Mohon tunggu...
Genoveva Tersiandini
Genoveva Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - penggemar wisata dan kuliner

Pensiunan pengajar di sebuah sekolah internasional.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjelajah Takayama - Ainokura Gassho - Shirakawago - Takayama

16 Juli 2023   16:07 Diperbarui: 16 Juli 2023   17:07 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shirakawago dari bukit (sumber foto milik pribadi)

Di tulisan sebelumnya saya sudah menulis tentang Takayama. Kali ini saya akan menambahkan lagi cerita saya tentang Takayama dan juga Desa Ainokura dan Shirakawago yang letaknya tidak jauh dari Takayama.

Terbiasa untuk bangun pagi, ketika liburan pun saya tetap bangun pagi. Setelah beristirahat pada malam hari, saya merasa energi saya terkumpul kembali saat bangun pagi. Teman saya pagi-pagi sudah meminjam sepeda yang disediakan hotel untuk melihat Takayama di pagi hari, sementara saya masih bermalas-malasan di kamar hotel. Sekitar satu jam berkeliling, dia kembali dan meberitahu saya bahwa di dekat restoran tempat kami makan siang ada pasar pagi. Setelah membersihkan diri saya pun segera pergi untuk melihat suasana Takayama di pagi hari. 

Saat itu sudah jam 7 pagi tetapi suasana kota itu masih sepi. Saya berjalan menuju jembatan yang disebutkan teman saya, namun jalan yang saya ambil berbeda dari yang dia sebutkan sehingga saya justru mendapatkan pemandangan di bagian lain kota tersebut. Tersesat? Mungkin, tapi tersesat yang menguntungkan. Pagi itu saya menyaksikan beberapa orang tua berdiri di tepi jalan mengantarkan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil pergi ke sekolah. 

Mereka tidak mengantar sampai ke sekolah tetapi hanya sampai perempatan atau luar rumah saja karena anak-anak mereka sudah dijemput oleh seseorang yang akan mengantarkan anak-anak tersebut berjalan kaki ke sekolah. Orang tua mereka hanya berdiri di tepi jalan sambil memandang anak-anak mereka berjalan menjauh. Memang dari kecil anak-anak tersebut sudah dididik untuk menjadi mandiri dan tidak manja. Sementara di bagian lain saya melihat anak-anak yang lebih besar berpamitan dengan orang tua mereka di depan pintu dan mereka berjalan ke sekolah sendiri atau bersama teman-teman mereka. 

Ada juga serombongan siswa yang mengendarai sepeda mereka menuju sekolah. Nah ... hebatnya lagi mereka sangat mematuhi aturan lalu lintas. Biarpun tidak ada mobil lalu lalang, mereka tetap menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau (baik untuk pejalan kaki, pengendara sepeda maupun pengendara kendaraan yang lain). Tidak ada yang menerobos lampu lalu lintas saat lampu berwarna merah. Mereka benar-benar menunggu hingga lampu berubah hijau. Sabar dan disiplin sekali. 

Saya benar-benar angkat topi untuk kepatuhan dan kedisiplinan mereka. Tidak heran kalau mereka berhasil bangkit dengan cukup cepat setelah hancur akibat pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 dulu. Salah satu hal positif yang patut kita contoh.

Sambil berjalan dan mengagumi apa yang saya lihat, akhirnya saya menemukan pasar pagi yang disebutkan teman tadi. Saat saya tiba belum banyak yang menjajakan dagangannya karena memang masih pagi. Akhirnya saya menyusuri sungai yang membelah kota tersebut. Airnya sangat jernih dan rumah-rumah yang ada di bantaran sungai pun dibangun dengan rapi. Setelah puas menjelajah kota, saya pun kembali ke hotel untuk sarapan karena pada jam 9 pagi, bersama teman, saya akan bergabung dengan tour ke Ainokura Gasso dan Shirakawago, desa yang masuk dalam Unesco World Heritage.

Selesai sarapan kami langsung pergi ke stasiun bus yang jaraknya hanya 3 menit berjalan kaki. Setelah menunjukkan tiket kami, kami langsung naik ke dalam bus yang sudah menunggu. Jam 9 tepat, bus berangkat. Pemandangan menuju Ainokura sangat indah. 

Pemandu yang membawa kami hanya bisa berbicara bahasa Jepang dan bahasa Inggrisnya agak sulit untuk dipahami, jadi peserta tour yang berasal dari negara-negara non Jepang hanya bisa mendapatkan informasi dari brosur yang dibagikan. Tetapi tidak masalah karena pemandangan di sepanjang jalan sangat menakjubkan. Terbayang ketika musim dingin atau gugur, pasti pemandangannya lebih spektakuler. 

Pertama-tama kami mengunjungi desa Ainokura. Di sini terdapat sekitar 20 rumah tradisional yang atapnya berbentuk segitiga dan terbuat dari jerami. Menurut pemandu kami, atap ini dibuat seperti ini karena di daerah ini ketika musim dingin, saljunya cukup banyak sehingga dengan atap seperti itu salju akan cepat turun dan atap tidak harus menopang berat salju yang menumpuk yang bisa menyebabkan robohnya atap rumah. Rumah-rumah tradisional tersebut juga masih dihuni, jadi saat ke sana kita harus berhati-hati dan tahu diri agar tidak mengganggu kenyamanan penduduk setempat. 

Rumah-rumah tradisional di Ainokura (sumber foto: milik pribadi)
Rumah-rumah tradisional di Ainokura (sumber foto: milik pribadi)

Rumah beratap segitiga (sumber foto: milik pribadi)
Rumah beratap segitiga (sumber foto: milik pribadi)

Desa ini letaknya seperti di lembah yang dikelilingi gunung-gunung sehingga pemandangannya indah sekali. Ada sawah dan juga ladang dan airnya mengalir sangat deras sehingga tanaman yang ada di sana tumbuh subur. Menurut pemandu kami, sebenarnya tempat ini akan kelihatan lebih unik dan indah saat musim dingin ketika sedang bersalju, namun pada musim-musim lain pun desa ini tetap elok dipandang. Kita bisa naik ke bukit (observatori) untuk melihat seluruh desa dari atas, cantik sekali. Di Ainokura juga terdapat museum dan kita juga bisa ikut kegiatan membuat kertas. Ada beberapa toko souvenir dan restoran di sana.

Suasana pedesaan (sumber foto: milik pribadi)
Suasana pedesaan (sumber foto: milik pribadi)

Memandang Ainokura dari observatori (sumber foto: milik pribadi)
Memandang Ainokura dari observatori (sumber foto: milik pribadi)

Sekitar satu jam kami berada di Ainokura, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Shirakawago. Ketika kami tiba, sudah terlihat beberapa tour bus di sana tetapi belum begitu ramai. Di sana ada museum yang letaknya tidak jauh dari tempat parkir. Kita juga bisa menyeberangi jembatan gantung untuk menuju desa Shirakawago. Desa tersebut masih dihuni pada penduduknya yang jumlahnya hampir mencapai 2000 orang.  Jadi kita diminta untuk tidak mengganggu kenyamanan mereka dan tidak masuk ke tempat tinggal orang dengan seenaknya karena hal ini akan mengganggu mereka. 

Kami sudah diberi peta jalan yang sebaiknya kita lalui agar tidak mengganggu penduduk setempat. Di Shirakawago terdapat banyak toko souvenir dan juga restoran. Bentuk-bentuk rumah di sini juga unik dan mirip dengan di Ainokura dengan model Gassho. Di desa ini juga ada tempat yang disebut observatori untuk melihat seluruh desa dari atas bukit. Saya hanya bisa membayangkan di saat musim dingin dan rumah-rumah di desa tersebut tertutup salju pasti indah sekali. 

Shirakawago (sumber foto milik pribadi)
Shirakawago (sumber foto milik pribadi)

Tak perlu kulkas ... (sumber foto milik pribadi)
Tak perlu kulkas ... (sumber foto milik pribadi)

Shirakawago dari bukit (sumber foto milik pribadi)
Shirakawago dari bukit (sumber foto milik pribadi)

Setelah menikmati keindahan desa Shirakawago, kami pun kemudian mengunjungi museum yang ada di dekat tempat parkir. Sebelumnya kami makan siang di restoran yang ada tidak jauh dari pintu masuk museum. Menunya beragam dan saya memesan soba tempura panas. Tempuranya sangat renyah dan sayuran serta udangnya terasa sangat segar karena memang hasil dari kebun mereka. Porsinya cukup besar, tapi karena rasanya enak maka tentu saja saya habiskan ... (bukan karena rakus ya 😀).

Soba tempura (foto milik pribadi)
Soba tempura (foto milik pribadi)

Selesai makan kami masuk ke area museum dan melihat-lihat rumah tradisional yang ada di sana. Suasananya pun tenang dan menyenangkan sehingga betah rasanya berlama-lama di sana. Selain itu tidak banyak turis yang nampak. Mungkin mereka sedang berkunjung ke desa di seberang sungai.

Suasana tenang di area museum (foto milik pribadi)
Suasana tenang di area museum (foto milik pribadi)

Bagian dari museum (foto milik pribadi)
Bagian dari museum (foto milik pribadi)

Suspension bridge (foto milik pribadi)
Suspension bridge (foto milik pribadi)

Waktu tiga jam yang disediakan untuk kami terasa cepat berlalu. Kami kemudian kembali ke bus untuk kembali ke Takayama. Selama perjalanan hampir semua penumpang tidur karena lelah.  Jam sudah hampir menunjukkan pukul tiga sore dan tanpa terasa kami sudah mendekati Takayama. Sebelum sampai di stasiun bus, pemandu kami meberikan sedikit informasi tentang Takayama dan tempat-tempat yang perlu dikunjungi. Setelah berpamitan kami pun kembali ke tujuan masing-masing. Saya sempat bertukar sosmed dengan pemandu kami dan sampai saat ini kami masih aktif berkomunikasi.

berfoto dengan pemandu kami (foto milik pribadi)
berfoto dengan pemandu kami (foto milik pribadi)

Sesampai di hotel kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Pukul setengah enam saya meninggalkan hotel untuk mencari makan karena tidak ingin kemalaman seperti hari sebelumnya. Teman saya memutuskan untuk tidak ikut karena lelah. Saya pun mulai berjalan mencari restoran. Saya berpikir untuk kembali ke restoran tempat saya makan siang di hari sebelumnya, tapi saat saya membuka pintu pelayan mengatakan restoran sudah tidak menerima order lagi. Yah padahal saya sudah membayangkan apa yang akan saya makan malam itu ... tapi ternyata gagal total 😭. 

Akhirnya saya pergi ke resoran yang ada di sebelah restoran tadi dan ternyata masih buka. Di situ saya memesan sushi dan hida beef skewer yang harganya cukup mahal (600 yen untuk satu tusuk), tapi memang rasanya enak sekali. Meleleh di mulut. Salmon maki-nya pun segar sekali rasanya. Saya juga memesan hida beef sushi yang mantap rasanya tetapi harganya lumayan mahal karena satu porsi isi satu harganya 350 yen. Untuk makan malam tersebut saya mengeluarkan uang cukup banyak, tetapi saya tidak menyesal karena sudah sampai di sana kenapa tidak dinikmati saja perjalanan ini dan mencoba makanan khas di sana. 

Hida sushi (foto milik pribadi)
Hida sushi (foto milik pribadi)

Hida beef skewer (foto milik pribadi)
Hida beef skewer (foto milik pribadi)

Setelah kenyang mengisi perut saya pun mampir ke sebuah supermarket yang masih buka untuk membeli buah peach  yang sangat 'juicy' dan enak sekali serta cherry merah yang manis rasanya. Saya kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat karena keesokan harinya kami akan melanjutkan perjalanan ke Kyoto dan akan menginap di sana selama tiga malam sebelum melanjutkan perjalanan ke Nara, Hiroshima dan Osaka. Sampai jumpa di cerita berikutnya.

gmt15/07/23

sumber foto: milik pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun