Mohon tunggu...
Ahsan Andi Husain
Ahsan Andi Husain Mohon Tunggu... -

Saya adalah penulis. Telah menulis lebih dari 150 judul FTV tayang di RCTI, SCTV dan TPI, Konseptor sinetrons serial Candy (RCTI), Mantan wartawan (7tahun), Sekarang sedang menulis Novel pertama. Mantan penulis scrip Infotainment, Manajer Manohara Odelia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

JULI, BULAN AIR MATA (BAGIAN 1)

28 Agustus 2010   18:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Catatan : Ahsan Andi Husain

Angka 7 dalam setahun, berarti bulan Juli. Angka yang selalu membayangi hidupku. Tuhan mengirimkan tanda tanda baik di angka 7, dan di angka 7 juga Tuhan memberiku kesedihan yang teramat dalam. Andai saja bulan 7 bisa ditiadakan dalam kalendar, mungkin tidak setiap tahun aku teringat pada kesedihan kesedihan itu.

Aku merangkai tulisan ini Pukul 00.01 WIB Tgl 29 Juli (2010), hari ulang tahun adikku tercinta, Arfan Andi Husain. Seharusnya dia merayakan hari jadinya hari ini, tapi tidak sejak 6 tahun lalu. Seminggu sebelum ulang tahunnya, dia mengalami kecelakaan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Dia sedang berhenti di lampu merah di atas sepeda motor, namun sebuah sepeda motor dari arah lain, melaju kencang dan menabraknya. Dia tak tertolong ketika sampai di rumah sakit. Dia meninggal di usia 25 Tahun.

Waktu itu, aku yang masih bekerja sebagai wartawan, sedang liputan jumpa pers pernikahan Puput Melati. Kebetulan aku yang membuat jumpa persnya, hanya dengan imbalan mendapatkan wawancara khusus. Saat wawancara itulah, handphoneku berdering. Bagai disambar petir, saat suara keponakanku dibalik telepon genggamku mengabarkan bahwa adikku meninggal dunia di Kendari.

Antara percaya dan tidak, antara berharap bermimpi dan tidak. Aku berusaha bersikap normal. Aku melanjutkan wawancaraku yang belum selesai. Tak ada seorang pun yang tahu saat itu, bagaimana bergejolaknya hatiku. Seperti dijepit di antara dua buah dinding yang sempit. Nafasku sesak. Berkali kali aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku.

Sepulang liputan, benakku masih dipenuhi sejuta tanda tanya. Aku tidak mungkin berangkat ke Kendari hari itu, karena sudah tidak ada penerbangan lagi kesana. Pikiranku sudah melayang kesana. Malam harinya, aku masih menyelesaikan ketikanku dengan air mata yang tidak sanggup aku bendung. Aku deadline, aku berusaha konsen untuk menyelesaikan tulisanku di depan komputer.

Aku berusaha menuliskan hasil wawancara siang tadi, meski pikiranku sebetulnya sudah tidak berada disana. Saat aku berjuang menenangkan diri dengan pekerjaanku itu, handphoneku kembali berdering. Suara ibuku dengan isak tangis yang tak putus putusnya, yang belum pernah aku dengar sebelumnya, membuat air mataku seperti anak sungai.
"Adikmu sudah tidak ada lagi, dia sudah pergi, Pampang sudah tidak ada, kasihan adikmu," suara itu terdengar jelas meski sedikit histeris. Aku tidak bisa berkata apa apa lagi. Aku kehilangan kata kata, tidak ada yang bisa aku ucapkan selain isak tangis dan bibir bergetar. Belum pernah aku merasakan kesedihan teramat sangat, seperti malam itu.

Esok paginya dengan bekal uang seadanya, aku berangkat ke bandara. Tidak ada pesawat ke Kendari. Semua penerbangan penuh. Bahkan ke Makassar pun penuh, karena bertepatan dengan liburan panjang bulan Juli, bulan 7. Adikku masih terbujur kaku pagi itu di Kendari. Masih menunggu kedatanganku. Masih menunggu, aku melihat jasadnya untuk terakhir kalinya. Andai aku matahari, aku pasti tidak pernah datang terlambat. (BERSAMBUNG...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun