Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menilik Bara Tepian Mahakam Tanpa Kacamata Kuda

7 April 2019   19:16 Diperbarui: 7 April 2019   19:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ibaratkan, jika mereka lantas menjadi buruh di pabrik, apakah itu cukup bisa memanusiakan hidupnya? Saat kita mengagung-agungkan revolusi digital 4.0 apakah masih relevan untuk mempekerjakan buruh kasar di masa depan? Kebutuhan manusia akan meningkat seiring dengan revolusi digital 4.0, bukan hanya makan 4 sehat 5 sempurna, tapi jadi 6, dengan pulsa. Oleh sebab itu seorang 'kiri' masa kini tidak bisa anti pembangunan. Dia harus mewujud dengan wajah baru.

“Manusia dan teknologi semakin akrab, Tita. Bahkan di masa depan penelitian kuantitatif itu tak bakalan laku lagi. Ada big data. Justru seharusnya dalam keilmuan, kemampuan lebih manusia untuk menganalisa data. Jadi lebih kualitatif analisis,” kata Zita dalam perjalanan saya mengantarkan dia kembali ke bandara APT Pranoto Samarinda.

Itu yang selama ini saya cemaskan dan tertuang dalam buku harian. Perjuangan kaum kiri yang stagnan dengan ide-ide sekadar ‘LAWAN’ tetapi tidak memberikan solusi. Atau setidaknya langkah taktis, kapitalisme sudah menjelma hantu baru maka butuh kacamata kiri yang lebih canggih untuk mendeteksinya.

“Ada aja orang bego, kita saja masuk bandara nih, yang melayani tiketnya mesin. Lalu orang mau kerja apa kalau sudah lahan diambil?” kata Zita.

Diskusi Minggu dengan Zita semakin menguatkan asumsi saya, bahwa pemerintah selalu lamban dan selalu gagal dalam merumuskan visi masa depan. Baik di pusat atau daerah penyakitnya sama. Seperti saat ini di Kaltim, dengan sumber daya alam yang semakin menipis, antisipasi perekonomian mengandalkan semen, seolah tidak ada alternatif sektor lain yang bisa diperbedayakan untuk lebih menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat. Penyakit lama, yakni terlena dengan kejayaan dan tidak berinovasi.

“Kalau buatku memang Pemdanya tidak ada keberpihakan dan selalu terlambat dalam membaca tanda-tanda zaman,” ungkap saya.

Satu catatan saya selama berpijak menjadi seorang jurnalis. Pentingnya pemimpin ataupun pendidik untuk berkontemplasi. Hanya dengan refleksi, kontemplasi, seseorang bisa mengambil keputusan dengan baik untuk masa depan. Dia bisa membaca tanda-tanda zaman. Tanpa refleksi dan kontemplasi, kita akan mudah terjerumus pada ingatan-ingatan singkat yang memangkas daya ramal kita untuk masa depan. Salah satu medium refleksi dan kontemplasi itu adalah menulis seperti yang saya lakukan sekarang.

Ditengah hiruk pikuk platform media sosial, kesunyian memang menjadi mahal. Sangat mahal. Kesunyian untuk merumuskan gagasan dan menuliskan wacana-wacana kritis juga semakin mahal. Wacana kritis yang komprehensif dan solutif, bukan emosional dan provokatif.

Pekerjaan menulis menjadi tidak seksi seperti dulu. Aksi-aksi di lapangan untuk bisa posting foto dan video jauh lebih berharga. Tidak ada kemewahan dengan menjual dogma, “menulis adalah pekerjaan untuk keabadian". Padahal, era masa depan gagasan dan kualitas berpikir itulah yang diperlukan, dan menulis membuat rangkaian gagasan lebih terstruktur. Bersaing dengan mesin, manusia hanya mengandalkan kepada fitrahnya, hati dan pikiran.

Mungkin, ketika saya di Jakarta, yang jauh lebih riuh dari Kalimantan, ruang-ruang hening untuk merumuskan gagasan pun sangat sulit saya dapatkan. Mungkin saya pun menjadi lamban dalam berinovasi. Atau saya tetap berinovasi namun tidak memberi ruang pada gerak hati dan kemanusiaan. Begitulah kapitalisme saat ini bekerja dalam kesimpulan saya.

Demonstrasi yang terjadi kemarin berujung damai. Mediasi yang terjadi di penghujung aksi tetap tak bisa melunturkan fakta sejarah baru konflik horizontal masyarakat sipil dan aparat pernah terjadi di tepian Mahakam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun