*Catatan: Artikel saya ini sudah pernah dipublikasikan sebelumnya pada 19 Maret 2015 di zeniusBLOG. Topik motivasi adalah hal yang begitu menjual dewasa ini. Beragam buku, seminar, talk show, dan juga artikel dibuat dengan tujuan untuk memberikan motivasi kepada audience-nya. Tapi tenang saja, artikel yang saya tulis di sini bukan berisi tentang pesan yang membangun motivasi atau tips semacam itu. Saya jamin Anda tidak akan lebih termotivasi setelah membaca tulisan saya ini. Jadi jika Anda datang ke sini untuk mendapatkan motivasi, rasanya tulisan ini bukanlah bacaan yang tepat, karena memang bukan itu tujuan saya. Dalam artikel ini saya ingin membahas topik motivasi dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu berfokus pada motivasi seorang pembelajar. Sesuai dengan kapasitas dan pengalaman saya sebagai seorang pemerhati pendidikan yang cukup aktif beberapa tahun belakangan ini. Mungkin ada sebagian dari Anda yang bertanya-tanya siapakah saya, dan kenapa saya memberanikan diri untuk membahas topik ini. Yang jelas saya bukanlah seorang motivator, saya juga bukan seorang guru memiliki pengalaman mengajar selama puluhan tahun. Tapi bisa dikatakan saya cukup beruntung, karena (tuntutan profesi dan pekerjaan) selama hampir 3 tahun belakangan ini saya berkesempatan untuk berinteraksi dengan kurang lebih 350.000 pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Dengan akses yang relatif luas pada para pelajar ini (rata-rata umur 15-20 tahun), saya mendapatkan cukup banyak insights yang menarik dan semoga saja bisa jadi refleksi bagi kita semua, khususnya yang jika Anda peduli dengan dunia pendidikan Indonesia. Lalu apakah profesi saya? Saya bekerja sebagai online marketer manager pada sebuah lembaga pendidikan bernama Zenius Education, sekaligus merangkap sebagai editor dan penulis di sebuah blog yang (most probably) merupakan blog bertema pendidikan dengan traffic tertinggi di Indonesia sampai dengan hari ini. Itulah keberuntungan yang saya terima dalam beberapa tahun ini. [caption id="attachment_7269" align="aligncenter" width="562" caption="https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/03/1836022541.jpg"][/caption] Sebagai seorang marketer, interaksi yang selama ini saya lakukan pada audience tidak hanya sebatas untuk tujuan kepentingan promosi saja. Tetapi sedikit banyak, saya juga menjadi "telinga" bagi mereka, yang dituntut untuk selalu siap mendengar apa yang sebetulnya menjadi beban mereka, apa yang menjadi kekhawatiran mereka, dan apa yang sebetulnya mereka inginkan sebagai seorang pembelajar. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya hanya ingin berbagi tentang beberapa hal menarik yang selama ini saya dapatkan dari pengalaman saya. Mungkin apa yang akan saya bahas dalam artikel ini, ada sedikit yang didasarkan pada pandangan pribadi yang bersifat subjektif, sehingga tidak mewakili paradigma zenius sebagai institusi secara keseluruhan. Namun saya harap sedikit sharing dan opini dari saya ini, bisa menjadi refleksi kita bersama untuk memahami pendekatan yang lebih tepat tentang bagaimana cara yang paling tepat untuk memotivasi para pembelajar secara umum, dan pelajar di Indonesia secara khusus.
Apa hal menarik yang saya temukan dari interaksi dengan para pelajar dari seluruh Indonesia?
Sebetulnya ada banyak sekali hal menarik yang saya dapatkan dalam kesempatan saya untuk berinteraksi dengan para pelajar ini, dari mulai cara belajar yang keliru, bagaimana persepsi pelajar ini dalam memandang pentingnya pendidikan, dsb. Namun kali ini saya ingin berfokus pada satu permasalahan yang seringkali luput dalam perhatian dunia pendidikan kita, masalah yang mungkin dianggap sepele tapi rupa-rupanya punya dampak yang sangat besar terhadap motivasi belajar dari para siswa di seluruh Indonesia. Hal itu adalah pengaruh peran dari orangtua dalam memberikan dukungan positif terhadap minat belajar anak-anaknya. Peran orangtua dalam dunia pendidikan anak mungkin terdengar sebagai tema yang "klise". Pada umumnya kita semua mengetahui (dan juga mengharapkan) adanya dukungan positif dari orangtua, dari mulai pendampingan belajar sewaktu SD, pengorbanan finansial yang tentu tidak sedikit, sampai bimbingan personal terhadap masalah yang dihadapi pelajar di umur remaja. Namun dari pengalaman saya berinteraksi dengan para siswa, ternyata "peran orangtua" yang para pelajar ini suarakan di dunia maya, justru bertolak belakang dari pandangan umum masyarakat tentang hubungan suportif orangtua terhadap anak-anaknya. Khususnya dalam upaya membangun motivasi belajar dalam dunia akademis maupun pembelajaran secara umum. Untuk bisa lebih memahami konteks yang saya maksud, mari kita bisa sama-sama melihat sepenggal screenshot di bawah ini. Screenshot ini adalah beberapa potongan "curhatan" para pelajar dari seluruh Indonesia yang pernah masuk ke tulisan artikel saya maupun email pribadi. Jika tulisannya tidak terbaca karena terlalu kecil, tinggal klik gambarnya saja untuk memperbesar. [caption id="attachment_7192" align="alignnone" width="885" caption="https://www.zenius.net/blog/wp-content/uploads/2015/03/ortu-png.png"]
Saya pikir hal ini merupakan masalah yang cukup serius dalam dunia pendidikan kita, yang ironisnya masih seringkali luput dari perhatian kita semua. Ketika sosok orangtua yang notabene seharusnya berperan sebagai pendamping yang mengayomi serta memberikan dukungan penuh terhadap perkembangan pendidikan anak-anaknya, malah justru menjadi sosok yang paling sering disebut ketika para pelajar ini curhat tentang permasalahan akademis dan penyebab kurangnya motivasi mereka dalam belajar. Jika Anda yang membaca artikel ini adalah orangtua yang juga sempat bersilang pendapat dengan anak Anda terkait dengan pemilihan jalur studi, mungkin Anda akan berkata seperti ini kepada saya:
"Saya melakukan ini semua karena saya peduli dengan masa depan mereka, toh sebagai orangtua saya tidak mungkin menjerumuskan anak-anak saya sendiri. Saya lebih mengenal anak saya. Saat ini saya tahu bahwa anak saya belum memiliki kapasitas untuk memahami dunia luar. Jadi biarkanlah saya sebagai orangtua, yang memiliki pengalaman hidup yang lebih luas dan pertimbangan yang lebih matang ini untuk bisa mengarahkan anak saya pada keputusan yang lebih tepat. Sebagai orangtua mereka, saya tahu betul hal yang terbaik buat mereka. "
Saya memahami bahwa maksud semua orangtua (untuk terlibat dalam menentukan jalur studi anak-anaknya) pada dasarnya pasti baik. Semua orangtua tidak ingin anak-anaknya salah melangkah, dan tentunya menginginkan segala yang terbaik bagi pendidikan anak-anaknya. Apalagi jika hal tersebut terkait dengan keputusan yg sangat krusial bagi masa depan mereka. Semua orangtua menginginkan anak-anaknya kelak memiliki prospek kerja yang bagus, berkarya secara positif terhadap masyarakat, dan juga memiliki kebebasan finansial. Di satu sisi, sayapun sangat memahami kekhawatiran setiap orangtua, dan saya kira hampir setiap anakpun menginginkan hal tersebut.
Namun dalam tulisan ini, izinkan saya untuk juga bisa mewakili suara para siswa & calon mahasiswa dari seluruh Indonesia yang telah mereka titipkan pada saya selama 3 tahun ini. Sehingga kita bisa bersama-sama melihat masalah ini dalam perspektif yang lebih luas dan menyeluruh.
Saya mungkin belum menjadi orangtua sampai saat ini, but if I may, saya ingin berbagi sedikit penga`aman dengan Anda tentang apa yang kemungkinan besar akan dialami oleh para pelajar di Indonesia secara umum, yang mungkin juga akan dialami oleh anak Anda (atau anak didik Anda) beberapa tahun ke depan.
Saat ini saya berumur 26 tahun, dan telah selesai menempuh masa studi S1 dari tahun 2007-2011. Umur yang mungkin bisa jadi refleksi yang belum terlalu jauh dengan kondisi dan situasi para pelajar maupun mahasiswa saat ini. Sekaligus juga umur yang tepat untuk melihat bagaimana pencapaian teman-teman angkatan saya, setelah lulus kuliah dan berkarya dalam masyarakat selama kurang lebih 4-5 tahun.
Jika saya boleh sedikit melakukan "generalisir", saya bisa mengatakan bahwa dunia perkuliahan mahasiswa di Indonesia itu sangatlah berat untuk dilewati, terutama jika mahasiswa yang bersangkutan tidak benar-benar menjalaninya dengan segenap "jiwa-raga" dan juga rasa kecintaan terhadap disiplin ilmu yang sedang ditekuninya.
Apa yang akan para pembelajar ini hadapi di dunia perkuliahan, sangatlah berbeda dengan masa SMA. Ada begitu banyak materi kuliah, tugas, ujian praktek, ujian tengah semester, ujian akhir semester, laporan praktikum, kerja lapangan, seminar, skripsi, sidang akhir, yang tentu sangat menuntut dedikasi, kemandirian, serta kegigihan yang tinggi untuk bisa dijalani secara konsisten selama 4 tahun.
Tidak jarang, saya dan teman-teman mahasiswa (terlepas dari jurusan manapun) bisa sampai tidak tidur berhari-hari hanya untuk menyelesaikan deadline tugas, kejar-kejaran dengan dosen pembimbing untuk evaluasi karya tulis ilmiah, sampai pergi merantau ke luar kota hanya untuk mendapatkan data observasi. Mungkin Anda yang telah menjalani masa studi S1 juga mengalami hal yang kurang lebih sama dengan yang saya sebutkan di atas. Namun pernahkah para orangtua membayangkan betapa menderitanya para pembelajar ini jika harus menjalani semua itu dengan penuh keterpaksaan dan beban hanya karena mereka harus mempelajari ilmu yang bukan ingin mereka tekuni?