Mohon tunggu...
Gilang Embang
Gilang Embang Mohon Tunggu... -

di atas buku boleh saja ada setan tapi di atas alam pasti ada tuhan\r\nimbangi baca buku dengan belajar langsung di alam!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Seorang Bisu, Tuli, dan Buta Huruf tentang Bagaimana Kebaikan Dibalas dengan Ratusan Kali Kebaikan

15 November 2012   11:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:18 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kilometer sebelum melewati perbatasan Vietnam-China, saya mampir dulu di warung internet meskipun waktu itu sudah siang bolong. Naluri mendorong saya untuk mengunduh peta china untuk gps yang saya pakai sebelum memasuki negara tersebut. Ketika melihat peta china baru saya menyadari bahwa negara ini sangat luas berbeda dengan negara-negara sebelumnya. China lebih menyerupai sebuah benua dari pada negara. Di google map saya menghitung jarak yang akan saya tempuh hingga ke Beijing, ibukota negara. Terkejut melihat layar yang menunjukan angka 3200 km atau sama dengan perjalanan saya melewati 4 negara selama 3 bulan lebih. Padahal batas waktu tinggal saya di China yaitu 3 bulan.

Di imigrasi Vietnam saya berhasil lolos dari 2 orang calo yang memaksa saya membayar 100 yuan atau setara dengan Rp 150.000 karena melihat saya sebagai orang asing. Nampaknya calo-calo tersebut bekerja sama dengan petugas imigrasi, karena saya lihat setiap orang membayar kepada mereka sebelum melewati pintu batas tanpa digubris oleh petugas imigrasi sekitarnya. Untungnya waktu itu, uang dikantong saya sudah habis sehingga punya alasan mau mengambil di ATM China. Setelah selangkah melewati pintu pendeteksi logam merekapun tak bisa mengejar saya, mereka hanya bisa berteriak memanggil. Akhirnya dengan tertawa bangga bisa lolos dari mereka tanpa berbohong karena memang betul saya mau mengambil uang di ATM tapi tidak bilang kalau uang tersebut mau diberikan kepada mereka.

Memasuki border check China nampak semuanya sangat berbeda, orang-orang mengantri dengan sangat rapih dan tidak ada satupun calo yang berkeliaran. Saya diperiksa dengan seksama oleh petugas imigrasi berbeda dengan yang lainnya, hingga timbul perasaan takut tak diijinkan memasuki negara ini. Antrian dibelakang sudah sangat panjang. Namun, tak lama kemudian "dak" terdengar suara stempel pada passport saya yang artinya saya diijinkan. Sayapun tak lupa mengucapkan "xie xie" satu dari beberapa kata yang  saya hafalkan sesaat sebelum melewati perbatasan.

Siang itu saya melewati kota Hekou, kota pertama saya di China. Kota yang padat namun tertata rapih. Nampak banyak gedung yang tengah dibangun. Nampaknya kota ini lebih besar daripada Kota Lao Cai, kota di sisi lain perbatasan. Saya melihat bagaimana efektifitas pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kemajuan negaranya.

Semua tulisan di kota ini ditulis dalam huruf China tak ada satupun yang ditulis dengan huruf alfabet, sangat berbeda dengan kota sebelumnya yang sering ada terjemahannya dalam bahasa Inggris. Orang-orang tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing seakan-akan merenggut mimik ceria dan bersahabat dari paras wajahnya. Saya tahu bahwa saya harus meninggalkan kota ini sejauh mungkin untuk mencari tempat bermalam yang aman dan nyaman karena sepertinya tak mungkin mencari penginapan di kota yang semua huruf-hurufnya tak saya mengerti begitupun bahasa dan karakter manusianya. Saya menyadari bahwa uang bukan hal yang utama dalam perjalanan ini.

Namun semakin menjauhi kota jalan semakin menanjak. Tingginya gedung-gedung digantikan dengan tingginya bukit-bukit di kanan kiri jalan sehingga tanah longsor tak terhindarkan. Hamparan kebun pisang sangat luas membentang hingga ke lahan-lahan curam. Rumah-rumahpun menjadi jauh lebih sederhana.

Kaki ini terus mengayuh hingga jam 6 sore, waktunya mencari tempat aman dan nyaman untuk memulihkan lelah, demi menyambut hari esok yang penuh kejutan.

Saya belokan sepeda ini menuju lorong ketika saya lihat ada ruang yang bersih di depan rumah. Dengan bahasa tubuh saya meminta ijin kepada tuan rumah untuk mendirikan tenda di lahan tersebut. Namun sang tuan rumah bilang tidak dengan lambaian tangannya, ia menyuruh saya cari tempat lain.

Tanpa ambil hati saya terus melanjutkan perjalanan hingga menemukan lagi ruang. Ketika sepeda saya tengah melaju menuju halaman rumah. Ketika ban sepeda saya hampir menginjak halamannya, nampak seorang ibu marah-marah dengan bahasanya dan menyuruh saya pergi dengan telunjuknya yang diarahkan ke jalan.

Saya berucap dalam hati "Ya tuhan kenapa orang-orang disini jauh berbeda dengan negara-negara sebelumnya"?. Namun, saya berpikir lagi mungkin itu dua kejadian yang kebetulan, orang-orang yang saya temui seperti itu.

Lalu saya mencoba untuk yang ketiga kalinya. Agak jauh dari rumah, ditengah pekarangan terlihat ada kolam. Saya berniat mendirikan tenda di tempat tersebut. Hal yang sama pun terulang, setelah lama mencoba berkomunikasi dengan menggunakan kamus dari smartphone dan bahasa tubuh orang itu melambaikan tangan sambil pergi meninggalkan saya ditengah percakapan.

Perasaan khawatir tidak menemukan tempat berhembus lalu menghantui ditengah beralihnya siang menuju malam. Seperti perasaan panik ketika tersesat di tengah hutan. Mengayuh dengan cepat dan melihat kanan-kiri adalah salah satu usaha yang dapat saya lakukan disamping terus mengingat tuhan.

Lalu saya lihat ada bangunan umum yang sedikit bersih. Sepertinya bangunan yang digunakan untuk mengumpulkan hasil panen pisang atau untuk mengistirahatkan kuda-kuda yang menjadi alat angkut disini. nampaknya tak ada alasan bagi siapapun untuk melarang saya diam disini. Tanpa ijin siapa-siapa saya mendirikan tenda disitu walaupun diseberang jalan ada beberapa rumah yang dihuni.

Dipagi hari saya terbangun oleh hujan yang amat deras yang sedikit membanjiri tenda dengan lumpur bercampur kotoran hewan. Tak lama setelah hujan berhenti saya lihat dua ekor kuda berlari cepat tanpa ada yang menunggangi. Disusul beberapa saat sesudahnya seorang gadis berlari panik mencari dua ekor kudanya yang lepas itu. Meskipun negara ini nampak lebih maju daripada negara-negara sebelumnya namun kuda, sapi, dan kerbau masih menjadi alat angkut yang biasa dipakai disamping truk besar dan motor beroda tiga.

Setelah saya memulai kembali perjalanan baru saya sadari tak ada lagi teriakan halo dan sorak-sorai anak-anak kecil kepada saya lagi. Seakan sesuatu yang sangat besar telah merenggut canda tawa dan kecerian bocah-bocah kecil. Tak ada lagi permainan tradisional di halaman rumah. Tak ada lagi bocah yang bermain di tengah sawah atau bukit-bukit. Mungkin ini karena sedikitnya jumlah anak kecil dibandingkan dengan orang tua sebagaimana yang saya ketahui dari internet tentang China.

Kebanyakan orang tak menghiraukan saya lagi sebagai pesepeda bahkan seperti berpura-pura tak melihat. Senyuman menjadi sangat mahal ketika senyuman saya dan ucapan halo saya tak digubris malah seperti berbalik menatap keheranan bercampur sinis. Mungkin mereka tidak tahu jerih payah saya untuk tersenyum ditengah nafas tersengal, cuaca panas membakar otak, dan tanjakan yang memukul otot.

Namun, ada juga orang yang mengucapkan halo atau membalas senyuman serta ucapan "nihau" saya. Sedikit menenangkan hati dan membuat saya percaya seperti ketika tuhan menciptakan mata air ditengah gurun maka pasti juga ada orang-orang ramah ditengah masyarakat seperti ini.

Disamping jalan saya lihat bambu-bambu yang tidak lagi tumbuh berumpun. seperti layaknya pohon bambu-bambu ini tumbuh terpisah, seperti menerangkan manusianya yang kurang menghiraukan sesame. Kondisi ini seakan mengembalikan mental yang sudah terbentuk selama tiga bulan ke awal perjalanan lagi, ketika gugup dan cemas menginjak tanah rantau untuk yang pertama kalinya.

Seperti menjadi makhluk gaib yang tak terlihat ditengah ramainya kota. Sebagian orang tak menggubris tindak-tanduk saya dan sebagian lagi tak mau berusaha lebih keras lagi untuk mengerti apa yang saya maksud lewat gerakan-gerakan tangan. Seperti menjadi orang bisu tuli dan buta huruf.

Sudah terlambat menyesali kenapa tidak belajar bahasa mereka sebelum perjalanan ini.

Kini perjalanan menjadi semakin berat ditengah kondisi masyarakat seperti ini. Perjalanan berubah menjadi bagaimana bertahan hari demi hari.

Esoknya saya menginap di saung kecil dari kayu satu-satunya saung dari kayu yang saya lihat selama di China ini. Lalu esoknya saya menginap di sebuah bukit di samping kanan jalan. Sebuah mimpi tentang makhluk halus membangunkan saya di tengah malam. Pagi-paginya baru saya sadari bahwa bukit ini adalah kuburan tua.

Kejadian ban bocor seakan menjadi jembatan yang mendekatkan saya dengan sekumpulan petani yang baru pulang dari ladang. Hingga saya berani mengeluarkan kamera untuk memoto permainan mahyong mereka dan memotret seorang demi seorang secara close-up. Kejadian ini membuat saya mengerti tentang selama ini yang saya alami. Mereka hanya lebih sulit menerima orang asing.

Setelah melanjutkan perjalanan saya melihat orang yang jalan kaki. Saya melewatinya dua kali, hingga saya yakin ia telah berjalan setidaknya tujuh km. Saya melihat ia kini tengah duduk termenung di pinggir jalan. Setelah bersalaman dan bertanya siapa namamu dan mau kemana. Ia bernama Wa an mau ke Wenshan. Saya terkejut karena Wenshan berjarak lebih dari 100 km. Saya berpikir bahwa ia sengaja melakukan jalan kaki jarak jauh. Waktu itu saya ingin bertanya “Dimana ia akan tidur siapa tahu saya punya teman ngobrol saat sendirian di tenda?” pikir saya. Namun, sangat sulit mengungkapkan pertanyaan tersebut lewat bahasa tubuh ”Ya sudahlah” pikir saya, sayapun berpamitan.

Setelah beberapa meter bergerak, ia memanggil saya dan mengelus-elus perutnya. Nampaknya ia kelaparan. Melihatnya seperti melihat diri saya sendiri yang sering bertindak ceroboh, kehabisan uang atau kehilangan uang, sehingga harus jalan kaki. Lalu kami mencari tempat berteduh untuk mengobrol lebih serius. Saya bertanya “Kamu ada uang berapa”?, lalu ia menunjukan uangnya yang hanya setengah yuan. “Astaga”, ungkapsaya dalam hati. Uang segitu menuju kota yang jauhnya 100 km. Bahkan dengan sepedapun setidaknya 2 hari, di jalan yang naik turun ini. Tergerak hati saya untuk memberinya 20 yuan dari 120 yuan uang terakhir saya.

Seperti tak percaya ia terkejut dan setelah itu ia malah mengeluarkan air mata dari matanya yang sipit. Sayapun tak berdaya menahan tetesan demi tetesan yang membasahi pipi. Saya merasakan senasib sepenanggungan dengannya. Saya merasakan saya tak sendiri di negeri yang asing ini.

Setelah itu ia bergegas mengeluarkan sesuatu dari tasnya, ia mengeluarkan alat pencukur bulu dan langsung mencukur kumis dan janggut saya yang tipis. Setelah itu ia memberikannya kepada saya, percuma saya bilang tidak karena ia memaksa. Padahal saya tidak mengharapkan balasan darinya. Hanya berharap telponnya berfungsi ketika saya sampai di Wenshan.

Setelah itu ia berpamitan dan pergi menghilang perlahan setelah melalui belokan demi belokan.

Beberapa saat kemudian saya bertemu dengan orang China yang bersepeda. Ia berhenti dan mengajak berbicara bahasa China. Namun, saya jawab dengan bahasa Inggris anehnya ia menjawab lagi dengan bahasa inggris. Seketika itu, saya mengerti bahwa tuhan memberi balasan atas 20 yuan yang saya berikan.

Ditengah sangat jarangnya orang yang bisa berbahasa Inggris, saya bertemu dengan salah seorang diantara mereka di perbukitan ini. Jika saya tidak bertemu dan mengobrol beberapa saat dengan Wa maka saya tidak akan bertemu dengan pria ini.

Setelah mengobrol beberapa saat, ia bersedia menunjukan saya penginapan di kota kecil yang berjarak 5 km. Ia menegosiasikan penginapan hingga 30 yuan atau 45 ribu rupiah. Setelah itu, ia menunjukan saya makanan yang layak konsumsi dan tidak di toko-toko kecil. Ia juga mengantar saya membeli rantai baru yang sangat besar untuk mengunci sepeda. “Ini wajib kamu pakai dimanapun kapanpun” ungkapnya.

Ia memberitahu saya dengan tegas bahwa saya harus membawa sendiri makanan saya kemanapun saya pergi karena mungkin ada seseorang yang menaruh sesuatu di makanan saya itu. Ketika saya memperhatikannya dengan seksama ia bicara, “Ini bukan negaramu bukan?”, sambil tertawa ringan.

Esoknya perjalanan kembali menjadi berat ketika hujan deras mengguyur di tengah perbukitan yang tingginya mencapai 1400 mdpl. Tidak ada tempat untuk berteduh menyebabkan badan menggigil karena pakaian basah kuyup. Akhirnya tenda terpaksa didirikan padahal baru 30 km berjalan. Malam ditemani oleh rintik hujan yang tiba-tiba menjadi besar. Lolongan anjing terdengar di bukit sebelah. Seketika itu saya sadar bahwa posisi saya tak aman malam ini. Tenda saya dapat dilihat dari jalan dan jauh dari perkampungan dan telepon saya belum berfungsi karena belum membeli kartu sim negara ini. Di tengah masyarakat yang belum saya pahami, saya berpikir bahwa orang bisa saja berniat negative di tengah bukit seperti ini.

Balasan tuhan ternyata tidak sampai disitu. Ketika tengah bingung mencari tempat menginap ketika tiba di kota Wenshan yang besar, saya membeli kartu sim untuk menelepon Wa meskipun tak tahu mau bilang apa. Setelah membeli kartu yang amat mahal yaitu 100 yuan, saya iseng melihat google map di smartphone saya. Tidak disangka dilayar muncul simbol mesjid yang tidak pernah saya lihat lagi semenjak di Thailand Utara. Tak pernah terpikirkan oleh saya menginap di mesjid di negeri komunis ini.

Dengan seyum sumringah saya menuju mesjid hingga beberapa orang melihat saya heran. Seperti menemukan sebuah saung ketika hujan dan badai di tengah hutan liar.

Gilang Embang (www.migrasi.org)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun