Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernyataan Si Mantan Teroris Itu Menghentak Saya

10 Mei 2018   23:38 Diperbarui: 11 Mei 2018   03:38 2344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Coba kita contoh cara Belanda menghukum Soekarno, Hatta, Sjahrir, yang saya sebut "radikalis kebangsaan" dengan menjauhkan mereka satu sama lain ke daerah-daerah terpencil. Mereka dilumpuhkan, sengaja diisolasi dari aset-aset politik. Tetapi ingat, Belanda tidak melenyapkan nyawa orang-orang radikal ini bukan? Mungkin teroris dan Soekarno tidak bisa disamakan, tetapi keduanya memiliki unsur yang membahayakan, bukan begitu?

Jelas sudah, tanpa mengurangi rada hormat saya atas perjuangan mereka melawan terorisme, ada yang harus ditingkatkan dari aparat dan pemerintah, yaitu komitmen terhadap deradikalisasi. Ini adalah pekerjaan tersulit karena menyangkut kondisi batin dan pikiran setiap individu. 

Menurut saya pada akhirnya, menetralisir pikiran radikal, alias deradikalisasi ini lebih penting ketimbang hukuman mati. Kita bisa lihat pada siaran Michael Tjandra Luar Biasa di Rajawali TV misalnya, mantan teroris setelah melalui proses deradikalisasi, malah menjadi pejuang NKRI. Dia adalah Ali Imron. Jadi, hukuman mati bukanlah solusi, malah berpotensi menambah konflik horizontal dan memupuk balas dendam dari golongan radikal.

Contoh lain bahwa hukuman mati bukan solusi. Kita bandingkan cara penjajah (Belanda) menghukum Imam Bonjol, Panglima Perang Paderi, yang mana saya baru tahu ketika saya mengunjungi makam Imam Bonjol di Manado, bahwa dia adalah Wahabi. Ada pun perang Paderi, mengacu dari yang saya baca di BBC Indonesia dan Tirto.id, bahwa perang ini bukan semata perang melawan Belanda. 

Sebaliknya, ini adalah perang saudara, dimana kaum reformis melawan kaum adat. Ada pun kaum adat ini berafiliasi pada Belanda, sementara reformis adalah golongan dari afiliasi Wahabi. Imam Bonjol yang menjadi bagian kaum reformis ini memicu konflik dan Belanda lantas mengasingkan dia sampai mati di Manado, Sulawesi Utara. Perlu di catat, di Manado sejak lama menjadi kawasan kristiani karena sangat disayang oleh Belanda.

Tidak ada pembunuhan kepada Imam Bonjol, Belanda sekalipun tidak melakukannya. Pembuangan ke Manado bisa jadi adalah bentuk deradikalisasi terhadap apa yang dianut Imam Bonjol dan dipandang Belanda memicu perpecahan. Akhirnya, Imam Bonjol sendiri menurut si penjaga makam, menjadi pribadi yang berubah saat tinggal di Manado. Dia juga nampaknya tak menolak dibuatkan makam, padahal Wahabi menolak tradisi nyekar makam dan sejenisnya, bukan begitu?

Berpikirlah matang kawan, dalam situasi panas ini. Terlepas dari apapun isu yang beredar tentang kepentingan atas kasus ini, menjaga kewarasan tetaplah nomor satu.

Salam damai. Berbahagialah semesta. 


Sumber:

Jejak Wahabi, dari Sayap Kanan hingga Paderi, BBC Indonesia,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun