Kaum terdidik  Hindia Belanda bersatu atas dasar kesadaran sebagai kaum tertindas yang dijajah. Kesadaran yang melahirkan organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan.  Budi Utomo, Sarekat Dagang  Islam, Indische Partij, dan beberapa organisasi pergerakan lainnya dihadirkan sebagai bentuk perlawanan dan pembebasan.Â
kenapa Harus Membaca Tetralogi Pulau Buru ?
Setidaknya terdapat 3 hal yang menarik dalam mengenai Tetralogi Pulau buru ini: pertama, berdasarkan unsur urgensi kesadaran masyarakat bahwa di Indonesia terdapat maestro yang karya nya sudah diterbitkan di berbagai negara, tetapi dikerdilkan di negeri sendiri.Â
Dalam kurikulum pendidikan nasional mengenai sastawan-sastrawan sangat minim bahkan cenderung tidak ada  yang menyinggung Pramoedya, karyanya seolah mati dan tak ada harganya. Hal ini tidak luput dari latar belakang Pramoedya yang dicap sebagai Komunis. Pada masa Orde Baru Tertalogi Pulau Buru digolongkan sebagai buku terlarang oleh Jaksa Agung. Walaupun demikian Pramoedya tidak menaruh kebencian terhadap Indonesia.
Karya-karyanya Pramoedya Ananta Toer mengingatkan pada semua orang bahwa Indonesia adalah sesuatu yang baru bukan kelanjutan dari masa lalu tapi justru putus dengan masa lalu. Kecintaan Pramoedya Ananta Toer terhadap Indonesia karena melihat dan menghayati Indonesia sebagai sebuah karya, karya dari rakyat-rakyat Nusantara melalui perjuangannya. Tidak diciptakan Belanda, bukan lanjutan dari kerajaan-kerajaan masa lalu. Indonesia diciptakan rakyat-rakyat Nusantara melalui perjuangannya.Â
Buku-buku tetralogi pulau buru memberikan pengambaran asal usul permulaan perjuangan tersebut. Pramoedya Ananta Toer adalah sosok nasionalis yang bergerak dalam bidang sastra, cintanya terhadap Indonesia merupakan sebuah kesungguhan, bukan hanya sekedar ilusi.Â
 kedua, banyaknya kesamaan fakta sejarah ilmiah yang dihadirkan dalam tetralogi pulau buru, walau terdapat pula perbedaan tetapi tujuan dari Pramoedya untuk mengambarkan kehidupan di Hindia-Belanda  secara mendalam dapat dikatakan berhasil. Kehidupan di Hindia Belanda yang yang erat dengan penindasan kolonialisme faktanya dilawan dengan sendiri-sendiri maupun melalui keorganisasian.
Keruntunan proses perlawanan baik perorangan dan terbatas pada golongan-golongan di tingkat sederhana sampai pada pembentukan organisasi pergerakan sebagai bentuk perlawanan dan pembebasan mengalami dinamika nya sendiri. Hal yang demikian jarang sekali hadir dalam tulisan-tulisan sejarah ilmiah.Â
Ketiga, Â karya pramoedya adalah karya yang tema-tema nya tidak lepas dari unsur perlawanan. Tetralogi pulau buru dinggap sebagai puncak dari kesustraan pramoedya. Â Latar pristiwa yang dipilihnya adalah priode penting dalam sejarah Indonesia. Â
Priode dimana kesadaran akan penindasan dan cita-cita nasionalisme tumbuh dengan suburnya yang akan mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Perlawanan dan pembebasan dalam narasi sejarah ilmiah menggunakan bahasa yang sangat kaku, sangat berbeda dengan pengambaran di karya sastra. Dalam sastra yang mempunyai pembendaraan bahasa yang luwes dapat memberikan rasa yang lebih nyata. Begipula dengan Tetralogi pulau buru, pembaca akan dapat meresapi bagaimana perjuangan dan perlawanan oleh golongan pribumi dalam menghadapi kolonialisme Belanda.Â
Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar: yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar, benar sekali, tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi Benar -Pram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H