“Aku tahu itu anak muda. Aku tahu. Mungkin bagimu itu adalah kekalahan abadi. Padahal itu salah. Seharusnya kau berfikir bahwa kau ibarat anak panah dan busurnya ialah semangatmu. Semakin kau mundur ke belakang, maka kau akan melesat cepat, maju dan menjadi awalan dari pada yang lainnya. Percayalah”
Sungguh, itu sangat menyakitkan bagiku. Tidak hanya ini yang pernah aku rasakan. Sebelumnya, dua, tiga bahkan lebih aku pernah mengalaminya. Ini tentang aku dan hal yang tidak bisa aku terima. Kekalahan. Semua kerja kerasku, semuanya hanya terlunaskan oleh sebuah pengalaman.
Ruangan ini begitu terang. Lampu menyala, sinar matahari yang masuk dari jendela dan juga cahaya yang berasal dari infokus itu telah membuat ruang ini terang benderang. Suara mesin yang berasal dari infokus itu terdengar sampai ke telinga, juga menambah keramaian di sekelilingku. Namun. Aku sangat lemas. Meratapi kejadian kemaren ketika aku dan teman-temanku menjadi orang yang kalah dalam sebuah pertempuran besar. Pertempuran melawan rasa takut, malu dan tentunya ketidak percayaan diri. Dan saat itu,
Aku duduk di kursi yang paling wah yang pernah aku duduki sebelumnya. Kursi dan meja yang menjadi satu dan khusus untuk satu orang. Tidak lebih. Letaknya di paling belakang sebelah kiri dari ruangan ini. Disini. Yang kukenal hanya satu orang temanku. Hanya itu. Dan itupun teman satu sekolah denganku. Selebihnya, tidak ku kenal sedikitpun.
Kali ini tubuhku tiba-tiba menjadi panas-dingin. Entah mengapa. Atau mungkin karena tinggal beberapa peserta lagi namaku akan dipagil. Aku berada di urutan ke 20. walaupun hampir ke urutan terakhir, tetap saja. Cepat atau lambat aku akan tetap dipanggil. Percuma saja aku mengeluh. Tidak ada gunanya. Hanya membuat diri menjadi tidak percaya diri. Percuma juga kalau aku malu. Itu hanya membuatku menjadi orang yang tersingkirkan.
Tubuhku gemetar menunggunya. Dan inilah. Namaku dipagil. Aku segera berdiri tegak. Melawan semua rasa yang membuatku turun mental. Membuang semua rasa takut yang hinggap. Berjalan langkah demi langkah menuju kursi besar, lembut dan empuk. Kini aku harus merubah semuanya. Merubah kehidupanku menjadi seperti layaknya seorang pembawa berita. Pembawa berita yang sangat handal. Namun halhasil. Nihil. Semua gagal. Mulai pertama aku duduk di kursi empuk itu, aku sudah merasa gelisah. Mataku tak sanggup melihat semua kata-kata yang ada di depan papan tulis dengan sangat jelas. Dua sampai tiga meter. Kali ini aku baru sadar. Aku melupakan sesuatu yang berharga. Ia yang sudah hidup bersamaku selama hampir 2 tahun. Dan dia yang telah membuatku dapat melihat dunia ini dengan jelas. Ya, kacamataku.
Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Aku tidak ingin meratapinya. Itu hanya akan membuatku resah, gelisah dan kikuk. Namun, guruku yang telah duduk di depan kami semua dari beberapa menit yang lalu berkata.
“kalian tidak usah terlalu sedih seperti itu. Terlihat jelas dari raut wajah kalian semua.”
kami semua terdiam takzim mendengar ucapan beliau.
“Apa kalian tahu cara kerja busur dan anak panah? Anak panah akan semakin cepat melesat jika ia semakin kebelakang. Dan itu sama seperti keadaan kalian sekarang. Kalian diibarat anak panah. Semakin kalian mundur kebelakang, maka kalian akan semakin cepat melesatnya. Mungkin kalian tidak sadar akan hal itu. Dan mungkin juga, kini kalian berada saat anak panah itu sedang di tarik kebelakang. Kalian di beri tuhan kekalahan terlebih dahulu. Dan kelak, kalian akan melesat jauh. Jauh dari yang engkau bayangkan sekarang. Percayalah”