Nama Cifor sudah tidak asing di telinga saya, tetapi saya tidak pernah tahu kalau di sana terdapat sebuah hutan kota. Saya hanya tahu bahwa Cifor ada hubungannya dengan hutan.Â
Hari Sabtu pagi kami (kakak dan saya) 'janjian' dengan seorang teman yang sudah pernah beberapa kali 'gowes' ke sana untuk mengunjungi hutan ini. Kami berangkat naik mobil dari rumah di sekitar Jl. Pajajaran sekitar pukul 6:30, sementara teman kami berangkat dari rumahnya di sekitar Yasmin.
Perjalanan menuju Cifor sangat lancar. Jalan Baru yang biasanya lumayan padat terlihat lengang, bahkan di perempatan Lotte yang biasanya ramai, jalanan cukup sepi. Setelah belok ke kiri dari perempatan Lotte, kami mengarahkan mobil menuju Darmaga. Tidak lama setelah melewati terminal Bubulak, kami melihat arah menuju Cifor. Kami pun belok ke kanan dan jalan terus mengikuti jalan tersebut. Di kejauhan kami melihat ada seseorang mengendarai sepedanya dan ternyata dia adalah teman kami yang akan membawa kami menuju Setu Burung yang menurutnya terdapat banyak teratai. Jalanan menuju Cifor sangat teduh karena di kiri kanan jalan banyak terdapat pohon-pohon tinggi dan rindang. Tidak lama kemudian tibalah kami di perempatan menuju Cifor. Saya pun memarkir mobil saya di Alfamart yang ada di perempatan sebelum memasuki hutan Cifor.Â
Dari Alfamart, kami berjalan memasuki hutan Cifor. Berada di sana kami tidak merasa bahwa kami sebenarnya masih berada di kota Bogor. Rasanya seperti jauh sekali dari kota. Jalan aspal yang membelah hutan sangat lebar, namun terdapat juga jalan yang lebih kecil. Jalan kecil ini rusak dan karena malam sebelumnya baru saja turun hujan, jalanan tersebut becek serta banyak sekali kubangan berisi air di sana.Â
Karena kami tidak dapat melalui jalan pintas yang ditunjukkan, akhirnya kami kembali ke jalan aspal. Saya berusaha untuk mencari jalan pintas melewati pemukiman penduduk dan akhirnya kami tiba di jalan raya. Setelah tanya sana-sini, sampailah kami ke tempat penangkaran rusa. Sayang, saat itu tidak nampak satu rusa pun di sana. Kami pun meneruskan perjalanan dan berjalan di sepanjang jalan raya.Â
Saya dan kakak saya tidak biasa berjalan di jalan raya, kami biasanya mencari jalan tembus lewat pemukiman penduduk atau sawah, namun hal tidak memungkinkan karena jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui sepeda kecuali jika dipanggul. Rasanya jauh sekali harus berajalan di jalan raya, matahari pun semakin tinggi jadi panas sekali. Keringat sudah deras mengucur di badan ini.
Setelah berjalan cukup jauh dan melewati beberapa kebun dan ladang milik penduduk di kiri jalan, saya mencoba untuk masuk ke ladang dan bertanya kepada seorang bapak yang sedang bekerja di sana apakah kami bisa lewat pematang untuk menuju Setu Burung. Ternyata bisa. Jadilah kami berjalan di pematang ladang, sementara teman yang membawa sepedanya dapat menuntun sepedanya di situ.