Mohon tunggu...
Gilang Embang
Gilang Embang Mohon Tunggu... -

di atas buku boleh saja ada setan tapi di atas alam pasti ada tuhan\r\nimbangi baca buku dengan belajar langsung di alam!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan yang Tak Jelas

11 September 2014   23:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:57 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak dahulu kala sebelum kedatangan Hindu, Budha atau Islam daerah Sunda sudah mengenal konsep tentang Tuhan. Tuhan mereka adalah Tuhan dengan pendekatan sosok transenden Karuhun atau arwah leluhur. Menurut mereka bapak dan ibu, kakek dan nenek hingga buyut adalah wujud Tuhan Sang Pencipta yang dapat tercerap oleh indra manusia. Tanpa mereka kita tak ada di dunia ini. Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang tercermin di dalam diri bapak dan ibu kita. Bahkan ketika mereka mati sebenarnya mereka lebih hidup tanpa jasad yang justru menjadi penghalang.

Ajaran mereka hanya tradisi lisan yang diturun temurunkan dari leluhur mereka. Kitab mereka adalah “kitab sadepa nujangkungna satangtungan” kitab dengan lebarnya satu depa dan tingginya setinggi saya berdiri. Yaitu kitab baka, kitab abadi yang adanya di hati kita pribadi.

Namun ketika ditanya tentang Tuhan mereka hanya memberikan beberapa bait pantun. Yaitu sebagai berikut :

Tapak sireum dina batu/ jejak semut di batu

Tapak meri dina leuwi/ jejak itik di jurang

Tapak sowang di awang-awang/ jejak angsa di angkasa

Siapa yang bisa melihat jejak semut di batu atau jejak itik di dasar jurang atau jejak angsa di angkasa? Padahal mungkin mereka memang pernah lewat situ.

Hal ini dapat berarti ada tapi tiada, tiada tapi ada. Sebagian orang bijak beranggapan lebih baik dianggap tidak ada daripada "ada" dalam konsep kita yang terbatas.Dalam Islam, Tuhan adalah Maha, seperti Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Tinggi. Maha secara harfiah dapat diartikan paling. Namun, itu tetap kurang tepat karena paling itu adalah konsep makhluk. Contohnya Maha Esa “Yang paling tunggal”. Adakah yang lebih tunggal daripada tunggal itu sendiri? Karena tunggal itu bagaimanapun pasti dapat dibagi menjadi setengah. Seperti manusia yang dapat dibagi menjadi tangan kepala hingga kaki.

Maha, sejatinya adalah tidak terdefinisikan. Maha Esa artinya adalah tunggal yang tak dapat terdefinisikan. Karena Ia adalah satu yang dalam waktu yang sama adalah tak terhingga atau tak ada. Seperti 1/ 0=∞ (satu dibagi tak ada adalah tak terhingga). Karena Ia adalah satu yang tidak dapat dimengerti oleh manusia.

Sereg dijagat logor di liang jarum/ Ketat di jagat raya longgar di lubang jarum

Tuhan adalah Maha Besar. Namun, konsep besar menurut manusia berarti memiliki dimensi yaitu panjang x lebar x tinggi. Meskipun sekecil partikel electron atau sebesar galaksi atau sesamar kabut atau sehalus makhluk halus pasti memiliki dimensi. Bahkan jika Ia seperti Energi atau cahayapun pasti ada sesuatu yang dapat diukur misalnya panjang gelombangnya.

Apakah besarnya Tuhan seperti itu? Jika benar seperti itu sudah pasti ia memiliki bentuk. Aliran-aliran fundamentalis menganggap bahwa Tuhan memiliki kepala, kaki atau tangan seperti manusia. Karena bentuk yang paling sempurna yang bisa dibayangkan manusia adalah manusia itu sendiri.

Jika yang dibayangkan itu menyerupai manusia maka sudah pasti ia harus memiliki cara hidup seperti berpakaian. Jika sudah menganggap seperti itu, maka tak heran ada sekelompok orang yang ingin menyeragamkan manusia di dunia dalam berpakaian atau cara hidup lain sama seperti yang ada di benaknya tentang Tuhannya.

Pantun diatas menjelaskan tentang konsep Besarnya Tuhan yang tidak dapat didefinisikan. Tuhan yang sangat besar meliputi jagat raya, namun dalam waktu yang bersamaan sangat kecil hingga longgar di lubang jarum. Kata-kata tersebut sungguh tak dapat didefinisikan atau dibayangkan oleh akal, hingga kepala kita meledak sekalipun.

Tuhan adalah pemilik dua sisi. Siang dan malam, sisi kanan dan kiri. Kebaikan dan keburukan. Benar dan salah. Karena tidak ada kebenaran jika tidak ada kesalahan.

Sejatinya, tujuan dari wahyu adalah memberi tahu kita bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tuhan. Jadi haruskah manusia saling membenci bahkan membunuh untuk mengibarkan bendera Tuhannya?

Pantun lain menjelaskan :

Bentukna siga hurang gedena sagede munding

Bentukna siga urang gedena sagede kuring

Bentuknya seperti udang besarnya sebesar kerbau

Bentuknya seperti saya besarnya sebesar aku

Qur’an menyebutkan “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (qs. 50 : 16).

Ini berarti ada sesuatu yang lebih dekat daripada diriku sendiri. Ada yang lebih Aku daripada diriku sendiri.

Di ujung ceritanya Ki Karma, baris kolot di kasepuhan Cipta Gelar mengucapkan “sing saha bae kenal ka dirina pasti kenal ka gustina”.

Akupun pernah dengar kata-kata itu entah di Qur’an atau Hadist yang isinya kurang lebih begini “barang siapa kenal dirinya maka pasti kenal dengan Tuhannya. Dan barang siapa kenal dengan Tuhannya maka pasti merasa bodoh”

Siapapun yang kenal dengan dirinya sesungguhnya ia sadar atas ketidaktahuan dan keterbatasannya dalam mengungkapkan kenyataan yang kita sebut “Tuhan”. Sehingga “diam” adalah satu-satunya medium yang sangat mungkin untuk memahami yang ilahi. Dalam bahasa lain “diam” berarti mati dalam hidup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun