Mohon tunggu...
Film

"Mantan Manten" 2019: Perempuan Urban dan Perjuangannya

12 April 2019   16:34 Diperbarui: 12 April 2019   17:03 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ambyar. Itu adalah satu-satunya kata yang menggambarkan perasaan setelah menonton film Mantan Manten (2019) yang disutradarai oleh Farishad Latjuba. Mungkin kesimpulan perasaan setelah menonton hanya satu kata tapi ada lapisan alasan yang membuat saya bisa berkata demikian. 

Bagi saya yang bahkan tidak punya mantan pacar, bahkan film ini dapat cukup mengacak-acak perasaan. Tokoh sentral dalam film ini adalah Yasnina Putri (Atiqah Hasiholan), seorang pakar finansial terkenal, CEO perusahaan investasi, dan bahkan punya acara televisi sendiri. Ia baru saja dilamar oleh pacarnya (Arifin Putra) selama beberapa tahun. Bisa dibayangkan, Nina tentu adalah sosok wanita karier eksekutif muda yang hidup bahagianya seperti tak akan goyah -- namun, di situlah titik terrapuhnya. 

Kekuatan film Mantan Manten tidak hanya pada pengkarakteran yang matang, namun juga di sinematografi, penataan kostum, dan penataan artistik yang begitu rapi. Film ini mengandalkan tangan dingin sinematografer perempuan Amalia TS, yang pernah menjadi nominasi peraih Piala Citra untuk sinematografinya. Pemilihan Amalia sebagai pengambil gambar nampaknya menjadi alasan yang tak main-main, sebab ia mampu mengambil sudut-sudut yang tepat untuk menitikberatkan  perjuangan batin perempuan sebagai sentral cerita. Pemilihan sentuhan visual yang memikat inilah yang kemudian memperkuat fokus kita kepada karakter perempuan, tidak hanya pada Atiqah Hasiholan sebagai pemeran Nina tetapi juga Tutie Kirana sebagai Ibu Marjanti. Tidak hanya dalam sinematografi, tetapi pemilihan kostum yang memperkuat kepribadian karakter serta penataan artistik yang begitu detil dan pas dengan realita kebudayaan.

Ceritanya mengalir dan membawa para penonton pada dua dunia Indonesia yang berbeda: modernitas urban dan ritual kebudayaan yang semakihn banyak ditinggalkan oleh banyak orang. Kita disuguhkan pada gaya hidup jetset di awal namun mulai di tengah cerita kita 'dibandting' untuk mengalami hal yang jauh dari ibukota tetapi ternyata masih dekat dengan keseharian kita -- menyadarkan bahwa Indonesia dan kehidupan yang emmbahagiakan itu ternyata tidak hanya bisa didapat di kota besar saja. Di beberapa bagian perpindahannya terkesan terlalu cepat, adegan dirajut linear namun tidak bergitu memperlihatkan sejauh apa waktu yang dijalankan Nina di masa peralihan tersebut. 

Kekuatan cerita film ada di perasaan yang dapat diproyeksi dengan mudah -- membuat penonton berempati setiap orang dalam cerita ini. Karakter Nina begitu menjadi magnet utama dalam film, penonton akan diajak untuk masuk sedalam-dalamnya ke alam pikir dan rasa Nina. Karakter Nina semacam dijadikan ikon representasi perempuan kota Indonesia, yang ingin sukses tetapi ingin bersentuhan dengan lingkungan tanpa tekanan dan penuh cinta. Salah satu lingkungan itu kemudian terwujud pada keberadaan Nina di Tawangmangu yang membawa perempuan kota bersentuhan kembali dengan alam dan hal-hal magis yang tak terpikirkan. 

Contohnya, aura magis Ibu Marjanti -- yang kemudian patut diperhitungkan sebagai pemerkuat kesatuan rangkaian cerita film -- kemudian menjadi karakter yang penting dalam perkembangan pribadi Nina dan pendewasaannya. Bahwa kemudian, perempuan memiliki peran penting dan kekuatannya sendiri di manapun ia berada. Nina Unsur penceritaan dan karakter Nina dapat dengan mudah membuat saya berempati. Saya bahkan memproses kegalauan hingga tertidur, dari perenungan dan menulis berbagai twit tentang Mantan Manten. Dari Nina, kemudian saya belajar mencintai hidup dengan lebih baik dengan segala naik dan turunnya.

Di sisi lain, dari Mantan Manten, saya jadi sadar bahwa lama suatu hubungan akan membuka kepribadian orang secara utuh dan/atau melihat adanya perubahan satu sama lain -- apakah kebersamaan yang lama sama dengan mempertahankan kenyamanan lebih lama lagi? Atau yang lebih penting kualitas hubungan yang mementingkan kedalaman tetapi selalu ada di saat terpenting? Yang pasti, utamakan cinta dan perjuangan dalam diri, baru tentukan siapa yang pantas ada bersama perjuanganmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun