Bulan Mei 2019 menjadi bulan yang spesial bagi Kota Semarang. Pertama, bertambahnya usia, menginjak 472 tahun dan kedua, menjelang bulan ramadhan. Tepatlah jika menyambut kedua moment yang dinanti tersebut digelar serangkaian acara, salahsatunya karnaval dugderan.Â
Tidak berlebihan rasanya jika rangkaian kegiatan tersebut dianggap sebagai cermin akulturasi budaya dan religi. Ditengah kemajemukan masyarakat ternyata seluruh komponen dalam tatanan kemasyarakatan mampu menikmati irama bulan yang spesial ini.
Melebur, menyemarakkan dan memaknai momentum tersebut adalah Pokdarwis Kampung Alam Malon, Gunungpati. Menggunakan surjan lurik dan ikat kepala, para anggota Pokdarwis menampilkan tari kreasi baru, jathilan dan permainan tradisonal seperti egrang dan gledhekan. Lantas apanya yang spesial?
Ya, sebagai orang jawa penampilan etnik tersebut merepresentasikan kegembiraan kolektif menyambut dua hal yang baik, yaitu ulang tahun sebuah kota dimana mereka tinggal dan beraktivitas serta bulan penuh berkah yang dinantikan oleh mereka dan umat islam pada umumnya. Sungguh, suatu harmonisasi dengan nilai sosial yang tinggi.
Mungkin beberapa melihat hal tersebut biasa saja, namun coba kita renungkan makna dan pemikiran yang mendasarinya. Pastinya konseptor dug der an ini pada masa lampau bukanlah orang sembarangan, konseptor pastinya memiliki kecerdasan nalar dan emosional yang tinggi. Siapakah orang hebat itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H