Mohon tunggu...
Gerry Maulana
Gerry Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang mahasiswa program studi Hubungan Masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Diponegoro, Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sangiran dan Misteri Masa Lalunya

3 Januari 2014   15:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 2094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diorama raksasa di Ruang Pamer 3 museum.

[caption id="attachment_151" align="aligncenter" width="230" caption="Pintu Masuk Museum Manusia Purba Sangiran."][/caption] Menjelang bergantinya angka di kalender dari 2013 menjadi 2014, aku bersama teman-temanku yang tergabung dalam suatu kelompok di mata kuliah Penulisan Naskah Kehumasan, berhasil memecahkan rasa penasaran tentang misteri sebuah tempat bernama Sangiran yang selalu disebut di buku-buku sejarah sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Tim Darwin, itulah sebutan kelompok kami. Diilhami dari nama seorang ilmuwan yang berkaitan erat dengan hal yang kami liput saat itu. Tim Darwin sendiri diisi oleh 3 orang pria dan 3 orang wanita. Adalah aku, Nandi Ari, Kristian Dwi, Arum Setiowati, Eggi Listy dan Anisa Inten, orang-orang yang berada di kelompok tersebut. Sebelumnya, sebuah kota di Jawa Barat, Kuningan, tadinya menjadi rencana awal. Namun karena berbagai pertimbangan, salah satunya asalan jarak Semarang - Kuningan yang jauh. Rencana itu tak kami ambil. Tak ada yang berpikir untuk bisa sampai ke Sangiran. Menjadikan wisata edukasi sebagai pilihan adalah hal yang anti-mainstream bagi kami. Hal itu diputuskan karena berkaca pada rencana kelompok-kelompok lain yang kebanyakan memilih wisata alam dan wisata kuliner sebagai tujuan. Jauh hari sebelum berangkat ke Sangiran, dalam suatu forum penentuan objek apa yang akan diliput, aku angkat bicara. Aku merekomendasikan Museum Sangiran yang telah diakui oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Memang. Rekomendasi itu tak langsung diiyakan oleh rekan-rekan satu tim yang lain. Beberapa pertanyaan bernada sini bahkan muncul ke permukaan kala itu. “Di mana itu? Berapa jam perjalanan?” tanya Kristian. “Sebelah Timur Laut kota Solo. Soal waktu, bisa makan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan,” jawabku. “Emang kamu pernah ke sana?” sambar Arum. Lalu aku sedikit menjelaskan tentang destinasi tersebut dan berkata, “Belum. Jujur, aku penasaran. Kalian juga pasti penasaran. Apalagi kita dulu waktu SMA kebanyakan anak ‘sosial’. Pasti sering belajar hal itu. Kalau kita bisa berwisata sambil menambah pengetahuan, kenapa nggak?” “Oh Sragen. Siap, setuju! Pacarku juga pernah penelitian di sana,” seru Eggi. Seruan itu sedikit melegakanku. Setidaknya ada orang yang berada di pihakku. “Yang lain?” tanya Gerry. Beberapa detik setelah aku bertanya. Perlahan kawan-kawanku yang lain meresponnya dengan positif. “Wah, boleh juga tuh. Aku sebagai mantan anak exact aja penasaran,” tanggap Anisa. Nandi tak mau kalah dengan Anisa. Ia menyetujui saranku untuk menjadikan Sangiran sebagai tujuan destinasi tempat yang akan diliput untuk kepentingan tugas Ujian Akhir Semester Ganjil 2013/2014. “Iya, boleh juga. Gue setuju,” kata Nandi. Percakapan kecil itu jadi titik balik bagi anggota-anggota di tim Darwin yang tadinya ragu, berbalik menjadi yakin dengan pilihan wisata edukasi tersebut. Apalagi ketika Eggi mengatakan bahwa dia punya paman yang rumahnya bisa ditumpangi untuk sekedar istirahat di Surakarta. Lagi-lagi Eggi membuatku sedikit lega. Keyakinan mereka untuk menjadikan Museum Manusia Purba Sangiran pun semakin mantap, hingga akhirnya ditetapkanlah objek tersebut sebagai