Mengapa saya menulis dengan judul yang sangat tendesius dan emosional?Â
Pemerkosaan Yuyun adalah kejadian terbaru saat ini yang diangkat media, setelah ratusan kasus pemerkosaan lainnya yang pernah terjadi di Indonesia. Ada yang diangkat di media massa, ada yang dibiarkan berlalu begitu saja. Biasanya yang paling ramai mendiskusikan dan memperjuangkan nasib korban adalah para penggiat alias aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Buat saya, makna penggiat HAM tak perlu di eksklusifkan hanya kepada penggiat kemanusiaan. Seperti jargon Yuyun adalah Kita, maka kita sebagai manusia wajib memperjuangkan hak sesama manusia, hak untuk hidup, hak untuk dihormati, hak untuk dilindungi. Janganlah membebani kasus HAM hanya kepada aktivis saja. Kalau kamu manusia, harusnya kamu paham betapa pentingnya memperjuangkan hak-hak dasar manusia.
Sebelum Yuyun, semoga anda tidak lupa sejumlah kasus pemerkosaan di Ibu Kota. Misalnya, pemerkosaan seorang perempuan di jembatan penyebrangan Lebak Bulus. Kasus pemerkosaan seorang perempuan di dalam bus Transjakarta, dan lain sebagainya. Argumentasi berakhir pada kesimpulan 'tidak seharusnya perempuan pulang malam atau tidak seharusnya perempuan berpakaian seronoh.'Â Perempuan tidak boleh pulang larut malam dan tidak boleh berpakaian seronoh jelas adalah bentuk dominasi lelaki atas perempuan. Mengutip tulisan kawan saya, Bowo,Â
ada proses sexualization yang semakin mendalam terhadap tubuh perempuan. Perempuan dianggap sebagai biang keladi kebobrokan moral masyarakat. Sensor yang dilakukan terhadap tubuh perempuan karena dianggap perempuanlah yang bertanggung jawab terhadap nafsu seksual laki-laki.
Laki-laki dimaklumi untuk memiliki dorongan seksual yang tinggi, sehingga perempuan wajib menutupi tubuhnya untuk menekan dorongan seksual tersebut. Kalau terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan, perempuan yang disalahkan karena tidak mau atau tidak mampu menutupi tubuh mereka.
Ketidakadilan ini menjangkit hingga ke otak pejabat kita. Ada saja argumentasi yang menyalahkan perempuan. Bahkan sialnya ini mempertegas sikap pemerintah yang ogah-ogahan melegitimasi Undang-Undang Kekerasan Seksual. Sepertinya manusia kita yang modern dan beradab ini menilai kekerasan seksual adalah hal yang lumrah, dari zaman dahulu sudah ada. Haduh. judgemental sekali ini.
Saya mencoba tenang, dan mencoba mengambil argumentasi lain. Saya mulai mempertanyakan seberapa kuat Undang-Undang memastikan kejahatan sejenis tidak akan terjadi? Mungkin satu yang bisa diharapkan dari Undang-Undang, memberikan keadilan bagi korban sekaligus pelaku. Ya, tetapi siapa yang bisa memastikan kejadian serupa tidak akan terjadi atau mengalami penurunan? Hal kecil bisa dilakukan yakni mengajarkan anak-anak anda untuk tidak memperkosa, diarahkan dalam menghargai tubuh lawan jenis seperti menghargai tubuh sendiri.
Belakangan sejak menjadi jurnalis, saya tidak melihat hal-hal moral sebagai permasalahan sepele atau hanya menyalahkan korban. Institusi yang disebut pemerintah harus bertanggung jawab. Kejahatan mungkin terjadi jika ada kesempatan.Â
Yuyun adalah seorang gadis yang berasal dari Bengkulu. Puji Tuhan, saya sudah pernah ke Bengkulu bersama Inas. Awalnya saya berekspektasi Bengkulu akan jauh lebih maju ketimbang kampung saya di Flores, Nusa Tenggara Timur. Oleh sebab itu, saat pertama kali menginjakkan kaki ke Bengkulu, yang saya tanyakan adalah sampai jam berapa angkutan umum atau transportasi publik disana beroperasi? Waktu saya melancong ke Bengkulu bersama Inas tahun 2014, saya cukup kaget mendengar bahwa angkutan umum selesai beroperasi pada jam 18.00 WIB. Spontan saya kaget, berarti kalau saya tinggal di Bengkulu sebagai pengguna transportasi umum, saya harus ingat bahwa saya tidak bisa pulang diatas jam enam sore. Kondisi Bengkulu secara infrastruktur ternyata tak jauh berbeda dari kampung saya, akses masih terbatas. Saya sempat menggugat hal itu dalam benak saya, ya karena saya adalah warga Jakarta yang tidak nyaman saja dengan ketidaknyamanan itu. Berarti mau tak mau kalau saya pulang malam, saya harus jalan kaki. Konon taksi pun selesai beroperasi jam 18.00 WIB.Â
Buat saya nasib Yuyun sangat naas, entah karena tak ada yang menjemputnya, atau tidak ada transportasi publik yang memadai (saya kurang tahu detail informasi itu) dia terpaksa jalan kaki (atau memang dia selalu berjalan kaki) . Alhasil dia harus bertemu bandit-bandit yang memperkosanya.Â
Keterbatasan akses dan infrastruktur, kurangnya pengawasan publik, pengabaian terhadap keselamatan perempuan, menjadi contoh betapa tidak sensitifnya pemerintah kita. hal serupa juga terjadi atas perempuan yang diperkosa diatas jembatan penyebrangan. Jika di Jakarta yang katanya ada Ibu Kota negara setiap jembatan ada CCTV untuk mengawasi masyarakat tentu angka kejahatan tersebut bisa dikendalikan.Â
Pemerkosaan dan pembunuhan adalah kejahatan yang mudah dilakukan di daerah yang minim akses. Tak perlu ambil contoh jauh-jauh, di Flores, di kampung saya yang nasibnya seperti Bengkulu, paman saya bernama Thomas dibunuh. Saat itu sepertinya saya masih SD dan tinggal di Jakarta, saya hanya mendengar kabar bahwa paman saya dibunuh dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya lupa detail kejadiannya tetapi peristiwa naas itu membekas dalam benak saya hingga saat ini. Paman saya dibunuh oleh segerombolan bandit di tengah jalan, bukti sangat minim, pembunuhan dilakukan pada malam hari, gelap gulita, akses listrik tak ada. Motifnya adalah rasa benci, atau entahlah, darah manusia di Indonesia ini sangat murah ternyata. Ada pula beberapa kasus pemerkosaan di NTT yang tak menjadi perhatian publik karena dianggap sebagai kesalahan korban.Â
Saya sering mempertanyakan dimana fungsi pemerintah dan aparat keamanan? Dimana mereka saat kita membutuhkan mereka? Pemerintah lebih mirip pemerkosa yang melakukan pembiaran atas sejumlah kejahatan kemanusiaan. Ya, kadang saya berpikir, jika melakukan pendekatan atas HAM sangat sulit, bagaimana dengan pendekatan atas hak-kewajiban dan tanggung jawab pemerintah atas masyarakatnya? Tentang kemiskinan yang dijadikan alasan orang melakukan kejahatan. Tentang pengabaian mereka atas sejumlah kebutuhan pada akses dan keterbukaan infromasi, atas pengawasan dan keamanan. Apakah semua pembangunan yang dilakukan sudah memperhitungkan dan menjamin kebutuhan perempuan.