Enam bulan lalu, di dalam mobil yang membawamu keluar kota.
Benih itu sekarang bersemayam di dalam dirimu. Lebih tepat lagi di dalam rahimmu. Benih itu menjadi sesuatu yang bernyawa dan telah memasuki usia triwulan; aku.
Suatu malam, sebelum semua ini terjadi, terlalu sering Randi, calon Ayahku, mengunjungi kamar kosmu di tengah malam sepi. Dalam sunyi kalian berdua bergelut hingga berkeringat dan saling memuaskan nafsu. Meski kalian berdua belum resmi menjadi sepasang suami-istri, tapi kalian melakukannya atas dasar suka sama suka—atau yang lebih halus lagi kausebut itu ‘cinta’ dengan desah lembut di ujung pengucapan katanya. Ya, tak terlalu aneh, menurutmu. Toh, layaknya pasangan muda-mudi lainnya di kota besar ini. Hanya saja, pikiran kecilku yang murni dan kolot dan kuno dan konservatif merasa ada yang salah dan ganjil dengan zaman ini… Tapi itu tak perlu kaurisaukan, atau kaupusingkan, itu hanya pemahamanku semata (perdebatan mengenai masalah ini pasti akan memnghabiskan lenih dari satu bab dan sebaiknya kita serahkan pada yang lain saja). Yang jelas aku kini kadung telah jadi dan berdetak di dalam rahimmu.
Kali lain, masih pada suasana malam yang sunyi, kau terisak mengabarkan pada calon Ayahku yang datang berkunjung bahwa kau telah hamil. Di ambang pintu ia menjatuhkan martabak manis kesukaanmu yang dibelinya di persimpangan jalan di depan gang. Antara terkejut, tak percaya sekaligus takut ia bilang belum siap untuk menikah. Apalagi untuk memiliki seorang anak.
Air matamu mengalir deras. Ini kemungkinan terburuk yang telah bisa kauprediksikan.
Ia bilang, ia belum lama mencoba mandiri tanpa bantuan orangtuanya. Dan ia tak mau secepat itu pula merubah keputusannya untuk kembali ke rumah orangtuanya dan membawa kabar bahwa ia akan menikah dengan…—yah, dengan seorang gadis yang belum tentu akan disetujui oleh orangtuanya, apalagi oleh Mamanya yang dominan dan keturunan ningrat, yang cenderung mengagungkan darah keturunan; bibit-bebet-bobot dan tetek bengek standar konservatif lainnya. Singkatnya, ia tak menginginkan bayi itu.
“Gugurkan saja!” perintahnya. Wajahnya melengos dan kusam saat mengatakan itu. Kusam yang berarti ia tak punya pilihan lain dan ia harus kejam.
Air matamu kian membanjir. Di sudut kamar kau tertunduk pilu. Bisu. Tergugu, kau terpukul.
Terlebih lagi aku. Laki-laki itu, yang belum sempat kupanggil Ayah, ingin aku mati!
Sesak dadamu dipenuhi penyesalan. Namun nasi telah menjadi bubur… Kau takut, eh? Aku bisa mendengar suara debar jantungmu yang seperti tetabuhan genderang. Kau tak ingin membunuhku… Kau takut menambah tumpukan dosa? Tidak, tidak. Suara debar jantungmu mengatakan lain. Sebagai perempuan dewasa mestinya kau telah tahu sejak awal bahwa bercinta sebelum menikah itu haram hukumnya menurut agama, namun kau tetap melakukannya ‘kan? Sebenarnya, kau hanya takut dan ngeri membayangkan proses aborsi yang menyakitkan dan membiarkan rahimmu dikuras layaknya bak air yang keruh hingga berdarah-darah. Kau hanya takut membayangkan tingginya angka statistik wanita yang mati saat atau setelah aborsi dan sama sekali tak berkeinginan untuk menambah daftar itu! Aku tahu itu. Itulah yang ada di hatimu saat ini.
Sebagaimana halnya calon Ayahku, kau pun sebenarnya tak menginginkan diriku. Aku tahu itu. Aku tahu, dari seiring waktu yang berjalan sampai aku memasuki usia tiga bulan di dalam kandunganmu; dari caramu dan dari sikap cuekmu yang tak pernah mengusapkan lembut jari-jarimu padaku dari luar perutmu atau mengajakku berbicara seperti layaknya calon Ibu lainnya yang begitu mendambakan buah hatinya… Kau benci aku, Ibu? Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku? Kenapa kau tak katakan saja demikian; seolah membawaku di dalam perutmu adalah suatu kesialan!