Melewati bilangan Jakarta siang ini, terlihat beberapa tiang pinang berpucuk sepeda serta berbuah kardus mie dan kaos bola.
Ada belasan perlombaan dan pertandingan di hari kemerdekaan esok, dari makan krupuk hingga balap karung, namun tidak ada yang semenawan panjat pinang.
ia tidak layak disebut perlombaan apalagi pertandingan, ada banyak pesan indah dan pelajaran bermakna dalam ritual 17 an ini.
Walau akhirnya hanya satu orang yang berhasil nongkrong memeluk sepeda namun hadiah itu bukanlah untuk dia semata.
Esensi gotong royong yang dituturkan para tetua via teladan, terlihat mencolok pada permainan ini.
dari yang ingusan sampai yang ubanan melepas baju, membiarkan oli yang biasanya ogah disentuh melumuri tubuh dan wajahnya.
Bahkan bagian keramat tubuhnya yang dihormati direlahkan diijak oleh kaki berdebu, bertanah.
Rasa senang membuncah dalam hati yang berdiri paling atas, rasa bahagia mengalir di dalam mereka yang berkontribusi sebagai penopang dibawah.
Setelah puas ia yang diatas melorot dengan senyum dan ditampung oleh pelukan.
Semua ini mengingatkan kita semua pada tumbuhan, dimana akar yang tertanam dan jarang diperhatikan tidak iri pada bunga yang dipuja-puji.
Akar sadar bunga tidak lama ia hidup. Setelah merasa cukup menghadirkan keindahan dan keharuman pada dunia, iapun mengerucut, menunduk dan melepaskan dirinya untuk menjadi pupuk bagi sang akar yang selama ini menunjangnya.
Bukan hadiah melainkan kebersamaan dalam bermain , bukan siapa yang menang tetapi sebuah kesadaran bahwa kita satu saudara.
Indonesia bukanlah stadion tempat kita berlomba mengeruk pundi harta sebanyak mungkin, tapi sebuah rumah dengan taman bermain teduh yang selayaknya kita rawat untuk anak-anak kita
Selamat merayakan kemerdekaan Indonesia kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H