Mohon tunggu...
Godefridus Palus
Godefridus Palus Mohon Tunggu... -

Aku warga negara Indonesia, yang mencintai dan bangga terhadap negaraku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Teologis atas ”Doa Pengobral Dosa”

6 Mei 2012   14:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Doa Pengobral Dosa

Artis: Iwan Fals

Di sudut dekat gerbong yang tak terpakai

Perempuan bermake-up tebal

Dengan rokok di tangan

Menunggu tamunya datang

Berpisah dari ramai

Berteman nyamuk nakal

Dan segumpal harapan

Kapankah datang tuan berkantong tebal?

Refren:

Habis berbatang-batang tuan belum datang

Dalam hati resah menjerit bimbang

Apakah esok hari anak-anakkudapat makan

Oh Tuhan beri setetes rejeki

Dalam hati yang bimbang berdoa

Beri terangjalan anak hamba

Kabulkanlah Tuhan

Intro....kemudian kembali ke refren.

Doa Pengobral Dosa adalah salah satu lagu dari sekian banyak lagu Iwan Fals. Lagu ini sangat humanis. Lagu ini menggambarkan realitas sosial orang miskin dan yang disingkirkan di Indonesia. Demi mempertahankan hidup orang miskin dan yang disingkirkan seringkali melakukan tindakan “heroik”, kendati itu dianggap oleh arus utama masyarakat sebagai tindakan asusila, tindakan dosa, dan tidak bermartabat. Iwan Fals melihat realitas kaum miskin dan yang disingkirkan itu dari dekat. Kemudian ia bersuara semacam “pembela” kaum miskin dan yang disingkirkan itu. Bahwa dalam profesi “asusila” dari kaum miskin dan yang disingkirkan itu, ada perjuangan yang suci dan mulia, yakni menyelamatkan kehidupan keluarga mereka.

Lagu Doa Pengobral Dosa dapat dijadikan sebagai locus berteologi. Lagu itu bersumber dari kenyataan hidup, situasi sosial orang miskin dan yang disingkirkan di Indonesia. Orang miskin dan yang disingkirkan itulah yang menjadi sasaran pertama-tama Yesus dalam pewartaan-Nya. Yesus ingin membebaskan mereka. Gereja sebagai pengikut Yesus dipanggil untuk diikutsertakan dalam misi Yesus itu.

Iwan Fals dan Doa Pengobral Dosa

Iwan Fals adalah penyanyi yang beraliran balada. Nama lengkapnya adalah Virgiawan Listanto. Ia dilahirkan pada 3 September 1961 di Jakarta dari pasangan Haryoso (almarhum) dan Lies. Ia menikahi Rosanna. Buah perkawinannya dengan Rosanna adalah Galang Rambu Anarki (almarhum), Annisa Cikal Rambu Basae, dan Rayya Rambu Robbani.

Lagu-lagu Iwan Fals umumnya bersifat humanis. Lagu-lagunya menggambarkan realitas sosial Indonesia (dan realitas global). Kita mungkin tidak hafal betul kapan lagu-lagunya diciptakan, tetapi pesan inti dari lagu-lagunya mudah dipahami oleh siapa pun. Realitas global ditandai dengan akibat ganda kapitalisme.[1] Pada satu sisi, terjadi peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada sisi lain terjadi pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang makin melebar. Pengetahuan manusia dan teknologi meningkatkan produksi, tetapi dalam mendistribusikan hal yang berlimpah ini, dipakai aturan main persaingan di pasar bebas. Ketentuan aturan main persaingan tersebut adalah mereka yang kuat dan keluar sebagai pemenang boleh mengambil sebanyak-banyaknya. Penumpukan harta pun terjadi hanya pada yang kuat, dan pemiskinan tidak bisa dihindari berlangsung di pihak yang lemah.

Realitas global tersebut terjadi pula di Indonesia. Lagu-lagu Iwan Fals menyadarkan kita akan kondisi sosio-ekonomi-politik bangsa kita. Dari lirik-lirik lagunya, kita dapat mengerti bahwa Iwan Fals adalah seorang “pemberontak”. Iwan memberontak atas kondisi sosio-ekonomi-politik di negri ini. Setiap nurani yang hidup akan gambang menemukan bahwa di negri ini ada ketidakadilan, penindasan, dan kerusakan moral (korupsi, kolusi, nepotisme). Hanya saja ketidakjujuran yang memperumit semuanya itu, sehingga orang tidak mampu mengatakannya. Kita mudah sekali terserang amnesia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Yang menonjol adalah para penjilat, koruptor, penipu ulung, orang yang haus akan kekuasaan, orang loba, orang munafik, dsb..

Doa Pengobral Dosa adalah salah satu lagu Iwan Fals yang tidak lahir dari ruang hampa atau dunia fiktif. Lagu tersebut berasal dari ”jepretan” atas kondisi sosio-ekonomi-politik bangsa Indonesia. Lagu tersebut menggambarkan profesi sosial orang Indonesia, lebih khusus para pelacur, atau apa yang sekarang biasa kita sebut Pekerja Seks Komersial (PSK). PSK tidak memiliki ladang atau kantor untuk bekerja. Tempat kerja mereka adalah di sudut dekat gerbong yang tak terpakai. Penampilan mereka menggambarkan kemiskinan mereka. Mereka ber-make-up tebal untuk menutupi kulit wajah mereka yang keriput tua dan tak bercahaya karena kurang gizi. Tangan mereka tidak dipakai untuk memegang pena atau untuk mengetik, tetapi memegang rokok. Mereka menunggu “tamu”. Tamu-tamu mereka adalah laki-laki yang tidak dapat mengendalikan nafsunya.

PSK memberikan diri kepada “tamu-tamu” mereka bukan karena cinta. PSK terdesak oleh tuntutan hidup; oleh keterbatasan kebutuhan untuk melangsungkan hidup. Mereka menjajakkan diri karena poverty, lack of job opportunities, insufficient income, low education.[2]Maka, yang mereka harapkan adalah tuan berkantong tebal; pelanggan yang beruang banyak. Itulah doa mereka sebagaimana layaknya para pekerja yang mengharapkan kelimpahan rejeki atau pendapatan. Hati mereka resah menjerit ketika para tamu tak kunjung datang, seperti para petani yang mengharapkan ladang dan sawah mereka diguyur hujan yang tak kunjung turun.

Oleh sebagian besar orang, terutama kaum agamawan PSK dinilai sebagai profesi amoral; berlawanan dengan kesucian agama. PSK dianggap sebagai sampah masyarakat. Tidak perlu heran kalau setiap menjelang bulan puasa para penjaga moral (kaum agamawan) melakukan ”pembersihan” terhadap PSK. PSK dianggap sebagai sumber dosa bagi laki-laki; penghalang berhasilnya laku tapa selama bulan puasa; dan pencemar kesucian hari puasa itu sendiri.

Iwan Fals berbeda dengan kaum agamawan dan sebagian besar orang yang munafik. Iwan sanggup mengungkapkan bahwa di antara PSK terdapat perempuan-perempuan yang berjuang untuk anak-anak mereka yang tidak jelas rimba ayahnya. Apakah esok hari anak-anakku dapat makan? Pertanyaan ini adalah pertanyaan tentang ketidakpastian apakah esok hari mereka tetap hidup. PSK butuh makan, bukan pertama-tama untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk anak-anak mereka. Mereka berdoa mengharapkan kehadiran tamu-tamu yang mau menggunakan jasa mereka; yang mau membayar mereka. Doa mereka: Oh Tuhan beri aku setetes rejeki. “Setetes rejeki”, hanya “makan” adalah isi doa mereka. Tidak lebih dari itu. Itu kontras sekali dengan para pejabat, yang sudah bergaji besar, hidup mewah, tetapi masih melakukan korupsi, mau disuap. PSK menggantungkan sepenuhnya hidup mereka kepada Tuhan. Doa mereka: beri terang jalan anak hamba. Kabulkanlah Tuhan. Doa ini berasal dari ketidakberdayaan dan ketulusan hati. Hanya Tuhan yang diharapkan dapat membantu karena lingkungan sekitar, kaum agamawan,dan pemerintah tidak mengakui eksistensi mereka. Begitulah hidup PSK dalam pengamatan Iwan Fals.

Refleksis Teologis

Selama perguliran zaman, Gereja dikenang karena perhatiannya terhadap kaum miskin dan orang-orang yang dipinggirkan. Perhatian Gereja ini selalu dilihat sebagai keterlibatan misioner Gereja. Titik tolak keterlibatan misioner Gereja itu adalah pola hidup dan pewartaan Yesus sendiri. Yesus hadir persis pertama-tama adalah untuk kaum miskin dan yang dipinggirkan. Yesus mengundang para pengikut-Nya untuk meneruskan corak hidup dan pewartaan-Nya.[3] Rasul Paulus dalam surat-suratnya juga menyerukan agar orang-orang Kristen memberi sumbangan bagi kemaslahatan orang-orang Kristen yang miskin di Gereja Yerusalem (Rm 15:24-28; 1Kor 16:1; Gal 2:10). Dalam sejarah Gereja kita menyaksikan pula orang-orang Kristen yang meneruskan karya Yesus, seperti Elisabet dari Hungaria, Elisabet dari Portugal, Margareta dari Sktolandia, Fransiskus dari Asisi, Vinsensius dari Paulo, Louis-Grignion dari Montfort, Beata Teresa dari Kalkuta, dan masih banyak lagi.[4] Karena hidup dalam masyarakat majemuk, maka penerusan corak hidup dan karya Yesus itu mesti kita lakukan bukan hanya untuk anggota Gereja sendiri, melainkan untuk seluruh umat manusia, apa pun latar belakangnya.

Komitmen kita untuk menolong orang miskin dan yang disingkirkan mesti lebih dari sekedar karya karitatif. Gagasan tersebut beralasan. Realitas ketidakadilan yang tampak di Indonesia sering kali memiliki akar-akar sistemik. Wawasan baru dari kaum sosialis dan marxis membantu kita memahami akar-akar ketidakadilan itu.[5] Menjadi jelas bahwa misi Gereja tidak hanya terlibat dalam ihwal pengentasan kemiskinan, tetapi juga mencabut akar-akarnya.[6]Itu berarti Gereja tidak saja terlibat dalam karya-karya amal demi kesejahteraan jasmani, tetapi juga dalam perkembangan manusia, praktik serta penegakan keadilan dan perjuangan demi pembebasan. Tentu sudah menjadi jelas bahwa kita (Gereja) dipanggil agar berbicara kepada kaum miskin dan untuk kaum miskin dan yang disingkirkan. Kita hendaknya memberdayakan mereka sehingga mereka sanggup bersuara sendiri dan agar bersama kita mereka memilih dan melaksanakan solidaritas praksis. Hal ini penting jika kita tidak mau kaum miskin dan yang disingkirkan itu terus menjadi beban bagi kita.

Apa pun alasannya Gereja Indonesia “dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam misi Allah.” Allah berbicara kepada dan untuk orang miskin dan yang disingkirkan.[7] Apa yang dibicarakan Gereja Indonesia kepada kaum miskin dan yang disingkirkan adalah kabar baik. Isi kabar baik itu adalah Allah adalah Allah keadilan. Allah tidak pernah dan tidak akan bertenggang terhadap sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil. Allah tengah berkarya di tengah dunia melalui Roh Kudus untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil (lih. Luk 4:18-19; Yes 61:1-2). Allah berpihak secara radikal kepada kaum miskin dan yang disingkirkan. Ia memanggil semua umat manusia untuk menjadi mitra dalam karya-Nya.

Lalu, apa yang dibicarakan Gereja untuk kaum miskin dan yang disingkirkan adalah tentang keadilan dan pembebasan dari dominasi apa yang disebut oleh Paulus sebagai “penguasa-penguasa dan penghulu-penghulu” (Ef 6:12; Kol 2:15). Kedua perikop ini dapat ditafir bukan terutama sebagai roh-roh jahat, melainkan sebagai kekuatan yang tidak dapat diindrai. Kekuatan itu dapat berupa sistem kapitalisme atau sosialisme, pemerintahan nasional, atau kecenderungan-kecenderungan sosial seperti globalisasi.[8]Pada satu sisi Gereja adalah sebuah kenyataan rohani, tetapi pada sisi lain Gereja adalah realitas kelihatan.[9] Oleh karena itu, Gereja Indonesia memiliki kehadiran publik tertentu, yakni membebaskan orang miskin dan yang disingkirkan.

Misi Gereja Indonesia di bidang keadilan dapat berupa pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksudkan di sini berarti pelayanan di bidang penyadaran (konsientisasi). Upaya penyadaran itu tidak lain adalah membantu orang miskin dan yang disingkirkan menggapai kesadaran tentang kekuatan, subjektivitas, kemampuan, dan kecakapan mereka sendiri. Itu berarti sasaran dari upaya penyadaran ini adalah bahwa Gereja tidak tinggal terus sebagai juru bicara untuk orang miskin dan yang disingkirkan. Sebaliknya, Gereja berkarya sedemikian rupa sehingga orang miskin dan yang disingkirkan mampu menemukan suara mereka sendiri dan berbicara seturut kemanusiaan mereka.

Hal lain yang dapat dilakukan oleh Gereja Indonesia adalah berada bersama kaum miskin dalam pilihan solidaritas praksis. Pilihan solidaritas praksis ini kemudian disebut sebagai “pilihan yang mengutamakan kaum miskin.” Benar bahwa Allah memanggil semua orang. Namun, penekanan pilihan pada kaum miskin dan yang disingkirkan merupakan komitmen khusus. Tanpa komitmen khusus yang disengaja seperti ini, maka sangat muda bagi Gereja Indonesia untuk mengabaikan atau meremehkan kesengsaraan kaum miskin dan yang disingkirkan, yang sedemikian sering tidak didengarkan dan tidak dipandang.

Akhir Kata

Realitas Indonesia seperti yang digambarkan dalam lagu Iwan Fals dapat menjadi locus bermisi bagi Gereja. Gereja mesti hadir sebagai peruntuh tembok ketidakpedulian sosial, ketidakadilan ekonomi, dan sistem politik yang tidak adil. Singkatnya, Gereja mesti hadir sebagai pemihak korban ketidakadilan. Kehadiran Gereja seperti itu merupakan bentuk partisipasi Gereja dalam misi Allah. Orang miskin dan yang disingkirkan adalah pilihan utama Allah dalam karya keselamatan-Nya. Gereja hendaknya demikian juga.

Daftar Pustaka

Banawiratma, J.B. (Ed.), Iman, Ekonomi, dan Ekologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Bergant, Dianne, dan Karris, Robert J. (Eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Bevans, Stephen B. dan Schroeder, Roger P., Terus Berubah, Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, Maumere: Penerbit Ledalero, 2006.

Sastriyani, Siti Hariti (Ed.), Gender and Politics, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM, 2009.

Song, C. S., Theology from the Womb of Asia, New York: Orbis Books, Maryknoll, 1986.

Wink, Walter, Naming the Powers: The Language of Power in the New Testament, Minneapolis: Fortress Press, 1984.

[1] Arief Budiman, “Kemiskinan, Pemiskinan, dan Peran Agam: Sebuah Peta Pemikiran”, dalam J.B. Banawiratma, Iman, Ekonomi, dan Ekologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 32-33.

[2] Rina Shahriyani Shahrullah, Non-Coercive Prostitution in the Context of Human Trafficking Issues, dalam Siti Hariti Sastriyani (Ed.), Gender and Politics, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM, 2009), hlm. 82.

[3]Daniel J. Harrington, “Mateus”, dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris (Eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 81.

[4]Bdk. Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah, Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hlm. 629-630.

[5] Kaum sosialis dan Marxis dengan terang-terangan menyerang sistem kapitalisme sebagai akar ketidakadilan sosial. Ide perjuangan kelas dari Karl Marx tidak lain adalah reaksi atas dominasi kaum pemilik modal terhadap kaum buruh. Kaum buruh diupahi dengan tidak adil, padahal peningkatan pendapatan pemilik modal berasal dari hasil kerja keras kaum buruh.

[6]Ibid., hlm. 631.

[7]Ibid.

[8]Walter Wink, Naming the Powers: The Language of Power in the New Testament, (Minneapolis: Fortress Press, 1984), hlm. 115.

[9] Lih. LG, art. 8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun