Jauh dari hiruk-pikuk Pilpres di Pulau Jawa, beberapa waktu yang lalu, kota tempat saya tinggal saat ini, Samarinda Tepian Mahakam diguyur aksi massa menolak pembangunan pabrik semen. Sejak awal saya berpikir, memangnya seberapa penting Kalimantan Timur mempunyai pabrik semen?
Besok, Senin (8/4/2019) aksi demonstrasi menolak pabrik semen rencananya akan dilakukan lagi. Aksi demonstrasi menolak pembangunan pabrik semen akan kembali berlangsung di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Masih terekam dengan jelas pengalaman saya, seorang jurnalis baru yang ditugaskan seorang diri dari kantor di Samarinda meliput aksi sejenis akhir Maret 2019 lalu.
Sebagai kisah awal, pada 15 Maret 2019 lalu, saya pernah menulis berita tentang Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menerima audiensi dari investor China untuk menindaklanjuti pembangunan pabrik semen di Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur. Saya tidak pernah menyangka berita yang saya liput bersama kawan-kawan akan menuai protes yang boleh dikata cukup seru.
Izinkan saya mengulas sedikit suasana demo pasa 25 Maret 2019 lalu. Sekitar pukul 09.00 WITA sampai 10.00 WITA mahasiswa dan Aliansi Masyarakat Peduli Karst Kalimantan Timur berkumpul di Taman Samarendah menuju Kantor Gubernur. Kebetulan, saya sudah lebih dulu menyambangi Kantor Gubernur melihat kondisi disana. Sudah banyak sekali aparat keamanan yakni kepolisian sampai intel Brimob disiapkan. Iseng, saya bergabung duduk bersama para polwan. Mereka sibuk membagikan cerita soal bahaya ketika mengawal demonstrasi. Mereka juga sibuk foto tentunya dan bergosip.
Dalam ingatan saya, massa baru tiba di Kantor Gubernur sekitar pukul 10.45 WITA. Saya pun beranjak kelaur dari Kantor Gubernur untuk melihat massa. Ada banyak golongan mahasiswa dengan bendera kampus organisasi mulai menyuarakan orasi. Umumnya mereka mahasiswa-mahasiswi dari Universitas Mulawarman, Universitas Tujuh Belas Agustus, dan Universitas Balikpapan menggenapi jumlah massa sekitar 200 orang. Bendera dari GMNI, HMI, PMII, PMKRI, GMKI, dan LMDN berkibar di bawah matahari yang entah terasa sangat menyengat kulit.
Aksi massa dimulai. Mereka meminta Gubernur Kaltim Isran Noor mencabut izin pabrikasi semen di Kaltim dari investor Cina. Dalam aksi demo yang sama, massa juga menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) yang telah membuat masyarakat Kaltim tidak bisa mengelola sumber daya alam yang ada untuk pertanian, perhutanan, ataupun perkebunan.
Dua jam pertama sebelum makan siang, demonstrasi ini hanya sebatas teriak-teriak orasi saja. Ada saja kelakuan lucu anak mahasiswa zaman now. Salah satu orator meminta kawannya untuk memfoto dia saat berorasi.
“Foto yang bagus ya,” demikian kira-kira katanya. Wah, jadi memang eksistensi sangat penting ya. Bahkan ketika demonstrasi, eksistensi individu wajib terlihat di media sosial. Saya tertawa dalam hati, namun tentu ini adalah contoh konkret perilaku kita di masa kini. Mau kamu kiri radikal atau kanan ekstrimis, di media sosial, kita setara ingin menonjolkan diri.
Kelakukan mahasiswa yang unik tak sendiri. Saya juga mendapati seorang polisi yang berdiri di samping mahasiswa dengan seragam lengkap meminta temannya untuk memfoto dia dari jauh. Sungguh saya sangat geli melihat kelakuan Pak Polisi, dengan pose serius sedang mengawal aksi demo. Saya tak lupa ekspresi Pak Polisi dengan foto candid membuat mukanya tampak serius menuju garang.
Saya tergelitik dengan salah satu orator yang mengatakan kedatangan mereka dengan aksi demonstrasi adalah untuk menagih janji Isran Noor. Apa pasalnya? Oh ya, saya ingat, Isran memang pernah menyinggung perihak pencabutan IUP dalam kuliah umum bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Tepatnya pada 8 Maret 2019 di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Dalam pidatonya itu Isran memang entah dalam keadaan sadar atau hanya mencoba melucu, dia mengatakan bahwa usaha tambang jika merusak dan pelaku usaha mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi akan ditindak dan ditutup. Bahkan Isran mengaku tidak bermasalah jika perusahaan tambang ditutup dengan resiko pendapatan asli daerah (PAD) dari dana bagi hasil akan berkurang.
“Harus ada rakyat yang demo minta tambang ditutup. Yang demo selama ini kan soal anak yang terjun di lubang tambang. Nah, salahnya sendiri terjun di lubang tambang,” ujar Isran kala itu. Mengingat jawaban Pak Isran, tentu menjadi sangat masuk akal ketika massa berdalih akan menagih janji Isran yang siap mencabut IUP meski resiko pertumbuhan ekonomi di Kaltim akan kolaps.
Pak Gubernur memang gemar mengumbar masalah PAD dan pertumbuhan ekonomi di Kaltim. Memang, tahun lalu pertumbuhan ekonomi Kaltim lebih kecil dibandingkan 2017. Dari pencapaian 3,13% tahun lalu hanya tumbuh sekitar 2,67%. Belum lagi, protes Pemprov Kaltim terhadap rencana pembatasan produksi batu bara berbasis Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berpeluang membuat pertumbuhan ekonomi Kaltim berpotensi menyentuh angka minus menurut Bank Indonesia. Dalam catatan saya sekitar -2,7%.
Kembali ke soal demonstrasi, sekitar pukul 12.00 WITA massa masih nampak bisa dikendalikan. Mereka hanya berorasi, beberapa mahasiswa Mulawarman bahkan pulang karena ada UTS. Saya masih duduk di depan kantor Gubernur bersama seorang kawan. Tiba-tiba massa menghadang serta menaiki truk yang sepertinya mengangkut batubara atau semen kebetulan lewat. Saya menangkap jelas wajah di sopir truk yang bingung ketika truknya dipukul-pukul dan dinaiki massa.
Saya hanya membatin, ‘mereka ini tahu kan kalau itu adalah sopirnya bukan pemilik perusahaan? Tahukah mereka jika mereka meluangkan amarah dengan merusak aset, mereka juga membahayakan nasib si sopir yang pasti akan kena damprat dari majikannya.’ Saya jadi mulai merasakan ketidaknyamanan, batin saya bergolak, mereka tahu mana kawan dan mana lawan kan? Sepertinya mereka lupa bahwa si sopir adalah masyarakat dari kelas buruh. Untung bapak sopir itu tidak tersulut emosi. Dia seolah pasrah saja truk yang dia kendarai dihadang massa. Tanpa perlawanan, dia sadar, ini bukan aset miliknya. Atau dia ambil sederhananya saja, mau aset rusak atau tak rusak gaji pun tak naik. Mana tahu.
Pergolakan pertama sudah dimulai. Saya mulai beralih masuk ke dalam Kantor Gubernur, karena mendapat pesan Pak Gubernur akan tiba beberapa saat lagi. Benar saja, sekitar pukul 12.27 WITA, nampak mobil Isran Noor memasuki lobi Kantor Gubernur. Tanpa menemui massa mahasiswa, Isran masuk ke kantor. Dia sempat membuat sebuah pernyataan saat saya dan beberapa kawan melontarkan tanya soal aksi di depan kantor yang sukses merobohkan gerbang kantor.
"Ya gapapa. Bagus saja. Jadi mereka menyampaikan hal-hal yang menurut mereka benar. Benar itu. Cuma yaa tidak semua yang benar itu pas.”
Isran pun masih melanjutkan; "Dia minta didengarkan gubernur. Saya sudah dengarkan daritadi. Saya buka jendela di atas itu saya dengarkan," ujarnya lagi.
Sebagai informasi pabrik semen yang akan dibangun oleh Hongshi Holdings akan bekerjasama dengan PT Kobexindo Cement. Adapun izin PT Kobexindo Cement yang sudah ada sejak pemerintahan Awang Faroek. Nilai investasi US$1 miliar sampai US$2 miliar untuk pabrik tersebut. Terkait luas pabrik yang akan dibangun dua perusahaan itu sekitar 822 hektare.
Menurut Isran lokasi pembangunan itu juga tak berada di kawasan karst Sangkulirang, Mangkalihat, Kabupaten Kutai Timur. Tepatnya di Jepujepu, Sekerat, Kabupaten Kutai Timur.
"Itu mereka tak paham itu daerah kena karst tidak kena. Yang karst itu ada di sandaran disitu tak ada. Cuman ada gunung-gunung tempat sarang burung sekarang burung tak ada lagi," ujar Isran.
Massa semakin mengamuk dengan anarkis setelah dua kali dinegosiasikan menunggu Isran atau pejabat lain untuk beraudiensi. Ritme aksi mereka cukup menarik. Kadang mereka sangat santai. Tiba-tiba tegang dan anarkis. Lalu nanti santai lagi. Lalu nanti menegang dan anarkis. Begitu terus, ini sungguh ritme yang unik dan tahan lama dalam pengamatan saya.
Tiba-tiba di tengah hari usai jam makan siang, massa melemparkan batu ke gedung gubernur tanpa memedulikan sasaran. Beberapa orang lain hendak merobek foto Isran-Hadi di baliho depan kantor Pemprov.
Di tengah aksi itu, para aparatur sipil negara (ASN) alias pegawai negeri sipil (PNS) malah berbondong-bondong keluar dari ruang kerjanya hanya untuk menonton aksi demontrasi. Loh? Kalian ini kerjanya kok tak produktif, yang dipanggil gubernur, bukan kalian. PNS yang bisa mengikuti aksi hanya humas dan Kesbangpol.
Pihak kepolisian yang bersikap mengayomi mulai tersulut emosi. Apalagi setelah seorang polisi dari Polresta Samarinda, Hardi, yang kebetulan ayah dari salah satu kawan wartawan terkena lemparan batu nyasar yang mendarat di keningnya. Pelipis kepala polisi terluka dan darah bercucuran hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Tak kunjung bertemu dengan satu pun pejabat pemerintahan, massa mulai mengamuk dengan melempar kayu dan tongkat. Seorang polisi kembali terkena di area pelipis mata hingga berdarah dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Tak hanya aparat keamanan, seorang wartawan dari media televisi juga terkena tongkat nyasar aksi demonstrasi yang tak terkendali. Kondisi ini masih diperparah dengan celotehan anak mahasiswa atau oknum mungkin dalam massa yang menyebut ‘wartawan dibeli’. Oke, jelas sudah massa ini tidak paham, mana kawan, dan mana lawan. Penghinaan terhadap wartawan jelas membuat wartawan jadi bingung dan kesal, apa maksudnya wartawan dibeli?
Konflik horizontal antara kepolisian, mahasiswa, dan wartawan tak terbendung. Nyaris chaos, negosiasi pun dilakukan antar pihak. Apalagi sejak pukul 09.00 WITA sampai 16.00 WITA tak ada lagi tanda-tanda massa yang mengamuk akan bertemu dengan pejabat Pemprov Kaltim. Isran Noor memang telah meninggalkan kantornya tak lama setelah memberi keterangan kepada wartawan.
Saya pun merenung-renung, setelah mendengar ceramah seorang kawan jurnalis senior di Samarinda. Dia mengkritik perkara ketidakteraturan dan anarkisme aksi massa dalam menolak pembangunan pabrik semen. Saya sungguh sependapat, sebab sejak awal, saya melihat tidak ada tendensi baik yang bisa membedakan mana kawan seperjuangan, mana lawan sejati. Aksi ini jauh berbeda dari aksi 1998 yang mana konflik horizontal tidak terjadi dan semua masyarakat sipil segala golongan dirugikan. Saya jadi sempat menggugat, sebenarnya perjuangan garis kiri masa kini ada di belahan mana? Mengapa sesuatu yang ‘kiri’ menjadi tak berharga lagi dan main hakim sendiri?
Siang ini, kawan saya yang kebetulan seorang dosen di Universitas Gadjah Mada juga memberikan serpihan argumentasi yang sama dengan kegelisahan saya tempo dulu. Zita, nama kawan saya itu membawa saya pada pengolahan batin dan pikiran baru tentang menjadi orang-orang di persimpangan kiri.
Masa kini, kata Zita, masih banyak orang memahami masalah sangat hitam dan putih, atau bertolak hanya kepada hal-hal fundamental dan membuat pengambilan keputusan apapun menjadi sangat irasional. Hal-hal seperti itu yang disebutnya ‘kiri’. Saya jadi membatin, mungkin itu salah satu masalah mahasiswa pada umumnya bahwa mereka secara tidak sadar terbuai pada gagasan-gagasan besar tetapi bertindak menjadi sangat tidak rasional.
Padahal masa kini, sangat berbeda konteks dengan aksi kaum radikal kiri masa lalu. Oh ya, ini bukan radikal fundamental ya, mereka beda kepentingan karena kiri fundamental semua masalah bisa selesai atas nama surga. Misalnya saja, basis pemikiran Marx pada masa itu saja belum bisa memproyeksikan yang akan terjadi saat ini di era keterbukaan informasi dan revolusi digital 4.0. Konsep pembangunan dan kenyamanan memenuhi wacana masyarakat, alhasil memang mudah untuk menyatakan bahwa pabrik semen dibutuhkan membangun menggeliatkan perekonomian di Bumi Etam.
Maka yang seharusnya diadvokasi dan diperjuangkan bukan sekadar aksi-aksi heroik yang berujung anarkis, tetapi pertarungan wacana-wacana kritis tentang sejauh mana urgensi pembangunan pabrik semen bagi perekonomian masyarakat Kaltim? Jika permintaan pasar terhadap semen semakin menurun, apakah cukup menguntungkan membuka pabrik semen jika hanya untuk dalih menyerap tenaga kerja sampai lebih dari 1000 orang itu? Apakah cukup adil mengandalkan alih fungsi lahan warga dengan penyerapan tenaga kerja masyarakat setempat. Lantas mau mereka jadi apa ya?
Kita ibaratkan, jika mereka lantas menjadi buruh di pabrik, apakah itu cukup bisa memanusiakan hidupnya? Saat kita mengagung-agungkan revolusi digital 4.0 apakah masih relevan untuk mempekerjakan buruh kasar di masa depan? Kebutuhan manusia akan meningkat seiring dengan revolusi digital 4.0, bukan hanya makan 4 sehat 5 sempurna, tapi jadi 6, dengan pulsa. Oleh sebab itu seorang 'kiri' masa kini tidak bisa anti pembangunan. Dia harus mewujud dengan wajah baru.
“Manusia dan teknologi semakin akrab, Tita. Bahkan di masa depan penelitian kuantitatif itu tak bakalan laku lagi. Ada big data. Justru seharusnya dalam keilmuan, kemampuan lebih manusia untuk menganalisa data. Jadi lebih kualitatif analisis,” kata Zita dalam perjalanan saya mengantarkan dia kembali ke bandara APT Pranoto Samarinda.
Itu yang selama ini saya cemaskan dan tertuang dalam buku harian. Perjuangan kaum kiri yang stagnan dengan ide-ide sekadar ‘LAWAN’ tetapi tidak memberikan solusi. Atau setidaknya langkah taktis, kapitalisme sudah menjelma hantu baru maka butuh kacamata kiri yang lebih canggih untuk mendeteksinya.
“Ada aja orang bego, kita saja masuk bandara nih, yang melayani tiketnya mesin. Lalu orang mau kerja apa kalau sudah lahan diambil?” kata Zita.
Diskusi Minggu dengan Zita semakin menguatkan asumsi saya, bahwa pemerintah selalu lamban dan selalu gagal dalam merumuskan visi masa depan. Baik di pusat atau daerah penyakitnya sama. Seperti saat ini di Kaltim, dengan sumber daya alam yang semakin menipis, antisipasi perekonomian mengandalkan semen, seolah tidak ada alternatif sektor lain yang bisa diperbedayakan untuk lebih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat. Penyakit lama, yakni terlena dengan kejayaan dan tidak berinovasi.
“Kalau buatku memang Pemdanya tidak ada keberpihakan dan selalu terlambat dalam membaca tanda-tanda zaman,” ungkap saya.
Satu catatan saya selama berpijak menjadi seorang jurnalis. Pentingnya pemimpin ataupun pendidik untuk berkontemplasi. Hanya dengan refleksi, kontemplasi, seseorang bisa mengambil keputusan dengan baik untuk masa depan. Dia bisa membaca tanda-tanda zaman. Tanpa refleksi dan kontemplasi, kita akan mudah terjerumus pada ingatan-ingatan singkat yang memangkas daya ramal kita untuk masa depan. Salah satu medium refleksi dan kontemplasi itu adalah menulis seperti yang saya lakukan sekarang.
Ditengah hiruk pikuk platform media sosial, kesunyian memang menjadi mahal. Sangat mahal. Kesunyian untuk merumuskan gagasan dan menuliskan wacana-wacana kritis juga semakin mahal. Wacana kritis yang komprehensif dan solutif, bukan emosional dan provokatif.
Pekerjaan menulis menjadi tidak seksi seperti dulu. Aksi-aksi di lapangan untuk bisa posting foto dan video jauh lebih berharga. Tidak ada kemewahan dengan menjual dogma, “menulis adalah pekerjaan untuk keabadian". Padahal, era masa depan gagasan dan kualitas berpikir itulah yang diperlukan, dan menulis membuat rangkaian gagasan lebih terstruktur. Bersaing dengan mesin, manusia hanya mengandalkan kepada fitrahnya, hati dan pikiran.
Mungkin, ketika saya di Jakarta, yang jauh lebih riuh dari Kalimantan, ruang-ruang hening untuk merumuskan gagasan pun sangat sulit saya dapatkan. Mungkin saya pun menjadi lamban dalam berinovasi. Atau saya tetap berinovasi namun tidak memberi ruang pada gerak hati dan kemanusiaan. Begitulah kapitalisme saat ini bekerja dalam kesimpulan saya.
Demonstrasi yang terjadi kemarin berujung damai. Mediasi yang terjadi di penghujung aksi tetap tak bisa melunturkan fakta sejarah baru konflik horizontal masyarakat sipil dan aparat pernah terjadi di tepian Mahakam.
Catatan konflik horizontal pertama cukup chaos pada masa kepemimpinan Isran dan Hadi pengusung Kaltim Berdaulat yang menunggu terwujud. Esok, ketika massa akan kembali meluncur, sejarah baru akan diulang lagi, dan semoga kali ini kacamata kiri yang dipakai canggih dan bukan kacamata kuda lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H