Pertandingan sepakbola sejatinya  merupakan  salah satu hiburan bagi pecinta sepakbola, menyaksikan putra-putra terbaik dalam mengolah bola dengan aksi-aksi yang memukau, kalah menang adalah hal yang biasa karena setiap orang yang mengikuti pertandingan selalu menginginkan kemenangan. Panitia selalu berusaha maksimal untuk mempersiapkan perangkat pertandingan dengan harapan memberikan tontonan maksimal kepada para penggemar yang menyaksikan pertandingan, kalaupun kenyataannya dalam pertandingan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai tapi itu bukan menjadi alasan untuk membuat kerusuhan.
Petandingan sepakbola antara Arema FC dan Persebaya yang berlangsung tanggal 1 Oktober 2022 yang lalu  berlangsung di Kanjuruhan mengakibatkan hilangnya nyawa ratusan orang. Berawal dari kalahnya tuan rumah sehingga penonton berusaha turun ke lapangan, padahal ini jelas-jelas sudah dilarang, menurut keterangan polisi, dengan jumlah massa yang semakin tidak terkendali membuat polisi mengambil sikap tegas dengan menembakkan gas air mata untuk menghalau penonton yang semakin tidak terkendali. Penembakan gas air mata sebenarnya juga dilarang dalam aturan FIFA sebagai induk sepak bola dunia.
Kerusuhan di Kanjuruhan jelas-jelas mencoreng muka Indonesia yang sudah bersusah payah untuk menaikkan pamor sepakbola Indonesia dimuka Internasional, masuknya Tim Senior dan usia 19 mengikuti piala Asia, dan saat ini kelompok usia 17 sedang berjuang mengikuti kualifikasi piala Asia. Persoalan ini membuat was-was para pecinta sepakbola, tinggal menunggu sanksi yang akan diberikan FIFA kepada Indonesia.
Persoalan ini banyak mengundang tanya, siapa sebenarnya yang patut disalahkan? Panitiakah, Penontonkah atau Polisi, berbagai asumsi dan pendapat beredar ditengah-tengah masyarakat, ada yang menyalahkan panitia karena mengganti jam pertandingan, ada penonton disalahkan disebabkan memasuki lapangan pertandingan, dan tidak sedikit yang menyalahkan pihak kepolisisan yang menembakkan gas air mata yang menyebabkan kepanikan diantara penonton untuk menyelamatkan diri.Â
Sebenarnya kalau boleh jujur, yang sepatutnya disalahkan adalah penonton yang memulai masuk ke lapangan, seharusnya penonton harus mampu menahan diri apapun hasilnya dilapangan, tugas penonton adalah menyaksikan dan memberikan semangat ketika pertandingan berlangsung, meskipun polisi juga pantas disalahkan karena sudah melanggar aturan FIFA dengan menembakkan gas air mata, sementara panitia dalam hal ini tidak layak disalahkan hanya karena merubah jadwal pertandingan. Semua tidak bisa diprediksi, dengan jumlah pihak keamanan yang sedikit dibanding penonton, andai polisi tidak menembakkan gas air mata kemungkinan kejadian yang lebih parah bisa juga terjadi.
Persoalan yang paling mendasar adalah penonton kita belum dewasa dan selalu berpikiran kalau tuan rumah harus menang, tidak bisa menerima kenyataan kalau TIM tuan rumah kalah. Inilah sebenarnya penyakit yang harus dileyapkan dengan memberikan edukasi kepada pecinta sepakbola sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi, ratusan nyawa melayang sia-sia, jadilah penonton yang bijak dalam menyikapi dan menonton suatu pertandingan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H