tujuan tugas peliputan. Meski begitu diskusi tetap berlanjut, segala hal yang berbau persiapan dibicarakan demi kematangan. - Dua minggu pasca penentuan tujuan destinasi, hari yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. Kamis petang, 19 Desember 2013, kami berangkat menuju Solo. Tujuan pertama adalah rumah pamannya Eggi di daerah Colomadu, Surakarta. Motor jadi kawan di petualangan kami saat itu. Banyak alasan mengapa kami memilih “kuda besi”. Selain lebih mobile, kami pikir menggunakan motor lebih hemat dibanding menggunakan mobil atau naik bus. Kondisi cuaca saat itu tak bersahabat untuk ukuran pengendara roda dua. Untungnya kami sudah siap dengan jas hujannya masing-masing. Hujan mengguyur kami dari Semarang sampai daerah Bawen, selebihnya langit cerah dan terangnya sinar bulan menemani kami hingga tiba di kota yang pernah dipimpin Jokowi tersebut. Karena cerah, sebelum sampai di tempat yang dituju, kami sempat berkeliling sejenak untuk menikmati suasana malam kota Solo yang terkenal dengan suasana Jawa klasiknya. Keesokan harinya, kami berangkat menuju sebuah desa yang sarat dengan misteri masa lalu. Sekitar 45 menit dari Solo kami tempuh untuk bisa sampai ke museum yang diakui salah satu badan PBB itu. Ladang-ladang pertanian dan perkebunan menghiasi jalan menuju museum. Tak ada gedung-gedung yang menjulang tinggi. Semuanya tampak alami dan asri. Kami sangat menikmati perjalanan menuju museum. Museum Sangiran sendiri tak jauh dari jalan utama yang menghubungkan Solo, Karanganyar, Sragen dan Purwodadi. Jika dari arah Solo menuju Purwodadi, rambu-rambu yang menunjukkan adanya situs-situs prasejarah tak sulit kita temukan, seperti di daerah Karanganyar terdapat Museum Dayu, klaster pendukung museum utama di Sangiran. Tiba di Sangiran, gapura besar menyambut kami. Dua replika artefak terpasang dengan ciamik di gapura tersebut. Namun, gapura itu baru awal. Untuk mencapai museum utama, masih sekitar 5 km lagi harus ditempuh. Di sepanjang jalan dari gapura menuju museum, baliho-baliho yang eye catching tentang zaman purba meramaikan suasana. Kami seperti diajak ke jutaan tahun yang lalu. Sangiran merupakan sebuah kawasan situs prasejarah yang mengandung temuan fosil manusia, fosil binatang dan temuan artefak yang melimpah. Kawasan ini juga merupakan sebuah laboratorium alam yang menunjukan berbagai lapisan tanah dan memperlihatkan interaksi kehidupan manusia dengan lingkungannya. Situs Sangiran dianggap sebagai situs kunci oleh UNESCO sejak 7 Desember 1996, yang dapat memberikan gambaran pemahaman tentang proses evolusi manusia, budaya, dan lingkungannya selama 2 juta tahun tanpa terputus. Kabarnya, keberadaan Sangiran dengan ragam potensi jadi sebuah lahan penelitian yang tak akan pernah usai untuk diteliti. Sejarah Situs Sangiran dimulai tahun 1893. Ketika untuk pertama kalinya situs ini didatangi peneliti asal Belanda, Eugene Dubois. Namun, Dubois tidak terlalu intensif dalam melakukan penelitian di Sangiran, maka pindahlah ia ke Trinil, Kabupaten Ngawi, untuk memusatkan penelitian. Tahun 1932, L.J.C. van Es melakukan pemetaan secara geologis di Sangiran dan sekitarnya. Peta itulah yang kemudian digunakan oleh G.H.R von Koeningswald di tahun 1934 untuk melakukan survei eksploratif dengan temuan beberapa artefak prasejarah. Dapat dikata, Sangiran baru benar-benar menyeruak cemerlang sejak tahun itu. Koeningswald tak langsung menemukan fosil manusia purba. Dia hanya menemukan alat-alat paleotik non-masif di tahun pertama penelitiannya. [caption id="attachment_152" align="aligncenter" width="160" caption="Biografi singkat tentang G.H.R von Koeningswald di Museum Sangiran."]

[/caption] “Ini adalah alat serpih perkakas manusia purba. Di sini (suatu saat nanti) akan ditemukan fosil manusia purba sang pemilik alat-alat serpih ini,” ucap von Koeningswald saat pertama kali menemukan alat-alat paleotik di Sangiran. Dan benar, prediksinya terjawab secara meyakinkan 2 tahun selanjutnya. Koeningswald menemukan fosil pertama dari Sangiran, sebuah pecahan rahang manusia sebelah kanan dan hingga 1941, Koeningswald telah menemukan sejumlah fosil Homo erectus. Temuan tinggalan masa lalu berupa fosil fauna, artefak dan fosil Homo erectus mengalami peningkatan baik dari jumlah maupun kualitas sehingga pemerintah Indonesia berpikir perlu dibentuk Unit Kerja di bawah Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah yang bertugas mengamankan situs dan temuan arkeologis di Sangiran. Unit kerja ini dibentuk tahun 1982. Eksplorasi terhadap situs Sangiran sebagai situs prasejarah yang penting bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai pemahaman evolusi manusia dan lingkungan semakin diperhitungkan dunia. Kami akhirnya tiba. Begitu menapakkan kaki di kawasan museum, kami disambut oleh patung-patung berwarna hitam manusia purba. Kedatangan kami di sana disambut baik oleh pihak museum. Bermodalkan surat izin peliputan museum dari kampus, kami berhasil menembus ketatnya penjagaan yang dilakukan pihak keamanan. Pasca diberi izin, kami dilayani sangat luar biasa oleh pihak museum. Bahkan salah satu personel dari museum selalu membantu jika kami mendapatkan kesulitan. Hal itu jelas memudahkan kami untuk menikmati setiap hal yang menarik di sana. Di sana, tim Darwin juga mendapatkan kesempatan mewawancarai secara eksklusif dengan salah satu petinggi Badan Pelestarian Manusia Purba Sangiran. Kami berhasil mewawancarai Drs. Budhy Sancoyo, M.A, Kepala Bagian TU Sangiran. Tadinya, kami hendak mewawancari Kepala Museum atau pihak Humas dari museum. Namun, hari itu keduanya tak bisa ditemui karena sedang berada di luar kota. Pihak museum akhirnya mengirim Budhy untuk bisa kami “telanjangi” pengetahuan dan pendapatnya tentang museum dan Sangiran. Di awal wawancara, tim Darwin menanyakan tentang proses perolehan pengakuan dari UNESCO. Budhy menjawabnya dengan meyakinkan. Menurutnya, hampir 50% penemuan manusia purba di seluruh dunia ditemukan di Sangiran, kurang lebih ditemukan 120 individu tengkorak. Dengan banyaknya temuan itu termasuk fosil-fosil binatang, dan tumbuhan akhirnya PBB mengakui bahwa museum ini menjadi warisan dunia. “Sebelumnya, kita juga sebagai pihak dari museum mengajukan kepada UNESCO untuk menjadikan situs ini diakui sebagai warisan dunia karena alasan 50% dari penemuan manusia purba di seluruh dunia terdapat di Sangiran,” tutur Budhy. “Di sini memang banyak menyimpan potensi ilmu pengetahuan yang luar biasa yang bisa untuk dikaji, sebagai kajian evolusi manusia. Karena tidak hanya binatang yang berevolusi tetapi manusia juga dapat berevolusi,” tambahnya. Soal lama waktu yang ditempuh dari pengajuan hingga mendapatkan pengakuan dari UNESCO, Budhy mengatakan hal itu memakan waktu lama. Terdapat proses peninjauan, kemudian ada kajian ilmiah, jadi memang tidak langsung mendapatkan pengakuan oleh dunia sebagai warisan dunia. Selain itu, ada dari hasil temuan, kajian