Tiba-tiba di tengah hari usai jam makan siang, massa melemparkan batu ke gedung gubernur tanpa memedulikan sasaran. Beberapa orang lain hendak merobek foto Isran-Hadi di baliho depan kantor Pemprov.
Di tengah aksi itu, para aparatur sipil negara (ASN) alias pegawai negeri sipil (PNS) malah berbondong-bondong keluar dari ruang kerjanya hanya untuk menonton aksi demontrasi. Loh? Kalian ini kerjanya kok tak produktif, yang dipanggil gubernur, bukan kalian. PNS yang bisa mengikuti aksi hanya humas dan Kesbangpol.
Pihak kepolisian yang bersikap mengayomi mulai tersulut emosi. Apalagi setelah seorang polisi dari Polresta Samarinda, Hardi, yang kebetulan ayah dari salah satu kawan wartawan terkena lemparan batu nyasar yang mendarat di keningnya. Pelipis kepala polisi terluka dan darah bercucuran hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Tak kunjung bertemu dengan satu pun pejabat pemerintahan, massa mulai mengamuk dengan melempar kayu dan tongkat. Seorang polisi kembali terkena di area pelipis mata hingga berdarah dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Tak hanya aparat keamanan, seorang wartawan dari media televisi juga terkena tongkat nyasar aksi demonstrasi yang tak terkendali. Kondisi ini masih diperparah dengan celotehan anak mahasiswa atau oknum mungkin dalam massa yang menyebut ‘wartawan dibeli’. Oke, jelas sudah massa ini tidak paham, mana kawan, dan mana lawan. Penghinaan terhadap wartawan jelas membuat wartawan jadi bingung dan kesal, apa maksudnya wartawan dibeli?
Konflik horizontal antara kepolisian, mahasiswa, dan wartawan tak terbendung. Nyaris chaos, negosiasi pun dilakukan antar pihak. Apalagi sejak pukul 09.00 WITA sampai 16.00 WITA tak ada lagi tanda-tanda massa yang mengamuk akan bertemu dengan pejabat Pemprov Kaltim. Isran Noor memang telah meninggalkan kantornya tak lama setelah memberi keterangan kepada wartawan.
Saya pun merenung-renung, setelah mendengar ceramah seorang kawan jurnalis senior di Samarinda. Dia mengkritik perkara ketidakteraturan dan anarkisme aksi massa dalam menolak pembangunan pabrik semen. Saya sungguh sependapat, sebab sejak awal, saya melihat tidak ada tendensi baik yang bisa membedakan mana kawan seperjuangan, mana lawan sejati. Aksi ini jauh berbeda dari aksi 1998 yang mana konflik horizontal tidak terjadi dan semua masyarakat sipil segala golongan dirugikan. Saya jadi sempat menggugat, sebenarnya perjuangan garis kiri masa kini ada di belahan mana? Mengapa sesuatu yang ‘kiri’ menjadi tak berharga lagi dan main hakim sendiri?
Siang ini, kawan saya yang kebetulan seorang dosen di Universitas Gadjah Mada juga memberikan serpihan argumentasi yang sama dengan kegelisahan saya tempo dulu. Zita, nama kawan saya itu membawa saya pada pengolahan batin dan pikiran baru tentang menjadi orang-orang di persimpangan kiri.
Masa kini, kata Zita, masih banyak orang memahami masalah sangat hitam dan putih, atau bertolak hanya kepada hal-hal fundamental dan membuat pengambilan keputusan apapun menjadi sangat irasional. Hal-hal seperti itu yang disebutnya ‘kiri’. Saya jadi membatin, mungkin itu salah satu masalah mahasiswa pada umumnya bahwa mereka secara tidak sadar terbuai pada gagasan-gagasan besar tetapi bertindak menjadi sangat tidak rasional.
Padahal masa kini, sangat berbeda konteks dengan aksi kaum radikal kiri masa lalu. Oh ya, ini bukan radikal fundamental ya, mereka beda kepentingan karena kiri fundamental semua masalah bisa selesai atas nama surga. Misalnya saja, basis pemikiran Marx pada masa itu saja belum bisa memproyeksikan yang akan terjadi saat ini di era keterbukaan informasi dan revolusi digital 4.0. Konsep pembangunan dan kenyamanan memenuhi wacana masyarakat, alhasil memang mudah untuk menyatakan bahwa pabrik semen dibutuhkan membangun menggeliatkan perekonomian di Bumi Etam.
Maka yang seharusnya diadvokasi dan diperjuangkan bukan sekadar aksi-aksi heroik yang berujung anarkis, tetapi pertarungan wacana-wacana kritis tentang sejauh mana urgensi pembangunan pabrik semen bagi perekonomian masyarakat Kaltim? Jika permintaan pasar terhadap semen semakin menurun, apakah cukup menguntungkan membuka pabrik semen jika hanya untuk dalih menyerap tenaga kerja sampai lebih dari 1000 orang itu? Apakah cukup adil mengandalkan alih fungsi lahan warga dengan penyerapan tenaga kerja masyarakat setempat. Lantas mau mereka jadi apa ya?