TERIK mentari menyengat, cuaca yang gerah tak urung membuat Pak Bari berulang kali menyeka peluh yang membasahi wajahnya dengan handuk kumel yang melingkar di lehernya. Jalanan macet siang itu, suara klakson mobil saling bersahutan. Bus yang dikendarai Pak Bari merayap di atas jalan raya. Seorang pengemudi sedan di sampingnya berteriak seraya menyembulkan kepalanya dari kaca mobil. Entah ada kemacetan apa di depan sana. Kira-kira 200 meter di depan kendaraan sama sekali tak bisa bergerak. Orang-orang di dalam bus Pak Bari mulai celingak-celinguk ke depan, mereka-reka asumsi akan apa yang terjadi sejauh mata memandang. Mereka mulai tak sabaran, cuaca yang panas memang bikin semua orang jadi gerah. Pak Bari menduga mungkin telah terjadi kecelakaan. Memberangus praduga itu, tiba-tiba tampak tiga orang pemuda berseragam putih abu-abu berlari dengan tergesa-gesa disoroti pandang orang-orang di dalam bus. Entah apa yang mnyebabkan ketiga pemuda itu berlari ketakutan bagai dikejar setan. Meraka berlari di antara sisi-sisi mobil yang terjebak macet, menyelip dengan licin bak belut di antara pengendara motor yang menggerutu, kemudian mencapai tepian koroidor dengan tertatih-tatih. Terus berlari dan berlari… kacau sekali tampang mereka. Ada apa? Ada apa? Pertanyaan itu mendominasi dan seakan siap-siap meledak di dalam benak orang-orang yang menyaksikan adegan itu. Pun demikian Pak Bari. Tiba-tiba dari kejauhan, menyusul di belakang mereka tampak beberapa pemuda lainnya yang tengah mengejar mereka. Masih berbalut seragam putih abu-abu mereka. Namun tampang mereka yang garang dan sangar seolah lebih terkesan preman daripada orang yang terpelajar. Mereka berjumlah belasan, ada yang botak, ada yang gondrong, ada pula yang kribo kayak Giring Nidji. Si kribo ini paling serem, ia membawa kayu balok di tangannya. Sementara yang lain ada yang membawa obeng, rantai, celurit, dan ada yang membawa batu juga. Pak Bari terhenyak melihat pemandangan itu dari depan kaca busnya, tau sepertinya itulah yang menyebabkan pemuda yang berlari di depan tadi ketakutan. Mereka tengah terlibat tawuran, sepertinya hal ini pula lah yang menyebabkan kemacetan di depan sana. Entah kenapa bisa terjadi seperti itu. Alih-alih menggunakan otak, mestinya mereka malu dengan diri mereka sendiri yang menggunakan cara kekerasan untuk menyelesaikan suatu persoalan yang kadang sangat sepele. Solidaritas dan kesetiakawanan yang geblek di antara mereka membutakan hati dan akal sehat. Mereka berkawan seakan-akan tidak ada batasan sehingga sulit membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Semua penonton yang melihat adegan kejar-kejaran itu hanya terdiam dengan darah berdesir. Pak Bari mendesah miris. Pak Bari teringat anaknya, ia yakin anaknya tidak seperti itu. Farid, anak satu-satunya, yang seusia mereka, sekarang duduk di kelas sebelas. Ia anak yang baik, Pak Bari sangat bersyukur di usianya yang memasuki senja, 52 tahun, lantaran terlambat menikah di usia muda, ia masih memiliki Farid. Sejak kecil Farid anak yang pinter, ia rajin mengaji dan juga sering mendapat beasiswa. Farid anak yang penurut dan pendiam. Kebanggaannya. Farid tidak mungkin terlibat tawuran. Pak Bari percaya itu. Bus yang dikemudikan Pak Bari bergerak perlahan seiring kendaraan di depannya yang berangsur-angsur maju. “Berhenti…!!” Terdengar teriakan salah seorang pemuda dari rombongan pengejar yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Itu suara si kribo yang mengacungkan kayunya ke udara, sepertinya dia lah pemimpin di antara mereka. Matanya nyalang menatap beringas ke arah bus Pak Bari. Rombongan yang lain segera berbelok mengitari bus Pak Bari. “Berhenti gak lo!!” hardiknya menunjuk ke arah Pak Bari, kenceng, suaranya keras. Bener-bener tipe suara yang tak ingin didengar. Pak Bari bukanlah seorang yang pemberani, nyalinya melempem juga, ia tau darah anak muda bukan perkara yang mudah untuk didinginkan. Jadi ia lebih memkirkan keselamatan bus dan penumpanganya daripada beinisiatif tidak menuruti kehendak para pemuda yang tengah beringas tersulut emosi itu. Ia takut nanti busnya akan dilempari batu dan jadi bulan-bulanan mereka. Lalu bagaimana nanti bila ia diminta pertanggungjawaban sama sang juragan bus tersebut. Ia tidak mau itu terjadi. Pak Bari menurunkan laju busnya. Sekarang kemacetan di depannya berangsur-angsur bergerak. Jalanan segera berubah lengang, para pengendara kendaraan lainnya yang tak ingin terlibat bergegas kabur menjauh. Tiba-tiba terdengar suara bergetar dari penumpang yang duduk di belakang kursi kemudi Pak Bari. Dengkulnya bergertar hebat, mukanya terbenam dalam-dalam di pangkuannya. Ia berusaha menutupi mukanya agar tak dikenali. Seragam putih abu-abunya kuyup dibasahi keringat dingin yang menyembur. "Saya mohon, Pak… Saya mohon… jangan hentikan bus ini!" lirihnya, gugup. Pak Bari terkesiap. Ia melirik dari kaca spion di atas kepalanya. Sepertinya ia tau, si pemuda itu adalah siswa dari sekolah yang jadi musuh rombongan pemuda yang kini menghentikan busnya. Dan ia yakin kalau para pemuda yang tengah berdiri di depan busnya dengan tampang sangar itu bermaksud menggeledah busnya, mencari musuh mereka yang menumpang di dalamnya, lalu menyeretnya keluar, untuk kemudian dihajar sampai bonyok. Kebrutalan tawuran. Kurangnya pemahaman akan solidaritas yang sempit membuat orang-orang di dalam aksi ini tidak semua memahami apa sebenarnya yang terjadi, yang jelas mereka tau dan mendengar bahwa mereka harus menyerang sekolah tertentu. Pak Bari teringat anaknya. Anak satu-satunya yang disayanginya, Farid. Bagaimana bila kondisi Farid seperti yang dialami pemuda di belakangnya? Ia tentu ingin melindunginya. Ia tak ingin meyerahkan anak muda itu kalau ia adalah Farid. Jadi ia tidak akan menyerahkannya… “Mending kita berhenti, Pak! Saya gak mau diamuk mereka. Saya mau turun aja Pak!” teriak seorang penumpang ibu-ibu tiba-tiba, histeris. “Saya mau turun, Pak..!” Atmosfir suram segera menghinggapi para penumpang lainnya. Wajah panik mendera sebagian penumpang wanita. Adegan itu bukan dalam sinetron, tapi kejadian nyata yang menegangkan mereka. “Ja-jangan, Pak… saya mohon! Mereka akan menghabisi saya, saya gak tau apa-apa... Tapi mereka pasti akan menghabisi saya,” rengek si pemuda, hampir menagis. “Saya mau turun, Pak. Saya takut, Pak… Hentikan bus ini dan biarkan kami turun!” “Ya, biarkan kami turun!” “Benar. Kami mau turun aja…” Peluh semakin deras membasahi wajah Pak Bari. Dilema, ia tak tau apakah harus menyerahkan si pemuda atau terus melaju saja. Batinnya menjerit untuk segera mengambil keputusan. Teriakan para penumpang dan rintihan si pemuda di belakangnya menyahut-nyahut, menggema gulana dalam kepalanya. Pak Bari menghambat laju kendarannya, tapi tidak juga menginjak remnya. Rombongan pemuda garang yang bagai serigala kehilangan akal sehat di luar terus mengiringi busnya. Pelan. Waktu bergulir tegang, aroma ketakutan menyeruak, nafas yang memburu. Ketegangan luar biasa mengintimidasi detak jantung seisi bus. Pemuda di kursi belakangnya kian menggigil. Dengkulnya bergetar hebat. Kepalanya makin menunduk. Ia takut, takut sekali… bener-bener ketakutan yang menyiksa. Apa lagi? Apa lagi ini? Ayo, jalan… Jalan, Pak, saya mohon! doanya terus dalam hati. “Wuoii… berhenti lo!!" teriak si pemuda botak di depan jalan makin beringas. Ia mengacungkan batu di tanganya, matanya melotot mengancam. Cuaca yang benar-benar terik membuatnya tak bisa berpikir jernih lagi. Pak Bari cemas bukan kepalang, tapi ia mengambil keputusan pasti melajukan busnya. Si pemuda botak bergeming di depannya. “Brakkk!!" Sekonyong-konyong sebuah batu melayang dengan kecepatan tinggi, menembus kaca depan bus Pak Bari. Penumpang yang lain menjerit. Pak Bari terhuyung, pandangannya lamur. Lalu semuanya menjadi hitam. Pekat.
*** Begitu terbangun, Pak Bari mendapati dirinya tengah berada di atas ranjang di sebuah kamar yang berbau khas obat-obatan, dominasi warna putih memenuhi seluruh ruangan. Pak Bari merasakan perih di kepalanya yang dibebat perban. Pusing. Gradasi warna jingga yang menggantung di ujung cakrawala di balik jendela menyisakan kunang pada pandangnya. Ia meraba-raba ingatannya, mencerna apa yang telah terjadi. Ia ingat pemuda botak yang melemparnya dengan batu dan mengenai kepalanya. Kepalanya berdarah. Penumpang yang lain panik, pemuda yang melempar batu itu juga panik. Ia kabur, diikuti teman-temannya yang lainnya yang berhamburan ke segala sisi. Penumpang lainnya berusaha menyelamatkan Pak Bari dan membawanya ke rumah sakit. Pak Bari menoleh ke ranjang di sebelahnya. Dilihatnya seraut wajah pemuda yang dikenalnya. Bukan, itu bukan pemuda gemetaran di dalam busnya tadi. Pemuda itu terbujur, matanya terpejam. Sepertinya ia tak sadarkan diri. Pak Bari melihat noda merah yang merembes pada perban di pinggang sang pemuda, wajahnya yang dihiasi lebam di beberapa sudutnya tak menghilangkan kejelasan Pak Bari akan roman si pemuda. Pak Bari mengenalinya. Ia anaknya, Farid. Farid? Haahh!? Pak Bari syok bukan main. Farid anak yang baik, Farid anak yang berprestasi. Farid anak yang penurut dan pendiam yang selalu jadi kebanggananya, tumpuan harapan satu-satunya. Demi Farid ia rela berjuang dan bekerja keras menyopir bus. Tidak, tidak! Farid tak mungkin mengecewakannya. Farid tak mungkin ikut tawuran. Farid anak yang baik… Pak Bari terkulai lesu memandangi sosok Farid yang terbaring penuh luka, nanar di pelupuk matanya mengabut. Samar-samar bayangan wajah Farid kecil yang tengah mengaji di surau dan menyunggingkan senyum polosnya saat menunjukkan piagam prestasi sekolahnya sembari berlari ke pelukannya, bergulir jatuh menjadi bongkah-bongkah bening di lantai. Akhirnya dari keterangan perawat dan polisi yang membawanya ke rumah sakit ia tau kalau Farid telah menjadi korban penusukan dalam peristiwa tawuran tadi siang. Sekarang ia belum sadarkan diri. Ia kehilangan banyak darah, beruntung polisi sigap membawanya. Pak Bari menangis sejadi-jadinya. Ia menyesali kenapa Farid sampai terlibat tawuran tersebut. Ia bukan seorang yang terpelajar, hanya sekolah hingga SD kelas empat, tapi ia tau tawuran itu cuma bentuk solidaritas yang tolol. Provokasi dan hasutan pun mudah terbakar menjadi tindak kriminal tanpa belas kasih. *Salah satu cerpen saya yang (untuk kesekian kalinya!) gagal nembus media... mohon koreksi kurangnya dimana ya? T_T >>Sumber : http://glory2go.multiply.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H