Mohon tunggu...
Gobind Vashdev
Gobind Vashdev Mohon Tunggu... lainnya -

heartworker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Berantem Karena Konsep, Kita Bertengkar Karena Atribut

22 Juli 2014   17:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:35 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adi dan Budi, mereka seumuran, mereka tetangggaan, mereka main dan mandi bersama.Keduanya hobby bermain bola.
Ketika bertumbuh mereka harus berpisah, Adi pindah ke kota lain dan putus kontak dengan sahabatnya tersebut.
berbelas tahun kemudian keduanya masih hobby bermain bola, mereka tergila-gila dengan klub bola di kotanya masing-masing.

Suatu hari Budi berkunjung ke kota yang ditempati oleh Adi, ia bukan ingin bertemu dengan sahabat kecilnya melainkan mendukung klub favoritnya yang bertandang melawan klub sepak bola setempat.

Dengan segala atribut yang menempel di badan kedua manusia ini pergi ke stadion, tentu mereka duduk ditempat yang terpisah, yang bersebrangan.sepanjang pertandingan mereka bersorak sorai.

Di injury time wasit menunjuk titik putih yang berada dalam kotak 16 setelah pelanggaran yang dilakukan oleh tim tandang.
GOLLLL!!!! ... Adi melompat girang, Budi mengumpat gerah.
kemarahan Budi yang awalnya tertuju hanya pada wasit yang berbaju hitam berkembang menjadi kebencian pada corak baju serta warna yang digunakan tim tuan rumah yang sedang berpesta.

Diluar stadion tanpa direncanakan mereka berpapasan, Adi yang sedang bahagia memanggil Budi, sementara kemarahan yang sedang membara mengaburkan memori Budi.
Hiruk pikuk disekitar menyulitkan Adi menjelaskan siapa dirinya yang akhirnya membuat Adi melakukan tindakan ekstrim yaitu membuka baju kebesarannya untuk menunjukan tanda lahir di dadanya dan berharap Budi mengingat masa-masa mereka bersama.

Budi memeluk erat sahabat lamanya, air matanya meleleh sebagai saksi dari cairnya kemarahan di dalam hatinya.
Bayangan masa lalu ketika mereka berbahagia tampil telanjang merontokan seluruh kebencian yang sedang bersarang di dalam diri Budi.

Cerita diatas hanya pernah terjadi di pikiran saya, ia tidak pernah terjadi di dunia nyata, sama seperti kebencian, kemarahan atau ketakukan, semua hanya ada dalam.
Secara alami seorang anak tidak pernah membenci warna, bendera atau atribut apapun, sepanjang perjalanan hidup kita terlalu banyak menelan program yang tak selaras yang sering membuat emosi di dalam meluap.

kita berantem karena konsep, kita bertengkar karena atribut, seandainya saja kita mau menyisikah waktu merenungkan dimanakah kita semua sebelum ada diperut ibu?
Sebelum kita memiliki tubuh manusia dan di sebut orang Jawa, orang Madura, orang Arab atau India. Sebelum gelar atau jabatan tersemat, sebelum nama dan kasta dicantumkan.
siapakah kita sebelum itu semua ada?

Pikiranku tak mampu menjangkau, memoriku tak mampu mengingatnya, namun jauh didalam sana ada suara samar yang aku yakini kebenarannya, bahwa dahulu di dalam rahim Ibu semesta kita saling semua saling bergandeng tangan, saling memandang, tersenyum dan berpelukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun