Hari Raya Natal adalah Hari Raya Kelahiran. Sebuah peringatan kaum Kristiani akan lahirnya Kristus, Putra Sulung Allah, yang menjadi manusia. Menurut iman Kristiani, sabda Allah itu menjadi daging, berinkarnasi sebagai manusia secara utuh.
Saya sungguh tergelitik pada hari Raya Natal ini dengan membaca beberapa status yang diunggah tak lain dan tak bukan oleh mantan dosen saya di Universitas Multimedia Nusantara, yakni Ignatius Haryanto. Berikut cuplikan seru status "Christmas Jaman Now" yang memberi ruang refleksi pada saya. Simak ya;
Saya ingin mengerucutkan refleksi hari raya Natal ini dengan beberapa guyonan tentang cara berkomunikasi kita. Selain itu saya ingin mengajak kita memulai perjalanan merefleksikan ulang makna menjadi Indonesia tepat dalam momentum Natal.
CARA KOMUNIKASI JAMAN NOW
Pada edisi Christmas Jaman Now #3 ketika Herodes disebutkan ingin mencari tahu kebenaran lahirnya Raja Semesta Alam, dia pun menggunakan Google Fact, hanya untuk melakukan pengecekan ulang. Apakah ini hoax, atau bukan? Dalam status ini menjadi penting untuk sekadar mengingatkan pentingnya kesimpangsiuran informasi yang 'blur' menjadi 'clear'.
Salah satu platform saat ini yang tersedia adalah Google Facts, meskipun, lagi-lagi, kita masih ada ruang perdebatan teknis terkait akurasi kebenaran ini. Pertanyaan kita selanjutnya, apakah dalam menerima informasi sehari-hari kita pernah melakukan pengecekan ulang?
Sembari berefleksi pada pertanyaan saya, izinkan saya mengantarkan anda pada sejumlah fakta yang dipaparkan dalam Harian Kompas, pada edisi Kamis 18 Oktober 2018 yakni 'Ancaman Berita Disinformasi."
Ini adalah berita wartawana Anthony Lee sebagai laporan Konferensi Jurnalisme Investigasi Asia ke-3 di Seoul, Korea Selatan, pada 4-7 Oktober 2018. Dalam konferensi itu dibahas soal delegitimasi media massa dan jurnalisme, serta tatanan internal media massa. Pasalnya, karena media massa mulai bersaing secara ketat, kondisi ini bisa mengancam demokrasi.
Kita tentu sudah mengetahui bahwa media adalah pilar keempar dari demokrasi. Lantas bagaimana dia kini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi? Pasalnya, karena persaingan ketat soal 'kecepatan' menghasilkan informasi membuat jurnalis atau produsen berita mulai terkena dampak terhadap hasil informasi.
Media arus utama dan para jurnalisnya tidak bisa lagi hanya menjadi penjaga gawang dalam pemberitaan. Mereka harus berlari cepat. Sebab, proses kerja jurnalistik konon selalu kalah cepat dengan hoax. Tidak ada konfirmasi apalagi verifikasi.