” itu tampak Yang Tak Berhingga, yaitu suatu realitas yang secara prinsipil tidak mungkin dimasukkan ke dalam lingkungan pengetahuan dan kemampuanku. Ia juga bukan merupakan bagian dari suatu totalitas; ia tidak dapat dimasukkan dalam keseluruhan. Namun, ia membuka suatu dimensi Yang Tak Berhingga bagi Aku. Yang Tak Berhingga itu adalah Liyan, yang sama sekali berbeda dari Aku. Ia unik pada dirinya sendiri. Tak ada apa pun yang dapat disetarafkan dengannya. Meskipun demikian, relasi atau perjumpaanku dengannya sama sekali tidak melahirkan kekerasan. Itu terjadi karena kehadirannya melahirkan tanggung jawabku terhadapnya. Aku “disandera” olehnya. Aku wajib memberikan diriku kepadanya. Dengan demikian, perjumpaanku dengannya tidak akan menimbulkan persaingan dan permusuhan. Liyan bukanlah neraka bagiku seperti yang dipikirkan Sartre. Sebaliknya, relasiku dengan Liyan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan struktur positif kehidupan.iyan mesti dibiarkan hidup, bahkan diupayakan sedapat mungkin supaya hidup.

Esensi makna terminologi “Wajah” itu tak dapat diragukan ditemukan dalam Gaudium et Spes, 22. George Weigel mengatakan bahwa GS, 22adalah piagam humanisme khas Kristiani. Manusia selamanya adalah manusia bermartabat. Disebut bermartabat, menurut Immanuel Kant, karena manusia adalah makhluk yang satu-satunya memiliki tujuan pada dirinya. Ia tidak boleh dimanipulasi pada tujuan lain. Selain berdimensi teleologis dalam hakikat intrinsiknya, manusia juga merupakan gambar Allah (imago Dei). Ia adalah mahkota dan pusat dari segala ciptaan karena ia mampu mengenal dan mencintai Penciptanya dan diangkat oleh Penciptanya sebagai tuan atas semua ciptaan di bumi. Bagi Bapa-bapa Konsili, pengertian manusia sebagai gambar Allah ini menjadi titik tolak pembicaraan tentang signifikansi aktivitas dan kebudayaan manusia, dan hubungan antarmanusia di dunia. Gambar Allah yang paling sempurna adalah Yesus Kristus. Pada-Nya diperlihatkan bahwa manusia sekaligus berdimensi manusiawi dan ilahi. Kegandaan dimensi itu memungkinkan manusia tertaut dengan Allah dan Liyan. Dengan kata lain, kegandaan dimensi itu merupakan ”basis persaudaraan universal dan kesatuan keluarga umat manusia.”

Wajah: Otoritas Imperatif

Otoritas imperatif tertinggi adalah Liyan dalam terminologi Levinas atau manusia sebagai gambar Allah dalam terminologi antropologi Kristiani. Liyan itu tampak dalam Wajah. Liyan itu pertama-tama tertaut erat dengan Allah. Santo Agustinus dengan indah melukiskan ketertautan itu: ”Engkau telah menciptakan kami untuk Dikau”, ya Tuhan, “dan gelisah hati kami, sebelum beristirahat dalam Dikau.” Ketertautan Liyan dengan Allah tersebutmenunjukkan dimensi keilahian manusia, dimensi yang mengeksplisitkan kekudusan manusia. Dengan kekudusan dimaksudkan bahwa manusia mesti dijaga, dihormati, dihargai, ditinggikan, diutamakan di antara ciptaan lain.

Berelasi dengan Allah bersifat pribadi dan komunal. Allah menciptakan dan menyapa manusia satu persatu dan memberinya kodrat sosial. Oleh karena itu, keintensifan relasi manusia dengan Penciptanya mesti didukung, bukannya dihambat. Diterbitkannya Keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat adalah bentuk pengingkaran terhadap dimensi keilahian manusia. Di Indonesia hak warga minoritas seringkali memang diabaikan. Penganut agama minoritas seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan surat izin membangun tempat ibadat. Penutupan, perusakan, pembakaran tempat ibadah sering terjadi. Bahkan, itu diperluas sampai pada upaya pelenyapan nyawa manusia, seperti pada kasus HKKBP di Bekasi. Pemerintah seharusnya melindungi hak dan memberi kesempatan dan ruang seluas-luasnya kepada setiap warga Negara untuk berkomunikasi dengan Penciptanya menurut caranya sendiri di mana dan kapan pun.

Selain tertaut erat dengan Allah, Liyan juga tidak dapat dipisahkan dari sesamanya. Ketertautannya di sini justru demi kepentingan Liyan. Pengenalan dan kepenuhan dirinya sesungguhnya ditemukan bukan dengan inner-retreat seperti gagasan Descartes, melainkan “dalam pemberian diri yang tulus kepada sesama.” Egoisme, self-asserting, dan penutupan diri bagi kehadiran yang lain justru tidak membawa kepenuhan hidup. Dalam konteks yang lebih luas, suatu kebudayaan akan segera ditinggalkan jika tidak terbuka pada nilai-nilai kebudayaan lain. Demikian halnya dengan agama. Sebagai pengabdi kemanusiaan, ia tidak boleh menutup mata terhadap kemajuan gagasan tentang kemanusiaan universal. Fundamentalisme dan radikalisme agama justru bermula dari pengucilan dirinya dari nilai-nilai luhur dari luar.

Pemberian diri tanpa pamrih merupakan jawabanku atas kehadiran Liyan, yang dalam dirinya sendiri terkandung suatu panggilan terhadapku. Isi panggilan itu adalah agar aku menjadi aku tetapi untuk Liyan. Luypen mengatakan “I am called to realize myself in the world, but for you. The encounter with you reveals to me my destiny as destiny-for-you.”Liyan adalah yang memberhentikan aku dari terus-menerusnya mengulangi diriku sendiri, kata Baudrillard. Liyan itu adalah jutaan orang yang mengais sisa rezeki untuk bertahan hidup, orang-orang lapar yang menatap dengan mata kosong pameran kekayaan orang-orang yang tamak. Menurut Departemen Sosial RI, jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 2009 berkisar 37 juta jiwa, sementara PBNU merilis jumlah yang lebih besar, yaitu 100 juta jiwa. Agaknya angka kemiskinan ini sulit diturunkan, tetapi sangat mungkin bertambah jumlahnya. Mengapa demikian? Karena pemerintah RI telah menyiapkan jalan untuk memperkaya investor asing dengan seperangkat UU yang dalam praktiknya akan memiskinkan rakyat Indonesia. Contohnya, UU RI No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal. Di tengah jutaan orang miskin itu hidup segelintir orang kaya raya. Pada akhir tahun 2009, majalah Forbes memperlihatkan kepada kita orang terkaya di Indonesia: R. Budi dan Michael Hatono memiliki aset senilai US$ 7.000.000.000,-.

Kehadiran Liyan mesti ditanggapi dengan Cinta, kata Gabriel Marcel. Cinta itu terungkap dalam partisipasiku dalam kehadiranku pada Liyan. Dalam Cinta makna pertemuan dengan Liyan kualami sebagai suatu seruan dan kusadari diriku sebagai Aku untuk Liyan. Aku bertanggung jawab atas Liyan, bukan memanfaatkannya sebagai sarana mencapai keuntungan atau tujuanku. Pemanfaatan manusia sebagai sarana seringkali dilakukan para korporat terhadap kaum buruh. Di Indonesia situasi dan kondisi kaum buruh semakin diselimuti keterpurukan dan masih sangat jauh dari tanda-tanda yang mengarah pada berbaikan. Kaum buruh terus ditindas dan dihisap serta hidup berada dalam syarat-syarat yang tidakmanusiawi. Kasus serupa terjadi pada kaum buruh migran Indonesia (TKI) yang sebagian besar adalah perempuan berusia muda. Mereka tidak hanya diupahi di bawah standar, tetapi seringkali upahnya dipotong dan bahkan tidak dibayar. Secara seksual mereka dilecehkan dan diperkosa, dan secara fisik mereka dianiaya sampai mati.

Cinta menyerukan “Engkau tidak boleh mati.” Jelaslah bahwa aku jelas-jelas membunuh seorang nenek ketika kuadili dan kuhukum hanya karena nenek itu mencuri tiga buah kakao, sementara “penikmat” BLBI dibebaskan dari jerat hukum. Demikian halnya pembiaran persoalan semburan lumpur panas Lapindo Berantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Relokasi warga yang tempat tinggalnya tergenang lumpur tidak berjalan. Ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo tidak terwujud. Aku (pemerintah) benar-benar membunuh para korban, yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi hak-haknya dari penindasan korporasi. Korban juga dibunuh ketika tempat tinggal dan usahanya digusur sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Bagaimana tidak penggusuran itu dilakukan tanpa penyediaan tempat lain untuk bertempat tinggal atau tempat berusaha sebagai penggantinya.Penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata. Aku seharusnya “… offer him the possibility to exist, to consent his freedom, to accept, support and share it…the motive of my love is ‘you’. I love you because you are you, because you are who you are”. Sebab, sesama adalah “diriku yang lain”. Maka, aku wajib hormat terhadap sesamaku, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak, supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus si miskin itu.

Yesus Kristus Model

Yesus Kristus-lah model sejati pribadi yang memberikan diri secara total. Visi dan misi-Nya adalah agar manusia memperoleh hidup yang kekal. Yesus konsisten melaksanakan visi dan misi-Nya. Ia berberkeliling dari satu desa ke desa yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa lelah untuk memulihkan martabat manusia yang telah hancur oleh dosa. Ia berkotbah dan mengajak orang-orang bertobat. Ia menyembuhkan yang sakit, menerima mereka yang terpinggirkan dalam masyarakat. Ia sungguh ”mengosongkan diri-Nya dan menjadi seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia”. Ia berani menerima risiko menderita dianiaya dan mati di kayu salib sebagai konsekuensi kecaman-Nya terhadap struktur masyarakat yang menindas. Semuanya itu bertujuan agar manusia memperoleh hidup.

Setiap manusia dipanggil untuk memberikan diri secara total dan tulus seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Santo Paulus mengatakan bahwa “hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Sebagaimana Yesus keluar dari diri-Nya sendiri (mengosongkan diri), aku juga harus aktif keluar dari diriku untuk menemui, menyambut, menyongsong Liyan. Pemberian diri secara total itu justru karena kekuatan desakan “Liyan” yang tampak pada “Wajah”. “Wajah” mampu melawan kekuatan yang menghantamnya, bukan melalui kekuatan perlawanan, tetapi dengan reaksinya yang tidak dapat diramalkan. “Wajah” lebih kuat daripada pembunuhan. “Wajah” melarangku: Jangan membunuh! Keutuhan “Wajah” mesti dipertahankan, bukannya dipenggal. Kalau demikian, adakah yang lebih mulia dan universal untuk dijunjung tinggi daripada “Wajah”?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun