Kami menyandang nama Komunitas Penulis Muda (Katolik) Agenda 18. Mengapa kata Katolik itu saya beri tanda kurung? Lama-lama saya sangsi sendiri dengan makna Katolik itu. Takut terlalu eksklusif. Tetapi juga jika dihapuskan, saya khawatir kehilangan identitas diri.
Kami, 7 dari 9 penulis muda angkatan 5, memiliki tekad yang sama. Kami harus menerbitkan buku yang kami rancang usai pelatihan tahun 2012. Buku tentang perkotaan.
Beberapa kritik terlempar, buku kalian seperti gado-gado, terlalu banyak isu yang dikisahkan. Tetapi itulah kami. Gado-gado, banyak warna dan rasa, perbedaan. Ada yang menjadi editor, ada yang bekerja di kantor industri migas, ada yang dosen, ada yang baru lulus dan mau jadi peneliti, ada yang guru, ada akuntan, dan ada yang jurnalis. Mengapa kami harus menjadi sama, dan diseragamkan?
Hari hari berjalan, sebuah ide dilempar, dimana saat peluncuran kami juga membuat diskusi tentang perkotaan. Permasalahan yang ditulis dalam buku kami masih sangat relevan.
Kami memutuskan akan mengundang Marco Kusumawijaya, pengambil kebijakan Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat, dan mentor kami saat menulis buku tentang perkotaan, siapa lagi jika bukan Agnes Rita, wartawan Metropolitan Harian KOMPAS.
Kelahiran Rumah Kota Kita lama lama saya refleksikan seperti sulitnya mengandung anak 9 bulan. Analogi ini mungkin paling tepat menggambarkan 7 perempuan penulis yang memiliki energi serta pengalamanan kebatinan yang sama. Sebut saya mereka Jenni, Wiwiek. Niken, Blessty, Della, Sari, dan saya.
Proses kami menunggu memang tak sampai 9 bulan tetapi mekanisme yang kami alami masing-masing nyaris menyerupai proses menanti-nantikan kelahiran anak pertama.
Saya tak akan lupa ketika hendak merumuskan konsep peluncuran buku ini, saya, Jenni, dan Mba Wiwiek janjian berjumpa di Gudang Sarinah. Seharian itu memang saya lupa makan (bukan diet) karena saya harus les, lalu ke kantor sebentar, lalu berjumpa dengan mereka Gudang Sarinah. Kemana-mana pun saya mengandalkan Grab Bike tentu akan masuk angin jika kondisi fisik drop.
Alhasil, saat saya di Gudang Sarinah tengah mengobrol dengan Mbak Wiwiek dan temannya pejuang HAM bagi LGBT tiba tiba saya pingsan. Itulah saat pertama dalam hidup saya selama 23 tahun dimana akhirnya saya pingsan. Di situlah untuk pertama kalinya saya tahu, tubuh saya ada batasnya.
Untungnya Mbak Wiwiek, dan kawannya Mas Hartoyo segera memapah saya dan mencoba menyadarkan saya. Jenni pun tergopoh-gopoh membawakan saya minuman teh. Ketika sadar saya sungguh merefleksikan diri saya. Ada apa dengan saya? Sungguh ini aneh sekali. Untuk pertama kalinya saya jatuh pingsan dan itu dihadapan teman-teman Agenda 18. Hal itu membuat beberapa teman khususnya Jenni dan Mbak Wiwiek gemar mengingatkan saya untuk tidak lupa makan. Keduanya sama-sama mengingatkan saya agar jangan cepat sakit.
Sempat saya membatin, akankah ini sebuah pertanda buruk akan rencana kami mengundang beberapa orang yang cukup "sangar". Sebut saja Marco, dia sudah mengklaim akan maju sebagai Cagub DKI. Sementara Djarot saat ini adalah Wagub yang mendampingi Ahok. Tetapi bukan muatan politis ini yang mau kami tonjolkan. Bukan parade adu kekuatan yang kami persiapkan. Perkara literasi kepada penulis ataupun pembaca itulah yang kami inginkan. Tentang keberimbangan informasi. Keadilan berpikir. Jadi apapun yang dikata literasi itu penting ketimbang menduga-duga.