Saya duduk di bus yang berhenti cukup lama depan Sarinah. Saya sempat berpikir mungkin nanti sore saya ke Sarinah saja untuk ngopi. Tetapi ada yang aneh pagi ini, ya mungkin belakangan ini. Saya mudah menangis belakangan ini untuk alasan yang tidak jelas. Saya menangis karena saya berpikir ini mungkin hari ini terakhir saya hidup, dan jangan sampai saya mengulangi kebodohan yang kemarin.
Pagi ini saat bus yang saya tumpangi ngetem lama di depan Sarinah sekitar pukul 10.27 WIB, saya memandang Sarinah lekat-lekat. Saya memperhatikan baik-baik tulisannya, "Sarinah" salah satu tokoh perempuan idola Soekarno. Sarinah - The Indonesian Emporium. Demikian tulisan di gedung yang sangat tinggi itu. Saya tersenyum sendiri, batin saya berkata,
'Mal ini kayaknya emang legend banget ya, Sarinah." Tiba-tiba hati saya berkedut, saya mau menangis lagi, saya pikir mungkin saya baper lagi, atau saya mau datang bulan sehingga cepat emosi, atau karena saya sedang mendengarkan lagu rohani. Tetapi saya memandang Gedung Sarinah sangat lama, seperti ada magnet yang tak biasanya membawa saya memperhatikannya lekat-lekat. Seolah kalimat 'The Indonesian Emporium' itu akan bermakna sesuatu. Sarinah.
Setibanya saya di pressroom Kementerian Perhubungan, kawan saya bertanya, "Eh beneran Sarinah di bom?" saya terkesima. Kebetulan saya sedang WA dengan senior saya yang tengah meminta kontek narasumber. Dia menjawab saya, "Maaf ya balasnya lama, gue mau bikin laporan dulu Sarinah di bom."
Saya makin panik dalam hening. Spontan awak media di Kemenhub membuka televisi dan menonton aksi pengeboman tersebut. Saya masih bertanya kepada senior saya yang kebetulan anak TV, "Mas, beneran Sarinah di bom?" dia hanya menjawab, "Iya, ntr ya." Oke, ini benar-benar ada pengeboman karena nada respon senior saya seperti sangat terburu-buru.
Saya memilih menonton TV One dan Metro TV bersama sejumlah awak media di ruangan pressroom. Seketika saya merasa ada kelegaan yang diangkat. Sepertinya beban tangis yang tadi saya tahan saat melintasi Sarinah memiliki arti, tragedi akan terjadi di kawasan yang setiap harinya menjadi arena saya berjalan kaki ataupun nongkrong.
Seketika itu pula orang-orang yang mengasihi saya mencari saya, Tiara, Inas, panik menanyakan posisi saya dimana. Begitu pula dengan Ibu saya yang menelepon sampai meminta saya pulang. Lalu adik saya yang meminta saya jangan kemana-mana, redaktur saya yang memastikan posisi saya dimana, serta mantan wapimred saya yang mencoba mengabsen seluruh awak kapal sekadar memastikan prajurit angkat pena ini masih selamat.
Saya dirundung syukur yang begitu aneh, firasat saya bekerja cukup baik dan itu ternyata mempengaruhi batin saya seharian ini. Saya masih diselamatkan Tuhan, bagaimana jika bus saya masih di arena penembakan? Atau bagaimana jika saya memilih turun di Sarinah dan jalan kaki sampai ke Kemenhub? Maka saya berkesimpulan, bus yang membawa saya melaju hanya beberapa menit saja dari aksi pengeboman.
Tiba-tiba saya pun mengabarkan berita bom ini hanya kepada rekan-rekan sesama jurnalis di UMN ataupun sejumlah grup sahabat-sahabat saya. Sungguhlah saya hanya ingin memberi kabar, tetapi siapa sangka, kawan-kawan saya ini justru menerima lebih banyak kabar entah dari mana, ada yang bilang bom di Palmerah, Kuningan, dan semua lokasi. Saya tidak tahu kebenarannya, saya hanya melihat dari TV yang fokus di Sarinah. Dalam hitungan menit semua grup saya mengirimkan foto-foto kejadian, foto korban, foto kondisi, padahal polisi sendiri belum memberikan pernyataan, apalagi Presiden.
Benar kata kawan saya, seketika semua orang jadi jurnalis tanpa verifikasi. Saya menjadi lebih emosional lagi dengan arus informasi yang tak bisa ditahan ini. Belum lagi ancaman bom di sejumlah Mall. Ternyata saya mulai merasa terteror, saya juga mulai cemas, dan itu sungguh mengkhawatirkan. Hingga akhirnya mantan wapimred saya berkata, dirinya pernah berbincang dengan pengungsi di Israel dan Palestina, arena konflik, mereka tetap menjalani hidup seperti orang normal seolah tak ada ancaman bom setiap hari, jadi untuk orang di Jakarta, mengapa begitu responsif? Beliau bahkan berkata, kalau perlu malam ini kami tetap main di mall untuk membuktikan seorang jurnalis tidak boleh takut melawan teror.
Senior saya pun berkata, teror hanyalah aksi satu orang atau serumpun orang yang bertujuan menakuti publik, semua orang, maka kasihanlah semua orang yang mau ikut ketakutan. Hal itulah yang membuat saya seketika kesal tatkala membuka facebook, ramai sudah timeline dengan orang-orang di social media bersama hestek #PrayForJakarta dan sejenisnya. Padahal mereka berada di lokasi saja tidak. Seolah kejadian ini menyerupai kejadian di Paris, padahal belum. Bom-nya saja setahu saya adalah granat, bukan bom yang terlalu besar. Saya kesal karena hestek itu akan memberi dampak dalam sektor lain khususnya sektor ekonomi. Itulah alasan saya menon aktifkan twitter, ada candu bagi setiap orang untuk mengaudit pikiran revolusionernya dalam 140 karakter.