ilmiah dari hasil temuan itu akan menentukan juga. Setelah proses bisa dilalui, maka bisa diakui bahwa situs ini menjadi warisan dunia di bidang evolusi manusia purba. Budhy mengaku setelah mendapatkan pengakuan, hal yang paling berat adalah pelestarian di mana itu ada perlindungan dan pengembangan dan pemanfaatannya bagaimana ke depannya. Maka dari itu didirikanlah Badan Pelestarian Situs Manusia Purbakala Sangiran sebagai salah satu unit kerja pengampu untuk melestarikan salah satu warisan dunia, khususnya situs manusia purba. Kantor ini memiliki wilayah kerja sangat luas di seluruh Indonesia. “Cakupannya tidak hanya di Sangiran saja. Jadi khusus untuk situs-situs manusia purba yang mengampu ialah Museum Sangiran,” jelas Budhy. Ketika memasuki akhir sesi wawancara, kami dikejutkan dengan datangnya karyawan museum suruhan Budhy Sancoyo. Dia membawakan kami buku trilogy tentang Sangiran karya Harry Widianto, yang juga menjabat sabagai Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. "Ini ada buku-buku tentang Sangiran dari kami untuk kalian. Semoga bisa membantu dalam hal referensi," ucap Budhy. [caption id="attachment_156" align="aligncenter" width="240" caption="Drs. Budhy Sancoyo, M.A. saat diwawancarai."]
IMG_6997
IMG_6997
[/caption] Budhy pun kembali menceritakan Museum Manusia Purba Sangiran. Ia menjelaskan Museum Manusia Purba Sangiran bukanlah sebuah riwayat sejenak, bukan pula riwayat sesaat. Sebaliknya, museum tersebut telah menapak jalan yang amat panjang dan berliku. Adalah seorang warga Desa Krikilan, yang saat itu menjabat sebagai kepala desa, Toto Marsono. “Toto Marsono adalah orang yang sangat berjasa berkaitan dengan museum ini. Dialah perintis museum kebanggaan warga Sragen ini,” kata Budhy dengan semangat. Toto Marsono merupakan orang kepercayaan von Koeningswald untuk selalu melaporkan setiap penemuan dari Sangiran saat itu. Dialah pribumi pertama yang mengoleksi fosil-fosil. Benda-benda purba itu ditempatkan di rumah pribadinya. Pelan tapi pasti, rumahnya tak lagi mampu menampung fosil-fosil dari kawasan Sangiran. Akhirnya Balai Desa Krikilan dipilih sebagai tempat singgah baru fosil-fosil temuannya dan teman-temannya. Namun di awal tahun 1980-an, karena banyaknya penemuan, balai desa pun tak mampu menampung. Dibangunlah Museum Sangiran oleh pemerintah. Bangunan museum diresmikan oleh Menteri Pendidikan kala itu, Prof. Dr. Fuad Hassan, tahun 1984. Sekarang tercatat sudah lebih dari 33.000 koleksi yang ada di museum. Tahun 2008, museum mengalami pemugaran. Secara intensif, bangunan baru selesai sesuai target waktu. Tepat 15 Desember 2011, Museum Manusia Purba Sangiran yang baru tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, melalui Wakil Menteri Bidang Kebuyaan, Prof. Wiendu Nuryanti, Ph.D. Pasca sesi wawancara, kami pun mulai bertualang ke tiap ruang display di Museum Manusia Purba Sangiran. Ruang Pamer 1 kami pilih untuk dijajaki pertama. Di sana terdapat kekayaan-kekayaan Situs Sangiran. Memasuki ruang pamer ini, pengunjung disuguhi informasi mengenai evolusi dari inti sel tunggal hingga manusia, selain itu juga evolusi binatang. Fosil yang dipamerkan di antaranya fosil gading gajah, tengkorak gajah purba, tengkorak manusia, buaya, kepala kerbau, kepala banteng, badak, harimau, babi, kura-kura, kerang serta kuda sungai purba. Fosil temuan ditempatkan dalam diorama sehingga terkesan lebih menarik. Di ruang ini juga terdapat diorama kehidupan Homo erectus di Sangiran, vitrin dan panel teknik pembuatan serta penggunaan alat batu. Di ruang ini jugalah kita bisa tahu mengapa Sangiran mendapatkan pengakuan dari UNESCO. Sungguh kaya situs yang diapit 2 gunung berapi itu. Puas dengan kekayaan Sangiran, kami masuk ke Ruang Pamer 2. Tulisan “Langkah-langkah Kemanusiaan” menjadi awal. Di ruang animasi ini juga, pengunjung disambut dengan poster raksasa “Dari Big Bang Hingga Sangiran Tercipta”. Terdapat beberapa segmen yang bisa dinikmati pengunjung, antara lain ruang radio visual mengenai sistem tata surya, pengenalan planet bumi, evolusi menuju makhluk manusia, sejarah dan tokoh teori evolusi, proses migrasi manusia, penemuan jejak evolusi manusia, perintis museum Sangiran, sejarah geologi kepulaua Nusantara, hadirnya manusia purba Homo erectus pertama kali di Indonesia, sebaran situs dan evolusi mereka di Indonesia selama 1 juta tahun, muncul dan evolusi Homo sapiens Sang Manusia Modern, proses hunian Nusantara hingga saat ini, dan kegiatan penelitian ekskavasi. Ada berbagai diora yang sangat menarik untuk dinikmati antara lain mengenai tokoh Eugene Dubois, G. H. R. von Koeningswald, perburuan binatang oleh Homo erectus, perapian, penggalian arkeologis, serta penguburan. Jika di ruang pertama kita tahu mengapa Sangiran mendapatkan pengakuan dari UNESCO, di ruang pamer kedua ini, kita diajak mengetahui proses. Proses penemuan Situs Sangiran.  Di ruang inilah kami berasa dibawa ke dalam ruang waktu. [caption id="attachment_158" align="aligncenter" width="240" caption="Diorama raksasa di Ruang Pamer 3 museum."]
Diorama raksasa di Ruang Pamer 3 museum.
Diorama raksasa di Ruang Pamer 3 museum.
[/caption] Ruang Pamer 3 adalah ruang display terakhir di Museum Manusia Purba Sangiran. Ruang pamer utama ini menyajikan situasi Situs Sangiran di zaman keemasannya pada sekitar 500.000 tahun yang lalu. Sebuah diorama raksasa berukuran diameter 24 meter dan tinggi 12 meter menyajikan kehidupan sehari-hari Homo erectus. Selain itu, disajikan juga manekin rekontruksi Homo erectus S17 dan Homo florensiensis yang canggih karena tampak alamiah hasil karya Elisabeth Daynes, seorang paleoartis yang handal. Sebagai sebuah museum modern, diorama-diorama merupakan model utama penyajian. Museum juga dilengkapi dengan touch screen dan film-film pendek yang memberikan informasi lebih jadi pada sebuah obyek yang dipamerkan. Tiap ruangan di museum sangat nyaman karena sejuk ber-AC dan tata pencahayaan yang memadai. Sudah saatnya, sudah saatnya, sudah saatnya kita sadar dengan sesuatu yang bernilai di sekitar kita. Tak perlu jauh-jauh pergi ke luar negeri, seperti Museum National d’Histoire Naturelle di Perancis untuk datang ke sebuah museum modern nan lengkap edukasi tentang zaman purba. Cukup pergi ke sebuah kawasan bernama Sangiran di Kabupaten Sragen, maka kita akan diajaknya ke jutaan tahun yang lalu. Bagaimana? Tertarik menjadikan Museum Manusia Purba Sangiran sebagai destinasi wisata Anda di waktu libur mendatang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun