Apa itu “Kidfluencer”?
Di era globalisasi ini, dunia digital telah berkembang dengan pesat terutama dengan munculnya beragam fenomena dalam media sosial, mulai dari buzzer hingga influencer. Sebutan influencer sendiri merujuk pada seseorang yang memberikan pengaruh dalam masyarakat melalui konten media sosial yang menarik dengan jumlah followers (pengikut) atau keahlian tertentu agar meniru gaya hidup serta tingkah laku mereka, termasuk membeli atau penggunakan suatu barang dan jasa. Kemunculan influencer ini memberikan pengaruh terhadap strategi pemasaran (marketing) dewasa ini dan mempermudah sebuah perusahaan mempromosikan produk mereka secara digital. Popularitas dari fenomena influencer ini bukan hanya melibatkan orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak di bawah umur yang ikut eksis di dunia maya hingga muncul istilah baru yakni “Kidfluencer”.
Awal Mula Kemunculan“Kidfluencer”
Kehadiran “Kidfluencer”, influencer cilik atau bayi online ini umumnya berasal dari orang tua yang berprofesi influencer sengaja mendokumentasikan anaknya agar bisa memperluas jangkauan pasar mereka dengan target anak-anak atau ibu rumah tangga dan memperkaya keluarga. Namun, bisa juga berawal dari para orang tua yang ingin mendokumentasikan momen buah hati mereka di akun media sosial pribadi agar bisa dikenang di kemudian hari dan tanpa sengaja algoritma media sosial membuat dokumentasi tersebut viral hingga menaikkan engagement akun pribadi mereka.
Tentu saja, kehidupan influencer dan iming-iming pendapatan tambahan yang menggiurkan inilah yang membuat beberapa orang tua perlahan-lahan menggeser keinginan dokumentasi tersebut menjadi eksploitasi. Terlebih lagi, melihat sambutan positif dari video anak-anak mereka di media sosial membuat mereka semakin tergoda untuk memanfaatkan peluang tersebut. Alhasil, berdasarkan Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, beberapa tahun terakhir, kidfluencer telah menjadi sub kategori influencer yang meramaikan industri periklanan media sosial secara global dan mampu meraup penghasilan hingga $26 juta per tahun melalui iklan dan berbagai konten bersponsor.
Bagaimana dengan Tanggapan Netizen?
Terkait fenomena ini, netizen atau sebutan bagi para pengguna media sosial sendiri terbagi menjadi dua kubu, kubu pro dan kubu kontra. Mengutip dari media sosial X, pada akun base besar di Indonesia, ada yang mengatakan “selagi tidak disuruh syuting subuh-subuh, ya tidak masalah” atau “kalau anaknya happy dilanjut lah, soalnya mood boster banget anak anak kicil lucu ini”. Akan tetapi, di sisi lain, ada pula yang mengatakan agar tidak gegabah sebab dengan teknologi AI yang semakin canggih, orang akan dengan mudah menyalahgunakannya dengan memindai wajah untuk berbuat kriminal. Senada dengan hal tersebut, ada pula netizen yang berpendapat bahwa maraknya fenomena ini dapat menimbulkan cyberbullying atau komentar-komentar jahat pada anak kecil sehingga harus dihentikan.
Memang, secara historikal, kemunculan kidfluencer ini sama halnya dengan kemunculan artis cilik di televisi. Akan tetapi, menurut Karen North, pakar digital, perbedaannya antara artis cilik dan kidfluencer adalah artis cilik berpura-pura memerankan orang lain atau berakting dalam sebuah peran tetapi kidfluencer tidak, mereka menjadi dirinya sendiri dan menunjukkan kepribadian aslinya yang tentu saja berpotensi untuk menuai opini negatif. Akibatnya, fenomena ini pun menimbulkan kontroversi seperti eksploitasi, privasi, dan cyberbullying.
Eksploitasi Kidfluencer
Tak dapat dipungkiri, bahwa fenomena kidfluencer ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, memberikan pemasukan tambahan bagi orangtua yang ingin menabung untuk kebutuhan anaknya di masa depan atau menambah hiburan di dunia maya, tetapi di sisi lain, isu eksploitasi tidak bisa disepelekan. Isu ini muncul sebab pada umumnya kebutuhan para kidfluencer diatur oleh orang tua mulai dari proses produksi video, kontrak dengan sebuah brand, dan lain sebagainya. Berbeda dengan aktor cilik yang mendapatkan perlindungan dari lingkup profesional, kidfluencer menjalankan aktivitas pribadi sehari-hari di rumah mereka mulai dari makan, bermain, dan lain-lain. Terkadang, aktivitas ini direkam terlalu banyak dan berlebihan karena tuntutan kontrak sehingga mengakibatkan eksploitasi pada anak.
Eksploitasi sendiri merupakan tindakan melakukan sesuatu tanpa perizinan atau persetujuan korban sehingga banyak orang tua yang beranggapan jika anaknya senang direkam maka mereka setuju dan menikmati media sosial. Akan tetapi, anak-anak di bawah umur belum mengerti sisi negatif dari internet dan masih buta terhadap hal-hal demikian. Mereka cenderung mengikuti keputusan orang tua dan merasa apa yang dilakukan orang tua adalah hal yang benar.
Akibatnya, tanpa disadari, waktu, tenaga, dan momen pertumbuhan mereka menjadi terekspos berlebihan di dunia maya dan menjadi bahan konsumsi publik. Hal inilah yang akan memengaruhi kehidupan privasi mereka. Publik akan mengetahui aktivitasnya, tingkah laku, dan hal-hal lain yang tertangkap kamera. Dikhawatirkan, dengan wajah sang anak menjadi konsumsi publik, pihak tak bertanggung jawab akan menyalahgunakannya untuk tindakan kriminal. Sang anak pun juga berpotensi diincar oleh penculik maupun pedofil.
Dengan akses pada internet yang tak terbatas dan berkurangnya privasi, orang dengan bebas mencaci maki dan melontarkan ujaran kebencian pada sang anak, atau biasa disebut dengan melakukan cyberbullying. Seperti influencer lainnya, seorang kidfluencer bukan tidak mungkin mempunyai haters. Akibatnya, anak tersebut akan memiliki harga diri yang rendah, kesepian, dan tidak percaya diri. Kemudian, karena terbiasa untuk membentuk identitas serta kepribadian yang menyenangkan di internet, anak akan perlahan melupakan jati diri mereka. Alih-alih mengutamakan dirinya sendiri, mereka cenderung ingin menyenangkan orang lain.
Jalan Tengah dan Upaya Perlindungan Bagi Kidfluencer
Lalu, bagaimana dengan pendapat para ahli terakit dampak serius dari kidfluencer? Terkait dengan hal tersebut, pakar Psikologi Anak Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Nur Ainy Fardana M.Si mengatakan eksploitasi anak berarti menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh anak maka penting untuk mengutamakan posisi serta perasaan sang anak. Menurut beliau, eksistensi anak-anak di dunia hiburan baik dunia nyata maupun dunia maya tidak menjadi masalah apabila dilakukan untuk mengembangkan bakat minat anak, dengan catatan tetap memperhatikan kondisi psikologisnya agar tidak menghambat perkembangannya. Sebab, apabila terlalu sering terpapar kamera, hal tersebut beresiko menghambat ekspresi dan eksplorasi.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah batasan, etika, serta upaya perlindungan pada Kidfluencer melalui peran orang tua. Setidaknya ada 3 hak anak yang rentan diabaikan yaitu hak pendidikan, hak bermain, dan hak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa batas usia minimal kerja di Indonesia adalah 18 tahun sehingga untuk Kidfluencer terdapat pengecualian yakni dengan menilai peran orang tua sebagai kunci pengawasan. Adapun tindakan perlindungan yang orang tua bisa lakukan antara lain.
- Pendidikan formal harus tetap berjalan dan menjadi pendidikan utama sang anak
- Terlibat aktif dan membatasi jam tayang sang anak di media sosial atau tidak berlebihan dalam merekam anak
- Mengajarkan nilai-nilai positif, etika, dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial
- Memeriksa kesepakatan mitra secara menyeluruh dengan mempertimbangkan hak-hak anak terutama dalam waktu bermain dan beristirahat sebagai konsen utama
- Tetap mengajarkan anak untuk menjadi diri sendiri dan memilah komentar yang membangun dengan yang tidak
Oleh: Marriemanuelgizella, Mahasiswa Vokasi Akuntansi Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H