Mohon tunggu...
Gilang Embang
Gilang Embang Mohon Tunggu... -

di atas buku boleh saja ada setan tapi di atas alam pasti ada tuhan\r\nimbangi baca buku dengan belajar langsung di alam!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Negeri Tirai Bambu: Paradigma Versus Kenyataan

3 Desember 2012   08:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:15 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tembok besar Cina adalah maskot negara ini sekaligus dunia. Tembok ini dibangun dengan tujuan  untuk menghalau pengaruh dan serangan dari luar. Tembok ini mulai dibangun ribuan tahun yang lalu dari dinasti satu diteruskan oleh dinasti berikutnya.  Saya berpikir tembok ini dibangun hingga saat ini dengan bentuk yang sangat berbeda yaitu “tembok informasi”. Banyak situs web besar yang sangat berpengaruh di dunia tidak bisa di akses di negara ini seperti youtube, facebook, twitter dan masih banyak yang lainnya. Bahkan mesin pencari google dibatasi ketika komputer sudah mencapai jumlah maksimum halaman yang dibuka.

Nampaknya Internet sangat diawasi dengan ketat di negara ini. Saya sebagai warga negara asing disini tidak bisa masuk ke warung internet karena harus memiliki KTP setempat sebagai sarat masuknya. Mungkin prosedur ini dimaksudkan untuk memudahkan pelacakan jika ada seseorang yang mengunggah sesuatu yang bertentangan dengan pemerintahnya. Pernah saya sedikit berargumen untuk diperbolehkan menggunakan salah satu komputernya walhasil penjaga warnet  menelepon polisi setempat. Beberapa saat kemudian dua orang polisi datang dan menanyai paspor dan tujuan saya berada disini. Koneksi yang selama ini saya gunakan disini yaitu dari seseorang yang berbaik hati meminjamkan komputer  yang terhubung dengan internet atau jaringan nirkabel yang tidak dikunci disudut-sudut kota. Selain itu jika saya menginap di penginapan yang memiliki jaringan nirkabel saya dapat terhubung dengan internet untuk sekedar melihat peta di google map untuk merencanakan perjalanan berikutnya atau untuk mengontak keluarga dengan Skype. Namun, kebanyakan penginapan tidak dapat menerima warga negara asing karena diwajibkan menunjukan KTP setempat lalu dideteksi keasliannya oleh mesin pendeteksi kartu. Jarangnya wisatawan asing seperti menegaskan kembali bahwa negeri ini memang negeri tirai bambu. Selama dua bulan perjalanan saya di negeri ini saya hanya melihat dua kali wisatawan asing. Tapi Mungkin ini karena keberadaan wisatawan hanya berpusat di daerah-daerah wisata yang sangat terkenal seperti sekitar tembok besar atau di Tibet yang belum saya kunjungi. Sedangkan, di daerah pedesaan bisa dikatakan tidak ada turis asing. Karena mungkin tidak ada penginapan yang bisa menjadi tempat bermalam bagi turis asing. Satu anak Malam itu aku ijin kepada Imam dan penjaga mesjid untuk menginap di mesjid namun seseorang diantara mereka mengajakku menginap di rumahnya. Kue-kue disuguhkan kepadaku ketika tiba dirumahnya. Namun, istrinya nampak marah-marah. “Mungkin istrinya tak ingin ada tamu di rumahnya”, pikirku. Baru kusadari hari berikutnya setelah ia kembali mengundangku lagi kerumahnya setelah shalat Isya. Setelah kuperhatikan dengan seksama ada tawa disela ketika mereka marah. Ternyata mereka bukan marah-marah. Nada bicara mereka memang seperti itu kadang menjadi cepat dan meledak-ledak. Saya sebagai orang sunda yang sehari-hari melihat tutur bahasa sunda yang halus merasa terkecoh. Malam itu aku ditempatkan di ranjang kecil empuk dengan selimut tebal setelah ia mencolokan adaptor ke motornya.  Dikota kebanyakan orang memakai motor listrik yang hampir tidak bersuara daripada motor biasa. Selain harganya yang sangat murah sekitar 5 jutaan juga karena harga listrik disini juga sangat murah.   Di tempat-tempat umum kulihat banyak colokan-colokan listrik yang gratis digunakan oleh siapa saja. Sambil berbaring di ranjang menunggu hilangnya kesadaran, aku berpikir “Kenapa mereka bisa  punya dua anak? Bukankah di negeri ini orang tidak boleh punya lebih dari satu anak?”. Apa daya pertanyaan ini hanya menjadi sebuah pengantar tidur karena perbedaan bahasa. Namun, beberapa hari kemudian aku mendapatkan sedikit titik terang ketika aku ditampung oleh keluarga bapak Dawud yang rumahnya sangat dekat dengan mesjid di kota qiubei. Kami berkomunikasi dengan menggunakan penerjemah google dari sebuah komputer yang terhubung internet. Komunikasi sangat lancar, tak perlu mengetik di komputer hanya perlu berbicara dengan bahasa masing-masing dan menunggu beberapa saat untuk mendengarkan terjemahannya. Mereka adalah etnis Salazu dari provinsi Qinghai. Karena melihat ada 4 orang anaknya, aku bertanya “Bukannya di Cina satu keluarga tidak boleh memiliki lebih dari satu anak?”. Ia menjawab, ”kami adalah etnis minoritas yang diperbolehkan memiliki lebih dari satu anak”. Selain mereka juga di pedesaan-pedesaan di provinsi Yunnan aku melihat banyak keluarga yang memiliki lebih dari satu anak. mereka adalah etnis Huizu yang identik dengan Cina Islam. Mereka diperbolehkan memiliki sampai 3 anak. Etnis Huizu juga merupakan etnis minoritas diantara etnis Han di Cina bagian selatan. Konon nenek moyang mereka berasal dari timur tengah yang kawin-mawin dengan etnis Han pada saat Cina berada di bawah kekuasaan Kubilai Khan. Kebijakan pemerintah tentang satu anak ini nampaknya diserahkan kepada masing-masing provinsi. Mungkin karena masing-masing provinsi ini memiliki kepadatan penduduk yang berbeda-beda. Kepadatan penduduk sangat tinggi di bagian timur dimana ibukota negara berada sedangkan dibagian barat kepadatan penduduk sangat rendah. Keacuhan masyarakat Dalam perjalanan yang sudah berumur empat bulan ini, saya merasakan kehangatan dan kekeluargaan ketika singgah di mesjid terutama ketika bulan puasa karena makan sahur dan buka puasa gratis. Olehkarena itu, saya menyesuaikan jalur perjalanan saya ini ke kota-kota yang ada mesjidnya. Hari itu saya berpamitan dengan bapak Dawud dan keluarga untuk pergi sesuai arah yang ia tunjukan kepada saya, yaitu kota Qujing dimana disana terdapat empat mesjid. Di tengah perjalanan saya melewati kerumunan masyarakat. Disitu ada sebuah mobil sedan yang penyok dan motor yang tergeletak. Di dekatnya ada seorang wanita yang menangis kesakitan dan dua orang lelaki yang saling beradu mulut. Mereka semua di kerubungi oleh orang-orang yang coba membantu wanita tersebut dan yang coba memisahkan dua lelaki yang hampir beradu jotos itu. Pemandangan ini sama sekali tidak berbeda dengan di Indonesia ketika ada kejadian serupa. Melihat kejadian ini justru membuat hati saya tenang. Bukan karena melihat orang yang sedang kesusahan tapi karena pemandangan ini membuktikan bahwa tayangan di youtube tentang masyarakat yang sangat acuh di Cina tidak benar atau tidak sepenuhnya benar seperti yang saya pikirkan. Cina adalah negara yang paling saya takuti untuk memasukinya. Karena saya pernah melihat tayangan di youtube tentang anak yang tertabrak mobil berkali-kali dan orang–orang di sekitarnya mengacuhkannya. Apalagi yang paling ditakuti oleh seorang pengembara seperti saya ini selain masyarakat seperti yang digambarkan oleh tayangan tersebut. Namun rasa penasaran saya mengalahkan semuanya. Saat ini, berminggu-minggu kemudian setelah saya beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Setelah saya bisa mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasanya yang menjelaskan tentang siapa saya dan apa yang saya lakukan disini. Saya menyadari bahwa tayangan tersebut tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Tak jarang saya mendapatkan kebaikan dari orang-orang sekitar bukan hanya di lingkungan mesjid. Tayangan itu mungkin benar namun tidak bisa mencerminkan masyarakat Cina pada umumnya seperti pepatah mengatakan “Dengan tinta setitik rusak susu sebelanga” . Aparat Di kota Qujing yang luas sungguh sangat sulit menemukan mesjid diantara bangunan-bangunan tinggi dan padat. Bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bertanya di warung-warung makan muslim kurang membantu karena saya masih belum bisa mengucapkan mesjid dalam  bahasa mereka yaitu qing zhen si yang sering dibaca berulang-ulang dengan berbagai intonasi namun jawabannya  adalah ting bu tong artinya tidak mengerti. Kadang ada juga yang mengerti apa yang saya ucapkan namun ia hanya bisa menunjukan arah belok kanan atau kiri. Setelah berjerih payah bolak-balik dan muter-muter kota akhirnya saya menemukannya sebelum jam buka puasa. Mesjd ini terletak di tengah keramaian pasar tradisional yang padat dengan bangunan dan manusia. Meskipun tidak puasa, saya ikut berbuka puasa bersama saat itu dan berencana menginap beberapa hari untuk istirahat. Esoknya saya tersesat ketika berjalan-jalan menjelajahi kota ini. Hampir saja saya melewatkan waktu berbuka karena kesulitan mencari tempat ini lagi. Namun ada hikmahnya yaitu ketika tengah tersesat di tengah kota saya melihat beberapa orang polisi yang merazia seorang pedagang kaki lima. Dari balik halte bis kota, berbaur dengan orang yang menunggu bis saya berpura-pura tidak memperhatikan peristiwa itu seperti orang lain. Saya melihat polisi-polisi itu dengan sabar menunggu seorang bapak tua yang membereskan dagangannya dengan lambat. Perlahan-lahan bapak itu memasukan barang-barang ke dalam kopornya sambil mengobrol dengan salah seorang polisi. Sayapun menunggu hingga ia merapihkan semua lalu bapak tua itu pergi begitupun para polisi. Tidak terjadi obrak-abrik atau penyitaan barang satupun seperti yang sering saya lihat di tayangan berita di Indonesia. Tidak ada pula penangkapan. Masing-masing pergi dengan tenang dan damai. Pandangan saya tentang aparat dan pemerintah Cina yang selama ini terbangun oleh buku dan media lain seakan runtuh dihantam gempa. Disisi lain ketika saya hampir tiba di kota Zhaotong, Yunnan ketika hendak melewati razia polisi lalu lintas saya diberhentikan dan ditanyai paspor setelah tahu bahwa saya bukan orang Cina. Tanpa meminta ijin mereka langsung menggeledah barang-barang bawaan saya. Salah satu diantara mereka yang nampaknya adalah pimpinan bertanya kepada saya, kira-kira artinya adalah darimana asal saya?. Sayapun menyebutkan Indonesia namun nampaknya ia tidak mengerti apa yang saya ucapkan ataupun tulisan Indonesia di paspor saya. Ia sempat mengucapkan kata Afrika ditengah percakapan yang tidak saling mengerti ini. Hingga akhirnya ia menelepon rekannya yang bisa berbahasa Inggris. Di telepon itu saya kembali ditanya saya berasal dari mana. Namun kali ini lawan bicara saya mengerti setelah saya bilang dari Indonesia. lalu ia berkata lagi “Maaf, kami kira anda berasal dari afrika. Kalau begitu anda boleh pergi. Selamat datang di Cina”. Saya berucap dalam hati, “sehitam itukah kulitku”. Setelah menggeledah secara detail hingga mencium setiap obat-obatan yang saya bawa akhirnya saya diijinkan pergi oleh pimpinan polisi itu. “Huhh, jika saja saya membawa sebutir saja obat-obatan terlarang maka saya tidak akan keliling dunia tapi keliling penjara dan berakhir di tiang gantungan di negeri orang”. Di kota Zhaotong yang tingginya 2100 meter diatas permukaan laut, hampir setinggi gunung Salak, Bogor. Udara dingin menusuk kulit meskipun saat ini adalah musim panas. Ketika melihat foto-foto kota ini yang diselimuti salju tebal di musim dingin rasa haru seperti menyelimuti dada ini. Setelah 4500 km mengayuh sepeda ke utara dari daerah tropis akhirnya saya tiba di daerah bersalju namun sedikit kurang berkesan karena saya belum melihat wujudnya secara langsung. Meskipun udara dingin namun tetap saja saya masih bisa melihat wanita-wanita yang menunjukan paha-paha putihnya karena mengikuti mode masa kini. Namun disisi lain wanita-wanita yang kurang sejahtera bekerja sebagai tukang becak, ojek atau bekerja di sektor bangunan. Beberapa kali saya melihat mereka mengaduk semen atau menghantamkan palu besar untuk membongkar beton-beton jalan. Dikalangan menengah kebawah nyaris tak saya lihat pengkotakan lapangan pekerjaan antara perempuan dan lelaki. Di kota ini saya menginap di kamar asrama yang tergabung dengan sebuah mesjid. Tidur nyaman dengan selimut tebal namun harus bangun sebelum matahari menampakkan wujudnya untuk sembahyang. Berjuang melawan rasa kantuk dan hawa dingin. Saya harus bangun jika tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak bersyukur oleh Tuhan saya atau oleh santri-santri bermata sipit ini. Karena tempat ini adalah tempat yang nyaman dalam perjalanan ini. Lebih nyaman daripada hotel karena selalu menyediakan orang-orang  yang senantiasa berbagi dan menawarkan persaudaraan dan persahabatan. Seperti penawar rasa rindu terhadap keluarga dan teman-teman.

(www.migrasi.org)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun