Mohon tunggu...
imaaa
imaaa Mohon Tunggu... Freelancer - apapun yang ngga menyilaukan mata

Harusnya masuk sastra atau filsafat, tapi hukum ternyata asik juga :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hedonisme, Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan?

25 Agustus 2017   11:49 Diperbarui: 25 Agustus 2017   11:57 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini perkembangan zaman semakin tak bisa dibendung layaknya lokomotif yang terus berjalan. Semua yang dijual di pasaran dibungkus sedemikian rupa dengan indah dan mewah, serta serba gampang tanpa ribet. Lihat saja mencari makan sudah tak perlu repot masak untuk melepaskan nafsu lapar. Karena ada jasa driver mulai dari Go-Food dan jasa driver bawaan dari warung makannya. 

Entah itu kafe, restoran, lesehan bambu dan bahkan pedagang kaki lima. Tak jauh kalah lagi adalah jasa penumpang online yang sudah dimanjakan dengan pelayanannya. Pelapak atau pejalan kaki menjadi pemandangan yang primitif di tengah zaman seperti ini. Tidak ada ruang yang inklusif untuk pejalan kaki di beberapa kota. Atau berlomba-lomba dengan style yang kekinian ataupun gadget yang sudah smart. Contohnya kota yang saya tempati untuk menempuh pendidikan yakni Malang.

Dari masalah di atas munculah nama yang bisa merangkum semuanya yaitu Hedonisme. Hedonisme dalam KBBI diartikan pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Secara jelas dari penjelasan tersebut mencari kesenangan dan kenikmatan materi semata untuk tujuan hidupnya. Pelaku hedon banyak dari kalangan ekonomi menengah ke atas.

Namun sekarang pelaku hedon tidak jelas apakah dari kalangan ekonomi ke atas atau ke bawah. Karena ada pelaku hedon dari kalangan ekonomi ke bawah katakanlah kurang mampu tetapi mereka terkadang menghalalkan segala cara untuk menyesuaikan dengan temannya entah itu dengan cara hutang, kerja, mencuri, menipu, atau lainnya. Guna untuk kesenangan dan menikmati semata.

 Bahkan kalangan pelajar yang seharusnya menimba ilmu sesuai sebutannya namun sekarang sudah banyak yang terkikis idealisnya. Contoh saja mahasiswa, kaum yang selalu menjadi pelopor utama dalam tumbangnya orde baru serta garda terdepan dalam memaknai idealisme. Tapi realita yang terjadi di Malang saja itu sangat disayangkan meski ada sebagian yang masih mengagungkan makna idealis. Jalan kaki ketika kuliah itu sekarang menjadi fenomena yang langka. Membaca buku di lorong-lorong kampus atau kantin sekarang sudah di gantikan dengan smartphone. Perpustakaan bukan tujuan utama lagi untuk mencari tempat referensi. Itu salah satu realita yang sudah menjadi adat khususnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun